Sabtu, 23 April 2016, Lembaga Pemasyarakatan (LP atau Lapas) Banceuy Bandung dilanda kerusuhan. Belum genap setahun, peristiwa serupa juga terjadi di Lapas Jambi. Jika kerusuhan di Bandung berawal dari protes para penghuni atas kematian salah seorang narapidana yang dikeroyok petugas karena menyelundupkan narkoba, yang terjadi di Jambi adalah buntut dari aksi protes dan penolakan terhadap rencana razia narkoba.
Peristiwa di Jambi itu adalah kerusuhan penjara kedua tahun ini yang diliput media. Yang pertama, terjadi di Lapas Biaro, Bukittinggi, Sumatera Barat bulan lalu. Sedangkan tahun lalu (2016), setidaknya tujuh kerusuhan terjadi di tujuh penjara lainnya di Indonesia.
Penjara menggambarkan bangunan tempat mengurung orang hukuman. Selain sel penjara di kantor polisi, hukum Indonesia mengenal lapas dan rumah tahanan negara (rutan). Lapas dikelola Kementerian Hukum dan HAM RI bagi orang-orang yang sudah divonis bersalah sehingga dikenakan hukuman penjara oleh pengadilan atau hakim (terpidana). Penghuninya disebut narapidana atau napi.
Rutan juga dikelola kementerian tersebut, namun ada juga yang dikelola lembaga negara yang melakukan penyidikan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau Badan Narkotika Nasional (BNN). Penghuninya disebut tahanan, yaitu mereka yang sedang menjalani proses penyidikan (tersangka) hingga persidangan (terdakwa).
Secara awam, istilah “penjara” digunakan untuk merujuk tempat-tempat berjeruji besi tersebut.
Narkoba jadi penyebab kerusuhan terakhir di Lapas Kelas IIA Jambi, yaitu rencana razia komoditas tersebut oleh BNN Provinsi Jambi. Dari tujuh kerusuhan penjara tahun lalu, empat di antaranya terkait narkoba. Di Tapanuli Tengah (Februari), rusuh dipicu pengeroyokan seorang napi yang berbisnis narkoba dan dikenal dekat dengan kepala Lapas Sibolga itu. Lalu, kematian napi penyelundup narkoba menyulut kerusuhan di Lapas Banceuy, Bandung (April).
Di Bengkulu, rusuh di LP Malabero (Maret) dipicu penggeledahan BNN Provinsi Bengkulu. Empat bulan kemudian, penggeledahan di blok narkoba oleh Polres Kota Bengkulu menyulut kerusuhan di LP Kelas IIA Bentiring. Dua bandar sabu yang ditangkap sebelumnya, mengaku memperoleh narkoba dari lapas ini.
Peristiwa lain yang terjadi di penjara terkait narkoba di antaranya penemuan laboratorium penghasil obat-obatan psikoaktif itu, pengendalian bisnis narkoba dari dalam penjara, sipir yang menjadi kurir narkoba untuk penghuni penjara, dan kaburnya napi atau tahanan kasus narkoba.
Setahun terakhir, napi atau tahanan kasus narkoba yang melarikan diri semakin sering diberitakan. Mereka bahkan kabur dari penjara di Pulau Nusakambangan yang ditakuti para penjahat karena pengawasannya terkenal ketat.
Tidak hanya dari tempat yang dikelola Kementerian Hukum dan HAM RI, tujuh tahanan berhasil kabur dari sel penahanan Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri Jakarta, Januari lalu. Seorang di antaranya ditembak mati saat hendak ditangkap di Sukabumi, Jawa Barat.
Kerusuhan di penjara adalah peristiwa yang banyak diberitakan. Selain karena melibatkan bantuan pihak luar seperti kepolisian, kerusuhan menyebabkan kerugian yang besar. Jumlah kerugian dari kerusuhan di Lapas Banceuy tahun lalu misalnya, mencapai 6 miliar rupiah.
“Perang terhadap narkoba” yang dicanangkan hampir setengah abad lalu oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Richard Nixon, telah menempatkan jutaan orang ke dalam penjara. Indonesia, sebagai negara ‘pengikut’ AS pasca Orde Lama (1966), turut pula mencanangkan perang yang hingga kini belum bisa dimenangkan tersebut. Kebijakan antinarkoba pertama Pemerintah RI adalah dibentuknya Badan Koordinasi Pelaksanaan Inpres No. 6 Tahun 1971.
Kementerian Hukum dan HAM RI melaporkan, dari dua ratus ribuan tahanan dan napi di seluruh Indonesia pada Desember 2016, 80.934 di antaranya terlibat tindak pidana narkoba. Jumlah ini mendominasi penghuni dengan pidana khusus di seluruh lapas dan rutan, yaitu korupsi 4.197, teroris 177, illegal logging 770, human trafficking 301, pencucian uang 102, dan genosida 6, sehingga semuanya berjumlah 86.447 penghuni (Sistem Database Pemasyarakatan ©2011).
Dari 80 ribuan penghuni dengan kasus pidana narkoba, 52.631 di antaranya adalah konsumen atau pengguna sedangkan 28.303 adalah bandar atau pengedar narkoba. Dengan komposisi demikian, maka tak heran jika penjara menjadi tempat peredaran bahkan pusat pengendalian bisnis narkoba. Apalagi, jumlah penghuninya melampaui kapasitas lapas dan rutan se-Indonesia, yaitu 204.550 banding 120.151 dengan petugas pengamanan kurang dari 11 ribu.
Penggeledahan untuk mencari barang bukti narkoba selalu menjadi tantangan besar bagi pengelola penjara. Mereka harus melakukan razia secara seksama agar protes dari para penghuni tidak berujung ricuh. Bantuan dari luar, seperti dari BNN atau kepolisian, kadang malah jadi sumber provokasi.
Sejumlah kerusuhan penjara terkait narkoba berujung pada pemecatan petugas bahkan kepala penjara. Ini menegaskan bahwa bisnis yang digeluti penghuninya itu setidaknya diketahui oleh otoritas penjara. Pertanyaannya, tahukah pemerintah (dalam hal ini presiden beserta jajaran menterinya) akan hal ini? Jika ya, apa yang dilakukan untuk mengatasinya dan sejak kapan?
Baca: Mencegah Kerusuhan di Penjara (Bagian 2)