Rencana pelarangan pemanfaatan kratom, tanaman bernama Latin Mitragyna speciosa untuk keperluan pengobatan oleh Pemerintah RI menuai kontroversi. Pasalnya, budi daya tanaman ini telah menyelamatkan nasib ratusan ribu petani di Kalimantan dari anjloknya harga karet satu dekade terakhir. Belum lagi, tanaman ini sudah digunakan untuk berbagai macam pengobatan secara turun-temurun di banyak wilayah Nusantara.
Pada 2016 saja, 400 ton kratom dikirim ke luar negeri lewat Kantor Pos Utama Pontianak, Kalbar tiap bulannya. Jumlah ini setara 90 persen dari seluruh produk yang diekspor dari kota itu. Nilainya mencapai 130 juta dolar AS, setara 1,9 triliun rupiah di tahun itu.
Dalam khazanah pengobatan tradisional, kratom dikenal sebagai pereda nyeri, diare, pembengkakan, darah tinggi, hingga kencing manis.
Rencana Pelarangan
Pada 2016, Badan POM RI menerbitkan surat edaran yang melarang penggunaan daun kratom dalam obat tradisional dan suplemen kesehatan. Surat tersebut menjelaskan, kratom mengandung senyawa mitraginin yang pada dosis rendah mempunyai efek stimulan dan pada dosis tinggi memiliki efek sedatif-narkotika.
Setahun kemudian, Komite Nasional Perubahan Penggolongan Narkotika dan Psikotropika menetapkan kratom sebagai narkotika golongan satu yang dilarang digunakan dalam pelayanan kesehatan tapi boleh dimanfaatkan untuk keperluan iptek. Tanaman yang terdaftar di golongan ini di antaranya, koka, opium alias candu, dan ganja.
Komite tersebut dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI pada 2017. Tugasnya melakukan analisis dan kajian terhadap zat-zat psikoaktif baru yang belum terdaftar dalam golongan-golongan narkotika atau psikotropika kemudian melaporkannya kepada Menteri Kesehatan.
Sampai sekarang, Menteri Kesehatan belum menyetujui ketetapan tadi dengan menerbitkan peraturan yang memasukkan kratom ke daftar narkotika golongan satu.
Meski demikian, Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan sikap mendukung ketetapan komite bentukan Kementerian Kesehatan itu melalui surat yang ditandatangani kepalanya, Heru Winarko pada 2019. BNN memberikan masa transisi lima tahun sejak terbitnya ketetapan komite yang dimaksud.
Surat tersebut mengemukakan hasil penelitian BNN terhadap kratom yakni, efek psikotropikanya bisa memengaruhi mental dan perilaku konsumennya. Selain itu, kratom mengandung senyawa-senyawa yang berbahaya bagi kesehatan di antaranya seperti yang telah dijelaskan dalam surat edaran Badan POM di atas serta 7-hidroksimitraginin yang diklaim 13 kali lebih kuat dari morfin dengan gejala putus zat, depresi pernapasan, hingga kematian.
Dalam sebuah diskusi akhir 2019 lalu, Kepala Laboratorium Narkotika BNN, Mufti Djusnir menjelaskan latar belakang pelarangan konsumsi kratom karena dianggap lebih besar kerugiannya ketimbang manfaatnya.
Potensi Kratom
Meski di Asia Tenggara kratom telah dikenal selama berabad-abad untuk bermacam pengobatan, konsumsinya di Amerika Serikat (AS) baru tercatat marak kira-kira pada 2015. Saat ini diperkirakan terdapat hingga 15 juta konsumen kratom di sana. Berbagai jenis produk tanaman ini pun bisa dibeli di hampir semua negara bagian.
Dari statistik tersebut, maka wajar kalau nilai ekspor kratom dari Pontianak saja bisa mencapai 1,9 triliun rupiah pada 2016.
Di tahun yang sama, sebuah survei yang dilakukan oleh American Kratom Association menyatakan 68 persen konsumsinya dilakukan secara mandiri atau tanpa asistensi medis untuk pengobatan nyeri, 66 persen untuk memperbaiki emosi atau keadaan mental, dan sekitar 25 persen untuk mengatasi gejala putus obat-obatan opioid seperti heroin. Peserta survei berusia 31-50 tahun dengan penghasilan 35 ribu dolar atau lebih per tahun.
Sejak awal abad ke-20, kratom memang dikenal untuk mengatasi gejala ketagihan opium terutama di Malaysia dan Thailand. Pemerintah Thailand sampai melarang konsumsinya karena tidak mau kehilangan pendapatan dari pajak opium pada 1943. Waktu itu banyak penduduk yang lebih memilih konsumsi kratom demi menghindari pajak opium. Efek konsumsi kratom memang mirip dengan efek opioid terhadap tubuh meski lebih ringan.
