close
FeaturedTajuk

Menkes Lebih Digdaya daripada Aparat Bersenjata untuk Tumpas Pasar Gelap Ganja

WhatsApp Image 2022-07-22 at 7.10.41 PM

Rabu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji materi pasal pelarangan narkotika golongan satu untuk pengobatan. Narkoba yang terdaftar di golongan ini di antaranya koka, ganja, opium, dan sabu.

Uji materi diajukan oleh tiga orang tua yang anaknya mengidap lumpuh otak beserta sejumlah organisasi nonpemerintah termasuk Rumah Cemara.

Para pemohon memperkarakan pasal dalam UU Narkotika yang melarang pemanfaatan narkotika golongan satu untuk pengobatan. Pelarangan tersebut dinilai melanggar hak memperoleh layanan kesehatan sebagaimana diamanatkan UUD 1945, konstitusi kita. Salah satu pemohon pernah mencoba terapi ganja untuk anaknya di Australia dan mendapat hasil yang memuaskan.

Sayangnya setelah rangkaian sidang yang digelar sejak akhir 2020, MK menolak seluruhnya permohonan tersebut. Para pemohon tentu saja kecewa.

Hakim di mahkamah itu beralasan, pasal yang diuji telah sesuai dengan melarang pemanfaatan narkotika golongan satu untuk pengobatan lantaran potensi ketergantungannya yang tinggi. Mereka mempertimbangkan tujuan UU tersebut yang ingin melindungi bangsa ini dari dampak buruk ketergantungan narkoba. Perlindungan dari dampak tersebut dinilai lebih mendasar dan konstitusional.

Dalam sidang putusan itu, para hakim mengingatkan bahwa narkotika yang bisa digunakan untuk pengobatan hendaknya sudah diteliti secara saksama. Narkotika yang sudah resmi digunakan untuk pengobatan di luar negeri tidak serta merta bisa legal di sini meski berbagai penelitian sudah melaporkan hasil yang positif.

Penolakan permohonan uji materi itu tidak menafikan kewenangan Menteri Kesehatan RI dalam menetapkan bahwa sebuah narkoba boleh digunakan untuk pengobatan. Itu sebabnya di dalam UU terdapat narkotika yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan tersebut, yakni yang terdaftar di golongan dua dan tiga. Narkotika golongan satu sekalipun bisa dimanfaatkan untuk keperluan iptek sepanjang mendapat izin Menteri Kesehatan.

Polemik dari uji materi ini ialah, para pemohon mengetahui kalau ganja sudah dimanfaatkan sebagai obat kejang yang kerap terjadi pada pengidap lumpuh otak di sejumlah negara. Sudah banyak laporan penelitian mengenai hal tersebut di samping terbukti efektif dalam pengobatan penyakit lainnya.

Sejumlah pemohon pun sudah melakukan segala pengobatan yang tersedia di Indonesia untuk anak-anaknya tanpa hasil memuaskan. Mereka merasa segala upaya telah dilakukan kecuali pengobatan menggunakan ganja.

Di sisi lain MK menilai, penggolongan dalam UU Narkotika sudah memberi ruang bagi sejumlah narkoba untuk bisa digunakan sebagai obat. Melalui kewenangan Menteri Kesehatan, narkoba-narkoba itu bisa diklasifikasi sebagai narkotika golongan dua atau tiga. Atas ketentuan-ketentuan dalam UU tersebut, MK menolak menghapus pasal pelarangan pemanfaatan narkotika golongan satu untuk layanan kesehatan.

Baca juga:  Pledoi dan Tuntutan Eman pada Dunia

MK pun mengisyaratkan, negara tidak mengabaikan warganya yang membutuhkan pengobatan menggunakan narkoba apapun karena Menteri Kesehatan bisa mendaftarkannya sebagai narkotika golongan dua dan tiga.

Belajar dari narkoba-narkoba yang sudah terdaftar di kedua golongan itu, penelitian di dalam negeri sesungguhnya tidak menjadi syarat agar sebuah zat dimasukkan ke dalamnya. Sebagai contoh, tidak pernah ada penelitian klinis fentanil (pereda nyeri yang lebih keras dari morfin) di Indonesia sebelum ia terdaftar sebagai narkotika golongan dua sejak 1997.

