close
WhatsApp Image 2022-06-28 at 5.05.14 PM

Musik merupakan salah satu budaya yang kental dengan peradaban. Musik sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama pada kalangan muda. Betapa hampanya hidup tanpa senandung lagu dan alunan musik, sehingga musik digunakan sebagai salah satu media relaksasi yang menyenangkan.

Bukan sekadar media untuk bersenang-senang, musik juga digunakan sebagai media perlawanan. Salah satunya adalah perlawanan terhadap pelarangan ganja di Indonesia yang dirasa kurang tepat karena kurang adanya bukti yang konkret sebagai dasar kebijakannya. Beberapa musisi pun meluapkan isi hati dan kemarahannya soal hal itu yang turut mewakili suara minoritas masyarakat.

Ganja merupakan tanaman yang dikategorikan sebagai narkotika golongan satu. Narkotika golongan ini dianggap paling berbahaya dan tidak memiliki daya guna. Ganja terkenal dengan efek halusinasinya dan membuat kecanduan sehingga keberadaannya benar-benar dilarang. Hal ini bertentangan dengan perkembangan khazanah keilmuan yang mulai memanfaatkan ganja sebagai komoditas perkebunan di sejumlah negara.

Pelarangan pemanfaatan ganja yang dilakukan ramai-ramai pada abad ke-20 justru membuatnya semakin merasuk ke budaya populer entah itu musik, film, buku, dan lainnya. Fenomena ini juga terjadi di tanah air, bahkan hingga saat ini dan mungkin akan tetap berjalan hingga entah berapa lama.

Wacana tanding tentang ganja telah merasuk dalam khazanah musik Indonesia. Genre yang terkenal berkaitan dengan ganja adalah reggae. Rambut gimbal sebagai simbol kebebasan, warna merah kuning hijau yang mencerminkan kebahagiaan, serta alunan musik yang santai sangat segaris untuk menikmati khayalan ketika lagi “tinggi”. Lirik lagunya sering menceritakan tentang ganja entah dari sisi kenikmatan atau soal pelarangannya.

Karena berkaitan erat dengan ganja, masyarakat sering mencurigai anak reggae sebagai pengguna ganja. Stigma yang dibangun masyarakat memang unik.

Tapi tak hanya reggae, musik cadas pun kerasukan. Genre musik ini terkenal dengan dentuman keras dan distorsi. Musik rock cenderung mengungkapkan kemarahan. Kebanyakan lagunya menceritakan tentang kehidupan sosial, politik, budaya, dan kemarahan rakyat termasuk soal pelarangan ganja. Mereka menyerukan legalisasi ganja, menceritakan sejarah dan budayanya, bahkan soal kenikmatan duniawi dari konsumsinya.

Baca juga:  Ada Apa dengan Payudara? (2): Payudara Porno?

Lalu bagaimana bisa musik keras seperti itu memiliki kaitan dengan ganja? Alunan musiknya memang bertolak belakang dengan reggae, tapi musisi memiliki cara masing-masing untuk menyampaikan pesan lewat karya mereka. Berikut adalah bukti kalau beberapa musisi rock menceritakan ganja dalam lagunya.

Pertama, Rajasinga. Ini adalah band grindcore asal Bandung, Jawa Barat. Musiknya dimainkan secara cepat tanpa basa-basi. Band ini sering jadi sorotan dalam perhelatan-perhelatan musik. Rajasinga sering diafiliasikan dengan ganja karena gambar daun ganja selalu muncul dalam foto-foto Instagram dan merchandise-nya yang di antaranya papir alias kertas linting tembakau (dan ganja).

Lirik lagu Rajasinga kerap bercerita soal ganja. Mereka mengungkapkan, di era modern ini harusnya masyarakat membuka mata dan telinga serta pemikiran mengenai masalah ganja. Grup musik ini menegaskan bahwa buat mereka, ganja bukan narkotika. Lagunya yang berjudul “Nad Kush” bercerita tentang ganja di Aceh yang seharusnya dibudidayakan demi kejayaan negara.

Lagu-lagu Rajasinga soal ganja di antaranya, “99% THC, 1% Skill”, “Ada”, dan “Stoned Maghrib”. Video klip untuk judul lagu terakhir itu menggambarkan perjalanan mereka sebagai tiga pendeta Trimurtad. Di tengah perjalanan, mereka bertemu King Smoker Sinting alias Singa Giting yang sedang menjaga gerbang. Kemudian, mereka memulai petualangan yang menggambarkan 11 tahun mereka berkarya.

Kedua, Jangar. Kelompok musik asal Denpasar, Bali ini mencampur nuansa rock dengan stoner, blues, dan heavy metal. Jangar merilis album Jelang Malam yang berkisah tentang sosial politik, kematian, kelahiran, dan alam baka.

Dalam lagu “Haerath”, mereka menceritakan tentang malam pemujaan Dewa Siwa dalam ajaran Hindu untuk penebusan dosa. Upacara ini bernama Maha Shivratri (Haerath). Di Nepal, para Shadu atau orang suci diperbolehkan mengisap ganja sebagai bentuk pemujaan karena ganja atau bhang adalah tanaman favorit Dewa Siwa.