Gegara popularitasnya sebagai suplemen untuk memperbaiki suasana hati, Polisi Narkoba AS (DEA) mengumumkan usulan untuk mengategorikan kratom sebagai zat yang dilarang dipakai buat pengobatan pada 2016. Kategorisasi ini mirip narkotika golongan satu di Indonesia. Alasan mereka, kratom dianggap tidak berkhasiat medis dan sangat potensial untuk disalahgunakan.
Usulan itu diprotes sejumlah kalangan karena jutaan warga AS menyatakan kalau kratom telah mampu mencegah mereka dari konsumsi opioid jalanan macam heroin dan fentanil. Kedua obat itu merupakan penyebab utama kematian akibat overdosis narkoba di sana. Pelarangan kratom tentu akan memidanakan para konsumen, melenyapkannya dari tempat-tempat penjualan resmi, dan membuat orang mengonsumsi zat yang lebih berbahaya.
Dampak-dampak buruk konsumsi kratom termasuk potensi medisnya hingga kini memang masih diteliti. Sebagai tumbuhan yang mengandung senyawa psikoaktif, tentu konsumsi rutinnya akan mengembangkan ketergantungan. Jangankan kratom yang punya khasiat meredakan nyeri, konsumsi rutin kafein yang terkandung dalam kopi saja menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis.
Kalau nantinya kratom benar-benar didaftarkan sebagai narkotika golongan satu atas pertimbangan potensi ketergantungannya, apakah negara mampu menumpas tanaman yang sudah terlanjur bermanfaat bagi kesehatan, perekonomian, maupun ekologi ini?
Aspek ekologi dipertimbangkan karena puluhan juta pohon kratom tumbuh di Kalimantan. Kalau jadi dilarang, itu artinya puluhan juta pohon dengan rata-rata tinggi hingga 30 meter itu harus ditebang yang berakibat pada penggundulan lahan.
Mencegah Tumbuhnya Pasar Gelap
Terlepas dari beragam potensi termasuk yang merugikan dari konsumsi kratom, apakah usulan pelarangan ini sudah memperhitungkan pula efektivitas penerapannya bila nantinya kebijakan itu yang dipilih? Sebab meski DEA sudah mengusulkan pelarangannya sejak 2016, hingga kini kratom masih bisa secara resmi dibeli di lebih dari 40 negara bagian AS.
Di Eropa, sebuah petisi sedang digagas supaya penggolongan tanaman psikoaktif di masa lalu seperti pada ganja dan opium tidak terulang lagi untuk kratom. Mereka berargumen, pelarangan kratom akan berimplikasi serius pada konsumsinya serta akan merusak kesempatan untuk mengaturnya dari perspektif kesehatan masyarakat lantaran sudah dibatasi dalam ranah pidana.
Manfaat pengobatannya menjanjikan, lebih besar daripada risiko kesehatannya secara keseluruhan. Karena itu, masyarakat menuntut agar otoritas Eropa menghentikan pemidanaannya dan mengikuti rekomendasi WHO mengenai tanaman ini.
Kalau pelarangan kratom berlaku efektif tahun ini, permintaannya masih banyak dari negara-negara yang tidak melarangnya. Itu berarti para produsen di dalam negeri akan memenuhi permintaan tersebut dengan membudidayakan kratom secara sembunyi-sembunyi dan menyelundupkannya.
Kasus seperti ini pernah dan sedang Indonesia alami untuk tanaman ganja selama lima dekade terakhir. Pemberantasan ladang-ladangnya memang dilakukan, tapi selalu saja ditemukan ladang-ladang ganja baru yang tempatnya menyebar hingga ke luar Aceh. Ini berarti pemberantasan kratom akan memakan biaya yang sangat besar karena luas area pencarian yang jauh lebih luas.
Di sisi lain, pemidanaan ganja malah justru menyuburkan ekonomi pasar gelapnya. Penguasaannya oleh sindikat akan mempersulit upaya pemberantasan karena mereka tak segan-segan melakukan suap kepada aparat hingga pembunuhan demi memuluskan bisnis dengan keuntungan besar ini.
Dari fakta penerapan kebijakan pelarangan kratom sejak 1943, Thailand akhirnya meresmikan konsumsi dan budi dayanya pertengahan tahun lalu. Dari hasil kajian, legalisasi kratom menghemat pengeluaran aparat untuk pemberantasannya hingga 1,69 miliar baht atau setara 708 miliar rupiah.
Legalisasi kratom di Thailand juga membuat harganya menjadi 1-1,5 baht per daun, turun dari 5-10 baht per daun saat tanaman ini masih digolongkan sebagai narkotika. Kini, para pembudi daya tidak harus sembunyi-sembunyi menanam seperti saat kratom masih dilarang di Negeri Gajah Putih itu.