Contoh lainnya, buprenorfin yang digunakan untuk terapi substitusi ketergantungan heroin. Obat ini mendapat izin edar dari Badan POM pada 2002 tapi sudah terdaftar sebagai psikotropika golongan tiga pada 1997. Menyesuaikan dengan perubahan UU pada 2009, obat ini terdaftar sebagai narkotika golongan tiga.

Sama seperti buprenorfin, metadon sudah terdaftar sebagai narkotika golongan dua sejak 1997. Kementerian Kesehatan RI baru melakukan riset operasional terapi substitusi ketergantungan heroin menggunakan obat ini pada 2003 di Jakarta dan Bali sebelum menyediakannya di puluhan layanan kesehatan masyarakat termasuk puskesmas dan penjara.

Contoh-contoh tadi menegaskan, penelitian di dalam negeri tidak menjadi prasyarat bagi sebuah narkoba untuk bisa terdaftar sebagai narkotika golongan dua dan tiga yang boleh dimanfaatkan untuk layanan kesehatan.

Salah satu kecemasan para pembuat kebijakan dalam menetapkan suatu zat boleh digunakan untuk layanan kesehatan adalah potensi ketergantungannya. Potensi ketergantungan diartikan, seberapa sulit menghentikan konsumsi sebuah zat termasuk tingkat kekambuhan setelah berhenti dan persentase konsumen yang menjadi ketergantungan setelah konsumsi rutinnya.

Menilik perkara yang diputuskan MK tiga hari lalu, yang dibutuhkan oleh pemohon untuk kejang anak-anaknya adalah ganja secara spesifik. Sebagaimana sudah banyak diketahui, potensi ketergantungan ganja tidak lebih tinggi ketimbang alkohol misalnya. Sebuah kajian melaporkan, potensi ketergantungan konsumsi ganja hanya setingkat lebih tinggi dari kafein dan lebih rendah dari nikotin, alkohol, kokain, serta heroin secara berurutan.   

Baca juga:  Solusi Reformasi Kebijakan Narkotika Tidak Tepat dengan Rehabilitasi Wajib Berbasis Hukuman

Ganja adalah salah satu tanaman yang terdaftar sebagai narkoba yang dilarang dimanfaatkan untuk keperluan medis alias narkotika golongan satu sebagaimana tertulis dalam lampiran UU Narkotika. Lampiran berisi daftar golongan narkotika ini ditentukan oleh Menteri Kesehatan RI melalui peraturan menteri.

Saat ini sudah lebih dari 40 negara yang mengizinkan pemanfaatan ganja buat pengobatan. Atas potensi pengobatan dan mudaratnya yang rendah, WHO pun merekomendasikan pembenahan penggolongan ganja dalam Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961. PBB kemudian melaksanakan rekomendasi tersebut di penghujung 2020.

Dalam surat resminya, WHO merekomendasikan untuk menghapus ganja dari daftar narkotika yang rentan disalahgunakan, berdampak buruk bagi kesehatan, dan hanya sedikit atau bahkan tidak bermanfaat sama sekali untuk pengobatan. Narkoba yang terdaftar di golongan ini antara lain fentanil dan heroin. Pemanfaatannya dikaitkan dengan risiko kematian yang besar.

Sebagai studi kasus, jumlah kematian akibat overdosis fentanil di AS melebihi yang diakibatkan oleh heroin sejak 2016. Pada 2020, overdosis obat ini menyumbang lebih dari 56 ribu kematian di sana. Jumlah ini tercatat 18 kali lebih tinggi ketimbang pada 2013.

Sebagaimana telah saya ulas, fentanil terdaftar sebagai narkotika golongan dua di Indonesia sejak 1997. Zat yang terdaftar di golongan ini boleh digunakan untuk pengobatan meski memiliki potensi ketergantungan yang tinggi. Sementara, narkotika golongan tiga dianggap punya potensi ketergantungan yang ringan.

Mengacu pada definisi dalam UU dan berbagai kajian yang sudah ada, semestinya ganja terdaftar sebagai narkotika golongan tiga.

