Kebijakan ini berdasarkan pada asumsi bahwa untuk melindungi masyarakat dari dampak-dampak negatif konsumsi sebuah komoditas adalah dengan melarang serta memberantas keberadaannya. NAPZA telah dikonsumsi umat manusia karena khasiatnya sejak ribuan tahun lalu, sehingga ketika komoditas tersebut diberantas yang terjadi adalah pasar gelap dan gangsterisme (ekonomi NAPZA dikuasai oleh penjahat).
Untuk menegakkan kebijakan ini, pemerintah perlu melakukan kampanye. Kampanyenya bersifat negatif agar masyarakat menjauhi komoditas yang dilarang tersebut. Tanpa disadari, ‘kampanye hitam’ ini malah menjadi promosi gratisan bagi produsen gelap narkoba.
Maraknya spanduk dan papan reklame anti narkoba hingga saat ini belum dapat dibuktikan menurunkan permintaan NAPZA ilegal di masyarakat. Data statistik menunjukkan dari tahun ke tahun semakin banyak masyarakat yang terlibat NAPZA ilegal yang berbanding lurus dengan peningkatan upaya pemberantasan atau “perang terhadap narkoba”.
Dari data-data yang tersedia, pola umum “perang terhadap narkoba” juga terjadi di negara ini, yaitu: 1) kenaikan anggaran untuk upaya-upaya pemberantasan; dan 2) kenaikan jumlah warga negara yang menjadi tersangka pidana narkoba. Kedua hal tersebut, seperti pola di negara yang menginisiasi perang terhadap narkoba, AS, tidak menghentikan produksi dan peredaran NAPZA ilegal itu sendiri.
Tahun | Pagu Anggaran Badan Narkotika Nasional | WNI Tersangka Kasus Narkoba |
2006 | Rp285.745.570.644 | 31.568 tersangka |
2007 | Rp234.460.000.000 | 36,101 tersangka |
2008 | Rp264.881.455.976 | 44.599 tersangka |
2009 | Rp239.600.000.000 | 35.299 tersangka |
2010 | Rp346.900.000.000 | 29.681 tersangka |
2011 | Rp723.610.000.000 | 32.763 tersangka |
2012 | Rp970.000.000.000 | 32.892 tersangka |
2013 | Rp1.022.552.882.000 | 43.885 tersangka |
2014 | Rp735.051.825.000 | 25.151 tersangka |
2015 | Rp1.412.308.919.000 | 42.797 tersangka |
diolah dari berbagai sumber |
Tabel di atas, yang menunjukkan anggaran perang yang dibiayai melalui mekanisme pajak vis a vis jumlah rakyat Indonesia yang dipenjarakan atas kasus narkoba, dapat dibaca, “Seharusnya semakin naik anggaran, maka semakin sedikit jumlah tersangka”. Hal ini berdasarkan logika bahwa biaya hingga trilunan rupiah per tahun itu seharusnya dapat mencegah semakin banyaknya rakyat Indonesia terlibat NAPZA ilegal.
Untuk mengatasi berbagai persoalan dalam penegakan hukum, beberapa negara menerapkan dekriminalisasi untuk sejumlah NAPZA yang secara hukum masih diberantas. Kebijakan ini dikenal sebagai Dekriminalisasi de Facto.
Dekriminalisasi de Facto
Kebijakan ini ditandai dengan dilepaskannya atau dibiarkannya orang-orang yang ketahuan mengonsumsi atau memiliki sejumlah NAPZA ilegal. Biasanya jumlah tertentu boleh dimiliki untuk konsumsi pribadi. Namun jika melebihi batasan yang telah ditentukan, pemilik dikenakan hukuman pidana.
Hukuman pidana berlaku untuk NAPZA yang tercantum dalam konvensi PBB tentang narkotik (1961) dan psikotropika (1971). Konvensi ini masih menjadi acuan kebijakan NAPZA negara-negara anggota PBB. Dekriminalisasi secara de Facto diterapkan suatau negara untuk menghindari sanksi PBB. Negara tersebut mengakui bahwa penerapan pidana NAPZA, khususnya pada pemilik untuk konsumsi pribadi, telah banyak menimbulkan masalah.