Belajar dari Pemberantasan Ganja
Saat resmi jadi komoditas terlarang, yang pertama kali dilakukan BNN dan jajarannya tentu membumihanguskan perkebunan-perkebunan kratom. Sebagai tanaman endemis Asia Tenggara, tempat tumbuh suburnya kratom membentang dari Sumatera, Kalimantan, hingga Papua. Dengan wilayah yang sedemikian luas, anggarannya pun bakal besar pula. Ini mungkin jadi penyemangat BNN dan jajarannya untuk melakukan penumpasan.
Tapi meski anggarannya besar yang tentu memengaruhi semangat represif para aparat, pemerintah punya pengalaman serupa untuk tanaman ganja yang hasilnya tidak membahagiakan. Boleh dibilang menyedihkan bahkan memuakkan!
Pemberantasan ladang ganja yang hanya di Provinsi Aceh saja seakan tiada habisnya meski sudah berlangsung puluhan tahun. Sedangkan wilayah operasi pemberantasan kratom jauh lebih luas, ada setidaknya di tiga pulau besar Nusantara.
Dari situ, saya membayangkan upaya pemberantasan perkebunan kratom tentu akan jauh lebih berat ketimbang pemberantasan ladang ganja yang selama ini difokuskan di wilayah Aceh, hanya satu provinsi di Pulau Sumatera.
Perkebunan ganja ilegal saja bisa berpindah-pindah meski masih dalam satu provinsi setelah pembumihangusannya yang gencar, apalagi perkebunan kratom yang wilayah tanamnya jauh lebih luas.
Dengan nilai perdagangan 1,9 triliun rupiah per tahun dari ekspor ke AS, sindikat perdagangan gelapnya tentu akan melakukan cara apapun untuk mempertahankan bahkan meningkatkan laba bisnis kratom. Penambahan zat-zat yang berbahaya sangat mungkin dilakukan untuk menaikkan daya saing kratom Nusantara melalui maksimalisasi efek psikoaktifnya, khasiat yang selama ini dicari oleh para konsumennya.
Kratom untuk Rakyat
Bila pemerintah tak mau menghambur-hamburkan anggaran pemberantasan tanaman kratom seperti yang sudah pernah dilakukan untuk ganja, sejumlah hal kecuali pelarangan sangat mungkin dilakukan. Upaya tersebut akan menihilkan peluang bagi sindikat kejahatan untuk menguasai tata niaga kratom dan terutama melindungi pelaku budi daya kratom di tanah air serta masyarakat yang memanfaatkannya sebagai pengobatan tradisional.
Yang pertama, kratom tidak perlu digolongkan sebagai narkotika atas potensi ketergantungan maupun penyalahgunaannya. Tanaman tembakau, meski telah banyak kajian ilmiah yang menyatakan kalau konsumsinya menimbulkan ketagihan, toh hingga kini tidak digolongkan sebagai narkotika.
Contoh lainnya, obat-obatan pereda sakit kepala menjadi narkoba terbanyak ketiga yang paling banyak dikonsumsi setelah ganja dan sabu pada 2017. Dekstrometorfan (obat batuk) berada di peringkat yang sama pada survei sejenis yang dilaporkan 2021. Tapi baik obat sakit kepala maupun dekstrometorfan tidak digolongkan sebagai narkotika meski potensi penyalahgunaan dan ketergantungannya tinggi.
Lupakan usulan menjadikan kratom sebagai narkotika golongan satu, karena sebagai konsekuensinya, negara harus menumpas perkebunan atau pemanfaatannya sebagai pengobatan. Belajar dari kasus ganja, upaya pemberantasan hanya menghamburkan anggaran negara yang kontraproduktif karena terbukti memperkaya sindikat pasar gelapnya dan menyebarluaskan ladang-ladang gelapnya ke luar Aceh.
Ujungnya, negara akan malu karena tidak pernah menang melawan sindikat ini.
Yang kedua, negara harus mengakomodasi budi daya dan industri kratom yang ada di tanah air. Akomodasi ini berarti meningkatkan mutu produksi dan memperbanyak penelitian khasiat obat tanaman ini. Dengan demikian, pemerintah bisa mengawasi adanya produk kratom yang mengeklaim khasiatnya di luar ketetapan pemerintah sesuai hasil-hasil penelitian medis yang sudah terstandarisasi.
Pemerintah juga bisa melakukan pendidikan di masyarakat seputar pemanfaatan daun kratom untuk pengobatan dengan memberikan peringatan pada kemasan produk tentang dosis yang sesuai, untuk indikasi medis apa saja, batas usia, dsb.
Meski dikelola masyarakat, pada akhirnya industri kratom dalam negeri bisa bersaing di kancah internasional dengan produksi yang terawasi dan difasilitasi peningkatan mutu produksinya. Dengan demikian, potensi budi daya kratom Nusantara bisa mendatangkan devisa alih-alih memperkaya sindikat pasar gelap kratom melalui usulan pelarangannya untuk pelayanan kesehatan.