close
parah-kapasitas-195-dipaksa-tampung-571-tahanan
Keadaan sebuah lapas di Indonesia (Foto: Google Images)

Walau sebenarnya sudah memproduksi dan menyediakan narkotika (metadon) secara harian untuk terapi, tapi untuk mengurangi jumlah konsumen narkoba, pemerintah melakukan pendekatan perang alih-alih dekriminalisasi dan regulasi pasar. Dampaknya, narkoba dengan segala jenisnya masuk dalam kerangka ekonomi pasar gelap. “Siapa pun dapat memproduksi tanpa izin negara dan dijual dengan harga semena-mena,” ujar Patri.

Baca artikel sebelumnya: Pemberantasan Narkoba, Pemborosan Uang Negara

Ujung-ujungnya, negara juga yang harus membiayai pemberantasan pasar gelap tersebut. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran untuk BNN yang terus membesar setiap tahunnya. Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan RI atas Laporan Keuangan BNN antara tahun 2013-2017 memperlihatkan peningkatan tersebut.

Pada tahun 2013, BNN memperoleh anggaran Rp1,16 triliun. Anggarannya sempat menurun jadi Rp736,75 miliar pada tahun 2014 seiring pelaksanaan pemilihan presiden. Namun pada tahun 2015 naik menjadi Rp1,42 triliun. Peningkatan cukup signifikan terjadi pada tahun 2016 dengan alokasi anggaran sebesar Rp2,54 triliun. Namun kembali menurun menjadi Rp1,94 pada tahun 2017.

Anggaran sebesar itu masih tidak efektif untuk pemberantasan narkoba di Indonesia. Namun BNN sendiri menganggap anggaran tersebut masih terlalu sedikit.  “Anggaran yang di awal, diajukan itu Rp7 triliun,” ujar Kepala Bagian Humas BNN, Komisaris Besar Sulistiandriatmoko, merujuk pada perencanaan anggaran BNN untuk tahun anggaran 2018.

Pembuatan program kerja di BNN tidak bisa lepas dari kebijakan “perang terhadap narkoba” yang ditetapkan pemerintah. Sulistiandriatmoko memaparkan, anggaran yang didapat lembaganya digunakan juga untuk mendukung keberadaan BNN di 34 provinsi serta 160-an kantor di tingkat kabupaten dan kota. Namun itu dirasa belum bisa menjangkau seluruh wilayah dan penduduk yang jumlahnya lebih dari 250 juta jiwa.

“Program pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang biasa disebut P4GN seharusnya jadi program seluruh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian,” ujar Sulistiandriatmoko.

Walau sudah memakan anggaran dan energi yang besar, “perang terhadap narkoba” itu diakui gagal. Kegagalan pemberantasan narkoba itu, sambung Sulistiandriatmoko, terlihat dari adanya peningkatan orang yang mencoba memakai narkoba pada tahun 2017.

Baca juga:  Diskusi | Perda Miras: Melindungi atau Menyodorkan Oplosan ke Tengah Masyarakat?

Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba di 34 Provinsi Tahun 2017 yang digelar BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia memperlihatkan pada tahun 2017 ada 1,9 juta orang yang mencoba pakai narkoba atau mereka yang memakai narkoba kurang dari lima kali dalam setahun saat survei digelar.

“Coba pakai adalah ekspresi dari sukses atau gagalnya program pencegahan. Kan kalau orang belum pernah pakai, kemudian dia memakai dalam rangka rekreasional, itu kan banyak sekali yang melatarbelakanginya. Latar belakang itu sangat ditentukan oleh program-program pencegahan,” imbuh Sulistiandriatmoko sembari berharap ada kepedulian dari seluruh komponen bangsa agar tidak terjadi peningkatan fenomena coba pakai ini.

Balik ke soal anggaran. Dana yang dialokasikan negara itu belum termasuk anggaran untuk tahanan dan warga binaan kasus narkoba di rumah tahanan serta lembaga pemasyarakatan. Anggarannya ada di pos Kementerian Hukum dan HAM yang harus menjamin hidup narapidana atau warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Sementara mereka yang masih menjalani proses penyidikan, kehidupan sehari-harinya ditopang dari anggaran Kepolisian dan Kejaksaan Agung RI.

Untuk melihat besaran dana yang dialokasikan Kementerian Hukum dan HAM, kita perlu melihat jumlah narapidana. Sistem Database Pemasyarakatan yang dikelola Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada September 2018 mencatat ada 177.145 narapidana yang tersebar di lembaga pemasyarakatan seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, 60,64 persen atau setara 100.897 orang terlibat pidana narkoba. Baik itu pengguna atau bandar narkoba.

Jumlah ini tidak jauh berbeda bila dibandingkan data pada September 2017 yang mencatat ada 63,98 persen atau setara 100.510 narapidana kasus narkoba dari total 157.081 narapidana.

Apabila ditarik rata-rata narapidana kasus narkoba dalam rentang waktu ini maka jumlahnya adalah 100.703 narapidana. Hitungan ini dibulatkan ke bawah. Jika setiap narapidana mendapatkan jatah makan Rp14.700 per hari per orang seperti yang berlaku pada tahun 2018, setiap hari pemerintah harus mengeluarkan uang makan hingga Rp1,48 miliar. Apabila dihitung setahun, maka uang makan untuk narapidana kasus narkoba saja bisa mencapai Rp540,2 miliar.

