Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden mengumumkan amnesti bagi hampir tujuh ribu orang yang dihukum atas kepemilikan ganja berdasarkan hukum federal atau nasional AS. Keputusan ini berlaku bagi mereka yang dihukum atas kepemilikan ganja untuk konsumsi pribadi tanpa maksud untuk mengedarkannya.
Biden juga mendesak agar semua otoritas negara bagian mengambil tindakan serupa sehubungan dengan kepemilikan ganja. Selain pengampunan atau amnesti tersebut, Biden juga menginstruksikan Jaksa Agung dan Kementerian Kesehatan AS untuk meninjau ganja dalam upaya mengeluarkannya dari golongan zat yang paling diawasi dan berbahaya. Di AS, seperti juga di sini, zat-zat yang demikian terdaftar sebagai narkotika golongan satu.
Pengumuman kepresidenan pada Kamis, 6 Oktober 2022 itu menjadi langkah yang besar menuju dekriminalisasi ganja untuk konsumsi pribadi secara menyeluruh.
Langkah besar ini harus menjadi bahan tafakur buat kebijakan narkoba global, termasuk Indonesia, karena AS adalah negara yang menggelorakan semangat untuk memerangi narkoba. Pada 18 Juni 1971, Presiden Richard M. Nixon menggelar konferensi pers pascapidatonya di hadapan Kongres AS tentang penanggulangan masalah narkoba di sana. Ia menyatakan, narkoba sebagai musuh masyarakat AS nomor wahid. Sejak saat itu, jargon “perang terhadap narkoba” pun populer dan turut diimplementasikan secara global.
“Perang terhadap narkoba” AS hingga kini masih dominan di PBB sehingga memengaruhi negara-negara anggotanya untuk menggunakan hukum pidana yang represif sebagai pendekatan dalam mengatasi masalah narkoba.
Pengumuman yang dilakukan Biden menegaskan, AS saja telah mengakui kegagalan “perang terhadap narkoba” yang mereka gelorakan hingga mengglobal sejak lebih dari setengah abad lalu. Kini mereka tobat dengan menghapus hukum federal yang mengedepankan pendekatan pidana untuk kepemilikan narkoba, dalam hal ini ganja.
Upaya menghapus penerapan hukum federal pemidanaan ganja, khususnya di negara-negara bagian yang telah melegalisasinya sebenarnya telah dimulai pada era Presiden Barrack Obama. Tapi, kebijakan itu dibatalkan oleh Donald Trump yang menjadi suksesor Obama.
Sebelum Biden memberi pengampunan bagi terpidana kepemilikan ganja di antero AS, Thailand telah lebih dulu melakukannya. Negeri Gajah Putih itu membebaskan 3.071 narapidana kasus ganja awal Juni lalu. Tak hanya itu, sekitar 110 juta baht (setara 44,74 miliar rupiah) uang yang disita dari para pelanggar UU antipencucian uang terkait ganja dikembalikan dan enam belas ton ganja yang siap dimusnahkan pun akan bisa diklaim balik oleh pemiliknya.
Wacana memberikan amnesti bagi pengguna narkoba sebenarnya pernah disuarakan oleh Pemerintah RI. Menteri Hukum dan HAM RI, Yasonna Laoly meminta pembebasan narapidana dengan kategori pengguna narkoba pada 27 November 2019. Amnesti massal itu ia suarakan lantaran pemenjaraan pengguna narkoba telah membuat lapas dan rutan se-Indonesia kelebihan penghuni dan sangat membebani negara.
Usulan yang belum terlaksana itu sebenarnya masih tetap relevan, karena saat ini kondisi kelebihan populasi penjara tidak berubah.
Per 7 Oktober 2022, data Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI menunjukkan, seluruh lapas dan rutan memiliki total kapasitas 132.107 penghuni. Sementara, terdapat 142.483 narapidana dan tahanan kasus narkoba dari total 275.649 penghuni.
Atas keadaan itu, Menteri Hukum dan HAM RI sangat mungkin melakukan asesmen dan merekomendasikan amnesti tersebut saat ini.
Sejalan dengan usulan amnesti tersebut, dekriminalisasi atau menghapus pemidanaan bagi kepemilikan narkoba untuk konsumsi pribadi harus diejawantahkan dalam revisi UU Narkotika 2009 yang masih bergulir di antara pemerintah dan parlemen sejak 2016. Meski demikian, Rumah Cemara sebagai bagian dari Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika perlu menekankan, bahwa dekriminalisasi tidak sama dengan mengalihkan hukuman dari penjara ke panti rehabilitasi medis dan/ atau sosial.
Sayangnya, RUU Narkotika terakhir yang pemerintah kirim ke parlemen awal tahun ini masih mengedepankan pendekatan pidana meski menggunakan terminologi “pendekatan alternatif” khususnya demi pencapaian tujuan UU dalam menjamin upaya rehabilitasi bagi orang-orang yang ketergantungan narkoba. Substansi rehabilitasinya masih dilandasi pendekatan pidana, yakni sebagai alternatif hukuman penjara untuk mengatasi kelebihan populasi di lapas dan rutan. Konsumen narkoba masih tetap diancam hukuman pidana.
Untuk itu, kami mengajak berbagai elemen masyarakat turut mendukung amnesti massal narapidana kasus narkoba untuk konsumsi pribadi yang membuat penuh sesaknya penjara-penjara kita. Proses pidananya pun, dari penyidikan hingga pemasyarakatan, menelan biaya yang besar dan tentu saja dibebankan ke anggaran negara alias uang rakyat. Thailand, bahkan AS yang menggelorakan “perang terhadap narkoba” saja sudah insaf dari kekhilafannya yang dilakukan selama setengah abad lebih dengan mendekriminalisasi ganja.
Kami percaya, amnesti massal tersebut akan menjadi pembelajaran yang berarti buat penyelenggara negara bahwa memidanakan konsumen dan memberantas narkoba hanya menghambur-hamburkan uang negara dan merusak mental aparat-aparat penegak hukum kita yang kian hari kian banyak yang ketahuan terlibat dalam pusaran bisnis narkoba.