Tanyakan pada anak kecil, apa cita-cita mereka di masa depan? Kebanyakan dari mereka menjawab dengan tegas dan penuh semangat menjadi guru, polisi, tentara, dokter, dan apapun yang sudah jelas informasinya. Namun di antara mayoritas selalu ada yang nyeleneh menjawab ingin menjadi pelawak, pesulap, dan musisi.
Coba tanyakan kembali pada mereka, ketika beranjak dewasa apa pendapat tentang cita-cita tadi? Apakah tetap sama? Mayoritas mungkin berubah karena informasi yang didapatkan atau kenyataan yang sulit untuk terwujud.
Informasi menjadi sangat penting dan strategis. Begitu pula dengan informasi tentang HIV-AIDS.
Ini sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Sayangnya, pemerintah seringkali menyampaikan informasi yang berkaitan dengan HIV-AIDS, juga narkoba, dengan gaya yang sangat mengerikan.
Kita masih ingat waktu Presiden Jokowi memerintahkan jajarannya untuk menembak bandar narkoba. “Kejar mereka, hajar mereka, hantam mereka. Kalau UU membolehkan, dor mereka,” tandasnya di Lapangan Cengkeh, Kota Tua, Jakarta (Kompas.com, 26 Juni 2016)
Ungkapan-ungkapan represif yang menakut-nakuti, kadang cenderung menyakiti perasaan, juga terjadi pada peresmian beroperasinya Laboratorium Patologi HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Cut Meutia, Aceh Utara, September lalu.
Klinik itu diharapkan membantu pasien HIV-AIDS dan dapat mencegah penyebaran epidemi ini. Namun saat diwawancara, Bupati Aceh Utara yang meresmikan beroperasinya laboratorium tersebut menyatakan hal yang sangat menyakitkan perasaan, khususnya bagi para pengidap HIV-AIDS.
Video wawancara tersebut sempat diunggah ke situs berbagi video dan menggegerkan jagat maya di Indonesia.
Berita dengan judul Bupati Aceh Utara: Yang Terindikasi HIV-AIDS Biarkan Mati hingga tulisan ini dibuat masih bisa diakses di situs Merdeka.com yang dimuat 16 September 2016.
Hal ini tentu sangat mengejutkan, mengingat jabatannya sebagai kepala daerah yang ucapannya didengar, bahkan kadang dinantikan, masyarakat. Sepatutnya dalam hal ini, para kepala pemerintahan memberikan pendidikan tentang gambaran HIV-AIDS, juga narkoba, di wilayah kerjanya. Menyampaikan hal-hal bombastis dan mendiskriminasi tidak akan membuat membuat perubahan apa-apa.
Diskriminasi berupa tindakan pengasingan, penolakan, dan penghindaran atas orang dengan HIV-AIDS (ODHA) telah menjadi semacam bentuk hukuman sosial. Ini belum termasuk diskriminasi yang dialami ODHA dari unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan keluarga, maupun masyarakat pada umumnya. Perlakuan semacam itu menjadi tantangan, yang bila tidak teratasi menghambat upaya penanggulangan HIV-AIDS.
Kofi Annan (Setjen PBB 1997-2006) pernah mengatakan, “Knowledge is power. Information is liberating. Education is the premise of progress, in every society, in every family.”
Upaya pemerintah dalam penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia patut diapresiasi. Namun menjadi kontraproduktif ketika seorang kepala daerah atau tokoh menyampaikan hal yang justru mendapat tanggapan negatif dari masyarakat.
Seperti dalam kutipan Annan, bahwa pendidikan merupakan dasar argumentasi dari kemajuan di tiap masyarakat, di tiap keluarga.
Jika benar-benar dipahami dan dimengerti cara penularannya, HIV sebenarnya dapat dicegah tanpa harus menjauhi apalagi sampai menghukum dengan mencap buruk (menstigma) dan mendiskriminasi para pengidapnya. Inilah yang perlu menjadi dasar argumentasi masyarakat untuk kemajuan penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia.
Kalau satu suara atau satu tindakan bersama bisa menggulirkan perbaikan, kenapa kita masih ragu untuk turut serta terlibat di dalamnya.
Excellent article. I will be experiencing a few of these issues as well..