Sebelum 2014, PT Sunthi Sepuri, sebuah perusahaan farmasi dalam negeri yang banyak bekerja sama dengan Wyeth – Ayerst International yang bermarkas di Amerika Serikat memproduksi alprazolam dengan jenama Calmlet. Berbeda dengan merek lain yang memproduksi obat dengan kandungan alprazolam dari 0,25 mg, 0,5 mg, hingga 1 mg, Calmlet ada yang diproduksi dengan kandungan 2 mg.
Lantaran jadi satu-satunya obat dengan kandungan alprozolam 2 mg yang beredar di Indonesia, Calmlet jadi jenama yang sangat populer ketika itu setelah Xanax tentunya.
Roy A Sparringa, Kepala Badan POM kala itu merespons pembatalan izin edar Calmlet 2 mg dengan menyatakan, efeknya berbahaya. Ia pun menambahkan, pihaknya masih memberikan izin edar Calmlet dengan kandungan 1 mg alprazolam yang dinilainya masih aman untuk dikonsumsi.
Alprazolam diresepkan untuk melenturkan otot (muscle relaxant), sebagai obat penenang atau anticemas, dan antikonvulsan (mengatasi kejang). Mekanisme kerjanya adalah meningkatkan aktivitas zat kimia alami dalam tubuh yang disebut asam gamma-aminobutirat (GABA), sehingga memberikan efek menenangkan.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI pada 2013 menarik peredaran Calmlet tablet berukuran 2 mg. Kebijakan ini berbarengan dengan penarikan obat lainnya, yakni dekstrometorphan (obat batuk) sediaan tunggal dan karisoprodol (relaksan otot).
Karena banyaknya jenama alprazolam di Indonesia, setidaknya 17 merek bisa dilihat di situs Badan POM RI itupun belum termasuk alprazolam versi generik, tiap orang punya favoritnya masing-masing. Kevin Mathovani yang turut membahas fenomena Calmlet ini misalnya, lebih suka alprazolam merek Atarax ketimbang Xanax dengan alasan tidak membuatnya amnesia. Seperti apa obrolannya tentang Calmlet ini?
Yuk, simak obrolannya!