Statistik di berbagai belahan dunia menunjukkan bahwa lebih banyak jumlah konsumen NAPZA ilegal yang tertangkap polisi ketimbang pengedar atau produsennya. Salah satu alasan penerapan kebijakan ini adalah untuk mencegah korupsi di kalangan aparat dan untuk melindungi konsumen dari tindakan sewenang-wenang aparat.
Tingginya biaya pemenjaraan serta penuhnya penjara-penjara di suatu negara atas kasus narkoba merupakan alasan berikutnya untuk penerapan kebijakan ini. Pada tahun 2007 seluruh lapas dan rutan di Indonesia dihuni oleh 25.283 terpidana kasus penggunaan narkoba (74% dari total kasus narkoba). Biaya bahan makanan napi dan tahanan sebesar 4 juta rupiah per orang per tahun. Jika menerapkan kebijakan ini, Indonesia akan menghemat pengeluaran pada tahun itu sebanyak Rp101 miliar (4 juta dikali 25.283 orang).
Himbauan Kepolisian Portland, AS untuk kepemilikan ganja (cannabis-chronicles.com, 2015)
Walaupun tidak dipidanakan, pemilik untuk konsumsi pribadi ini tetap memperoleh NAPZA dari pasar ilegal. Uang anggota masyarakat tetap mengalir ke para pengedar dan produsen gelap dengan mendapatkan NAPZA yang kualitasnya tidak terkendali. Di Belanda terdapat lembaga yang melakukan tes terhadap mutu pil-pil dan kapsul yang dibeli di tempat-tempat hiburan. Tes itu penting karena bahan campuran obat yang biasa digunakan bisa sangat berbahaya dan/atau menimbulkan kerusakan berat pada tubuh manusia.
Dekriminalisasi de Facto mengandalkan penggunaan diskresi untuk efektivitasnya. Hal ini dilakukan agar konsumen yang tertangkap tidak membebani negara selama proses pengadilan berlangsung jikapun pada akhirnya hakim memutuskan hukuman non penjara.
Sebenarnya Menko Kesra RI pada 2007 mengatur bahwa ketika mendapatkan konsumen NAPZA ilegal, pihak kepolisian dapat merujuknya sebagai pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Namun pelaksanaannya sulit mengingat konsumen NAPZA ilegal yang tertangkap masih sering dijadikan ‘ATM berjalan’ oleh aparat penegak hukum. Jika diskresi diberlakukan kepada mereka, maka hilanglah sumber penghasilan sampingan para oknum ini.
Walaupun biaya pemenjaraan dan proses hukum lainnya dapat ditekan, namun kebijakan ini masih tetap ‘mengharamkan’ NAPZA yang konsumennya didekriminalkan tersebut. Produsen dan pengedar tetap menjadi sasaran upaya-upaya penegakan hukum. Upaya-upaya tersebut didasarkan pada dua aspek yaitu: untuk menjaga ketertiban umum serta keamanan; dan penegakan hukum pidana.
Penegakan hukum pidana biasanya diarahkan pada jaringan perdagangan nasional dan internasional serta pengedar-pengedar lokal kelas menengah. Mereka yang menjadi sasaran penegakan hukum ini tetap bergerak di pasar gelap untuk meraup keuntungan bebas pajak dengan harga eceran yang dapat ditentukannya secara sepihak.
Dekriminalisasi de Facto tetap mengakomodasi bertumbuhnya sindikat organisasi kriminal produsen dan pengedar NAPZA. Berdasarkan pengalaman Belanda, dengan diberlakukannya kebijakan ini, biaya untuk pemberantasan masih tetap mendominasi biaya-biaya lain dalam penanggulangan masalah narkoba.
Dekriminalisasi konsumen, bukan NAPZA-nya, merupakan celah kebijakan yang dapat diambil untuk mengurangi dampak buruk NAPZA di masyarakat serta menghindari sanksi PBB atas kesepakatan internasional pengendalian narkotik dan psikotropika. Namun pilihan tersebut tetap menyerahkan penguasaan bisnis beromzet ratusan miliar dolar per tahun ini kepada sindikat produksi dan perdagangan gelap.