Narkoba telah dimanfaatkan umat manusia puluhan ribu tahun lalu atas kandungan zat psikoaktifnya baik untuk pengobatan, ritual keagamaan, maupun rekreasi. Di zaman bernegara seperti sekarang ini, pemerintah dapat menerapkan kebijakan untuk komoditas tersebut baik menuruti kesepakatan alias konvensi internasional atau berdaulat penuh dan mengabaikan konvensi.
Lantaran kandungan zat di dalamnya, pada ambang batas tertentu, komoditas yang dikonsumsi tubuh bisa membahayakan kesehatan manusia. Negara wajib melindungi keselamatan warganya. Pemerintah pun berwenang mengatur seluruh produk komoditas tersebut, termasuk narkoba. Sebagai contoh, seluruh produk makanan di republik ini harus mengantongi izin dan diawasi Badan Pengawas Obat dan Makanan RI.
Selain makanan dan minuman, ada pula obat atau narkoba (drugs) yang juga dikonsumsi tubuh dan wajib diatur negara. Khusus narkoba, ada dua kebijakan yang paradoks tapi sebetulnya masalah-masalah sosial dan kesehatan yang ditimbulkannya sama, yakni pelarangan dan liberalisasi.
Persamaan utama keduanya adalah motif menangguk laba dari kegiatan ekonominya. Persamaan kedua, kegiatan ekonomi dijalankan secara privat atau swasta, baik perorangan maupun organisasi.
Karena motif utamanya adalah laba, maka pelaku usaha wajib melakukan pemasaran untuk menjaring konsumen sebanyak-banyaknya. Selain itu, meski punya izin dan diawasi pemerintah, ada saja pelaku usaha yang menggunakan bahan baku berkualitas buruk bahkan berbahaya demi melipatgandakan laba. Dalam hal pemasaran pun mereka kerap menggunakan informasi bombastis bahkan menyesatkan akan produknya.
Di bidang farmasi, sudah jadi rahasia umum kalau pabrik obat kerap berkolusi dengan dokter yang meresepkan produknya. Celakanya, biaya kolusi untuk meningkatkan penjualan itu dibebankan sebagai biaya produksi sehingga berimbas pada meningkatnya harga obat.
Setidaknya, 20 persen dari harga jual obat merupakan biaya insentif dokter atau promosi. Pada 2008 diperkirakan, perusahaan farmasi mengeluarkan Rp500 miliar per tahun untuk biaya promosi. Tapi sangat mungkin jumlah uang yang dibagi-bagikan ke para dokter lebih dari 20 persen dan lebih dari Rp500 miliar per perusahaan.
Hal tersebut disampaikan Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, Prof. Agus Purwadianto dan Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, dr. Marius Widjajarta yang diamini mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, Kartono Mohammad.
Akibat kelakuan amoral itu, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menengarai mahalnya harga obat di Indonesia 200 kali lipat dari harga obat di pasaran dunia pada 2007.
Prinsip dasar liberalisasi adalah meminimalkan bahkan menghapus campur tangan negara karena dianggap sebagai penghambat kegiatan ekonomi dengan regulasi-regulasinya.
Pada kebijakan liberalisasi untuk tembakau dan alkohol yang juga merupakan drugs alias narkoba misalnya, negara dihadapkan pada ambiguitas. Di satu sisi, kedua komoditas itu menghasilkan pendapatan yang berarti bagi negara melalui pungutan cukai hingga bisa menambal defisit belasan triliun rupiah BPJS Kesehatan pada 2018. Di sisi lain, pembatasan harus dilakukan untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk konsumsinya.
Perbedaannya dengan pelarangan, pada kebijakan liberalisasi pemerintah dapat memberikan izin produksi dan distribusi sebuah narkoba sehingga resmi dikonsumsi masyarakat. Negara juga bisa memungut pajak atas produksi, penjualan, dan/ atau konsumsinya. Di luar itu, karena motifnya adalah laba bagi perorangan atau organisasi swasta – bukan negara-rakyat, banyak kegiatan ekonominya yang serupa.
Atas kemiripan keduanya, John Marks, seorang psikiater Inggris menulis makalah “Paradoks Pelarangan” untuk sebuah simposium Universitas New South Wales pada 1989 yang kurvanya diadaptasi oleh otoritas kesehatan Kanada dalam makalah diskusi bertajuk “Sebuah Pendekatan Kesehatan Masyarakat untuk Mengendalikan Narkoba di Kanada” enam belas tahun kemudian.
Kurva Paradoks Pelarangan – diadaptasi dari Marks’ U-Shaped Curve:
Berikut perbandingan kebijakan liberalisasi dan pelarangan narkoba dalam bentuk tabel:
Liberalisasi narkoba yang saat ini berada dalam kebijakan pelarangan diyakini sejumlah kalangan, terutama para penumpuk modal atau kapitalis, sebagai jalan keluar atas masalah-masalah yang muncul akibat pelarangan narkoba. Kebijakan semacam ini sering disebut sebagai “legalisasi” karena dalam kebijakan pelarangan, narkoba ditetapkan sebagai komoditas ilegal.
Rumah Cemara tidak pernah mengadvokasi agar narkoba yang saat ini dilarang sehingga menyuburkan pasar gelap untuk diliberalkan. Usulan Rumah Cemara adalah, negara mengendalikan seluruh aspek ekonomi narkoba untuk kesejahteraan rakyat atau bila mengacu pada Kurva Paradoks Pelarangan, sasaran advokasinya adalah dekriminalisasi, regulasi pasar, dan peresepan.
Dekriminalisasi adalah menghapus pemidanaan atas kepemilikan narkoba untuk kebutuhan pribadi atau tidak untuk dikomersialkan.
Regulasi Pasar adalah penguasaan seluruh aspek ekonomi narkoba oleh negara mulai dari budi daya, produksi, distribusi, hingga konsumsi untuk menghapus motif profit siapapun yang berniat mengomersialkan komoditas ini. Motif inilah yang menimbulkan masalah-masalah sosial dan kesehatan baik dalam kebijakan pelarangan (pasar gelap) maupun liberalisasi (pasar bebas).
Peresepan adalah prosedur pemerolehan suatu zat yang sudah dikenal luas untuk keperluan pengobatan sesuai indikasi medis atau kebutuhan pasien (dosis) berdasarkan usia, berat badan, seberapa berat penyakit yang diderita, dan sebagainya. Prosedur ini juga mensyaratkan sistem administrasi serta supervisi medis yang ketat.
1 Comment