Baca juga:  Perkembangan Kasus Hukum Tamansari, Bandung

Negosiasi, Ganti Pasal, dan Suap

Hitung-hitungan itu belum termasuk ongkos yang harus dikeluarkan oleh para pelaku kasus narkoba saat berurusan dengan hukum. Hal ini setidaknya tergambar dalam Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia (Kerugian Sosial dan Ekonomi) yang dilakukan oleh BNN dan Universitas Indonesia pada 2011.

Mereka biasanya memilih bernegosiasi saat berurusan dengan penegak hukum. Caranya tentu dengan memberikan sogokan agar penegak hukum mau melepaskan mereka dari jeratan pidana. Mulai dari mengurangi barang bukti hingga mengabaikan pasal-pasal dalam undang-undang agar ancaman pidananya tidak memberatkan. Survei itu memperlihatkan urusan ‘damai’ dengan penegak hukum itu mencapai Rp11 triliun pada 2011. Angka ini meningkat 12 kali lipat dibandingkan tahun 2008.

Pada survei serupa tahun 2017, BNN memproyeksikan adanya biaya serupa. Nilainya sekitar Rp1,8 triliun.

Kepala Sub-Direktorat Bidang Penelitian, Pusat Penelitian Data dan Informasi BNN, Siti Nurlela mengatakan nilai tersebut muncul dari responden survei yang mengaku mengeluarkan sejumlah biaya saat berurusan dengan aparat hukum. “Kita hanya bertanya berapa jumlah biaya yang dikeluarkan saat dia terkena (urusan) hukum. Dikalkulasikan,” ujar Siti sembari menambahkan pihaknya tidak mempertanyakan apakah pengeluaran itu termasuk komponen biaya untuk menyuap petugas atau pemerasan.

Siti menyatakan temuan itu tidak serta merta menggambarkan kondisi seluruh responden. “Tidak bisa digeneralisir,” tegas Siti.

Masih di survei yang sama, tepat di bawah komponen biaya individu saat berurusan dengan hukum, ada juga komponen biaya pribadi terkait penjara. Nilainya mencapai Rp2 triliun.

Pengalaman Arya, 35 tahun, sebut saja begitu, tampaknya bisa memberikan gambaran ‘gelapnya’ kriminalisasi pengguna narkoba di Indonesia. Pria asal Bandung ini tiga kali keluar masuk penjara gara-gara berurusan dengan narkoba sejak 2015 lalu. Tidak tanggung-tanggung. Setahun sekali, dia harus meringkuk di penjara selama beberapa bulan.

Itu belum termasuk dua kali berurusan di polisi namun bisa dibebaskan karena terjadi kesepakatan damai. Setiap berdamai, Arya mengeluarkan uang hingga Rp20 juta.

Baca juga:  Enny Arrow: Sekadar Cabul atau Mengandung Pendidikan Seks?

“Saat ketangkap pertama ada barang bukti shabu 2 gram. Untuk urusan ini sampai habis Rp60 juta dari polisi sampai pengadilan. Uang itu untuk mengganti pasal 112 jadi pasal 127 di berkas,” kata Arya yang menghabiskan 10 bulan di penjara untuk perbuatannya.

Pasal yang dia maksud adalah pasal sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.  Pasal 112 memuat sanksi pidana bagi pihak yang memiliki narkotika untuk mengedarkan, menjual atau pihak yang menjadi kurir. Ancaman hukumannya paling ringan empat tahun penjara hingga hukuman mati. Sementara pasal 127 adalah pasal yang dapat diterapkan bagi pihak yang memiliki narkotika sebagai penyalah guna atau pecandu. Ancaman hukumannya maksimal empat tahun penjara atau rehabilitasi.

Saat berurusan dengan penegak hukum di tahun 2016, Arya harus mengeluarkan uang hingga Rp25 juta. Hukumannya enam bulan di penjara. Nominal yang sama dia keluarkan tahun 2017 akibat kepemilikan 5 gram shabu. Dia mendekam di penjara selama lima bulan.

Nominal uang itu, ungkap Arya, belum termasuk kebutuhannya sehari-hari di dalam penjara. Saat masuk ke rumah tahanan pertama kali saja, dia harus merogoh kocek hingga Rp3 juta buat ‘ongkos’ kamar. “Kalau bayar itu seperti jalan tol, bisa langsung ke kamar,” terang Arya yang sempat merasakan ‘sel tikus’ akibat tertangkap memakai shabu di penjara.

Untuk bisa kembali ke kamar tahanan yang ada alasnya, Arya harus membayar Rp10 juta. “Biar bisa turun sel,” imbuhnya.

Arya mengaku tidak kapok meski harus menjalani hukuman di penjara. Menurutnya, penjara adalah tempat yang membukakan jalurnya untuk mencari narkoba. Dia malah sempat menjadi bandar kecil-kecilan berkat koneksi yang didapatnya saat di dalam penjara, sebelum akhirnya tertangkap lagi.

“Memang lebih baik (narkoba) dikontrol negara sehingga pengawasannya lebih jelas,” ujar Arya mencoba merefleksikan pengalamannya.

Baca lanjutan artikel ini: Kebijakan Narkoba: Seharusnya Mencontoh yang Berhasil

Adi Marsiela

The author Adi Marsiela

Jurnalis di Bandung. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.