Untuk menumpas industri gelap ganja, sejumlah negara seperti Thailand dan Lebanon turut melegalkan budi dayanya. Kementerian Kesehatan Thailand bahkan membagi-bagikan bibit ganja yang sesuai untuk keperluan pengobatan kepada rakyatnya. Di titik ini, aparat penegak hukum kita mengkhawatirkan pengawasannya. Mereka resah kalau budi dayanya diizinkan, maka akan banyak orang yang memanfaatkannya untuk mabuk.

Pemberian izin menanam ganja bagi rakyat justru akan melunturkan nilai ekonomi tanaman tersebut.

Negara-negara yang memberlakukan kebijakan ini sudah mengalkulasi melalui bukti-bukti ilmiah bahwa tingkat ketergantungan konsumsi ganja rendah dan kematian overdosisnya pun belum tercatat hingga hari ini. Adanya berita kematian pria berusia 51 tahun setelah nyimeng di Bangkok, Thailand bulan lalu telah dikonfirmasi menteri kesehatannya karena gagal jantung alih-alih konsumsi ganja semata. 

Baca juga:  Perang terhadap Narkoba, Masihkah Efektif?

Secara etis, tidak ada negara yang menginginkan warganya mati karena pilihan kebijakannya. Oleh karena itu, mereka diizinkan menanam ganja di pekarangan rumah untuk konsumsi pribadi.

Jangan-jangan kekhawatiran aparat penegak hukum selama ini sebenarnya adalah soal anggaran. Betapa tidak, jika ganja legal, anggaran operasi untuk menghancurkan ladang ganja pasti akan menyusut. Selama ini kita tahu dari pemberitaan, aparat penegak hukum bahkan dibantu tentara kerap membumihanguskan ladang ganja di lereng-lereng pegunungan terpencil. Untuk mendatangkan mereka ke sana, tentu anggarannya tidak sedikit.

Pemberantasan ladang-ladang ganja ini sudah berlangsung puluhan tahun. Mereka dibekali peralatan paling mutakhir untuk bisa mendeteksi keberadaannya. Belum lagi, supaya para petani takut menanam ganja lagi, aparat-aparat ini selalu terlihat memanggul senjata laras panjang. Tapi meski sudah dibekali peralatan dan senjata yang menyeramkan, toh masih banyak orang di negeri ini yang tidak gentar membudidayakan ganja.

Pasar gelap ganja tidak jua runtuh hanya gara-gara kebijakan represif yang sangar macam itu. Pemberantasan ganja sudah diterapkan berpuluh-puluh tahun tapi peredaran gelapnya tetap merajalela bahkan menyebar ke daerah lain. Sejumlah kritikus kebijakan narkoba AS menggambarkannya sebagai “efek balon”, yakni saat balon ditekan, udara di dalamnya tidak hilang tapi hanya berpindah ke bagian balon yang lain.

BNN dan aparat bersenjata kita pasti sudah membaca dan mempelajari laporan-laporan internasional mengenai kontraproduktifnya pemberantasan narkoba. Mereka tahu kalau ganja diizinkan untuk dibudidayakan, maka nilai ekonominya akan jatuh sehingga pasar gelapnya menjadi tidak lagi menguntungkan. Sementara, pendekatan bersenjata telah terbukti justru membuat tempat-tempat budi daya ganja di Indonesia menyebar ke luar Aceh.

Maka untuk mempertahankan eksistensinya sebagai pelindung bangsa dari bahaya penyalahgunaan narkoba, mereka menolak legalisasinya. Melindungi generasi penerus bangsa adalah frasa yang digunakan agar terlihat heroik, padahal mereka pun paham kalau di negara-negara yang sudah melegalkan penanaman ganja, anggaran pemberantasannya tak lagi dibutuhkan.

Dari diskusi ini, upaya yang paling terlihat efektif untuk menumpas pasar gelap ganja dan narkoba lainnya adalah dengan menghapusnya dari daftar narkotika yang dilarang untuk pelayanan kesehatan. Sesuai UU Narkotika, kewenangannya berada di tangan Menteri Kesehatan.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.