Baca juga:  Meruntuhkan Terorisme dan Pasar Gelap Narkoba

Saat malam pemujaan, Shadu akan melumuri tubuhnya dengan abu kemudian menyalakan pipa yang telah diisi ganja. Disebutkan, ritual ini dilaksanakan untuk menghalau kesenangan duniawi yang kemudian melebur bersama alam semesta.

Lagu berjudul “Kesurupan” menceritakan fenomena penciptaan berbagai alternatif untuk menggantikan ganja yang illegal di Indonesia oleh generasi milenial dan Z. Munculnya banyak produk “ganja sintetis” dengan berbagai kemasan dan merek, mulai dari Goodshit hingga Gorilla, merupakan bagian dari eksperimen-eksperimen yang tidak dapat dipertanggungjawabkan asal usulnya. Produk itupun diperjualbelikan seenaknya.

Akhir bulan lalu, industri rumahan sinte di Bali digerebek polisi dengan barang bukti 24 kg tembakau sintetis, 7 liter cairan rokok elektrik, dan 500 gr serbuk bibit sinte. Olahan tersebut diedarkan lintasprovinsi. Tujuan dibuatnya produk-produk tersebut untuk mendapatkan efek rekreasi dari konsumsi ganja. Efek sampingnya tentu saja tidak baik.

Ketiga, Seringai. Ini adalah band metal yang berasal dari Jakarta. Musik yang berenergi serta lirik yang memberontak dari mereka menggugah gairah pendengarnya. Ada kelakar yang menyatakan, “Mana tahan enggak headbang kalau dengar Seringai!”. Satu lagu mereka soal ganja berjudul “Marijuanaut” menceritakan tentang kenikmatan dunia seseorang yang lagi giting.

Keempat, Grindjuana. Band grindcore asal Sukoharjo, Jawa Tengah ini turut meramaikan skena musik underground di tempat asal mereka. Sekumpulan pemuda penggagas grup musik ini punya kesamaan minat dan sepakat untuk memberikan secuil pengetahuan mereka soal tanaman yang terpenjarakan oleh propaganda.

Grindjuana menyampaikan pesan dalam lirik lagunya untuk tetap bersatu dalam perbedaan dan memprotes sistem yang salah dan tetu saja di antaranya untuk ganja.

Kelima, Pukar. Mendaku beraliran crust black metal, band asal Bandung, Jawa Barat ini merilis singgel perdana berjudul Propaganda Mary pada 6 Maret 2020. Berlatar kisah Fidelis Arie, Pukar mengungkapkan kemarahannya di lagu tersebut. Mereka menyuarakan tentang ganja medis, di mana masyarakat harus tahu bahwa ganja memiliki potensi untuk pengobatan tapi masih diselimuti stigma.

Baca juga:  Aksi Penggerebekan LGBT Melemahkan Upaya Mengatasi HIV

Seruan legalisasi juga memperoleh dukungan dari beberapa musisi underground. Mereka tidak tertarik legalisasi yang erat kaitannya dengan dunia politik, namun mereka mendukung penuh legalisasi ganja untuk dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan umat. Mereka percaya luasnya manfaat ganja dalam berbagai bidang kehidupan serta mendatangkan devisa bagi negara.

Wendi Putranto, Executive Editor Majalah Rolling Stone pernah mengatakan, “Secara pribadi gue setuju ganja dilegalisasi sebagai aset nasional yang seharusnya bisa mendatangkan devisa yang sangat besar buat negara. Sudah sepantasnya kita berhenti mengeksploitasi buruh migran, sudah saatnya mengeksploitasi ganja!”

Ganja bisa dimanfaatkan sebagai apa saja dan digunakan oleh siapa saja, akan tetapi perlu diregulasi. Eka Annash, frontman The Brandals menyetujui gerakan legalisasi ganja dengan syarat menjadi controlled substance yang berarti, seluruh distribusi dan pemakaiannya dibatasi hanya bagi yang berumur 18 tahun ke atas. Hal ini untuk membatasi pemakaian ganja oleh anak-anak.

Bongky, basis BIP berujar, “Boleh saja (legalisasi ganja). Adanya istilah penyalahgunaan kan karena aturannya memang melarang, undang-undangnya yang bilang begitu. Kalau sudah legal mah nanti jatuhnya yang ada cuma aturan pemakaian aja.

Gema legalisasi ganja telah merambah sampai ke Indonesia. Upaya ini diadang jalan panjang yang membutuhkan semangat gotong-royong. Semangat dari seluruh aliansi legalisasi ganja perlu untuk disatukan dan direkatkan agar terjalin kerja sama yang baik dan saling menguntungkan. Hal ini sebagai salah satu upaya dalam menghadapi negara yang rumit. Legalisasi ganja medis sebagai alternatif penyembuhan penyakit saja dipersulit, bagaimana untuk kemaslahatan umat demi terciptanya keadilan sosial?

Melankolia

The author Melankolia

Pemuda yang mencoba menghadirkan revolusi dari tempat tidur.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.