Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta Pemerintah dan DPR RI menunda pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Permintaan itu disampaikan aliansi yang terdiri dari berbagai organisasi nonpemerintah atas rencana pengesahan rancangan tersebut dalam sepekan ke depan. Aliansi menilai rencana itu terburu-buru di tengah pembatasan sosial berskala besar oleh pemerintah dalam mengatasi wabah virus korona.
Dalam kondisi pembatasan sosial saat ini, DPR dan pemerintah harusnya memfasilitasi diskusi daring dengan berbagai pihak seluas-luasnya untuk mendapatkan masukan serta menyosialisasikan RKUHP. Pengesahan RKUHP tanpa pembahasan menyeluruh hanya akan menambah persoalan di kemudian hari.
Dalam RKUHP per September 2019, aliansi di mana Rumah Cemara tergabung di dalamnya ini mencatat sejumlah pasal bermasalah yang terlalu memidanakan (overcriminalisation). Pasal-pasal tersebut meliputi penghinaan presiden dan pemerintah, larangan menunjukkan alat kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi atau kumpul kebo, gelandangan, aborsi, penghinaan termasuk terhadap sistem peradilan (contempt of court), makar, pencabulan yang diskriminatif, tindak pidana narkotika, dan pelanggaran HAM berat.
Pandemi ini tidak boleh dijadikan kesempatan untuk mengesahkan sebuah rancangan UU yang masih mengandung banyak permasalahan dan tidak dibahas secara inklusif. Aliansi memiliki beberapa catatan untuk RKUHP yang masih harus diselesaikan, yakni:
Pertama, pemerintah dan DPR harus kembali mengevaluasi seluruh pasal yang ada di dalam RKUHP. Depenalisasi dan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana harus digalakkan. Kelebihan hunian di rutan dan lapas yang terjadi saat ini salah satunya disebabkan oleh pemidanaan berlebih dalam peraturan dan perundang-undangan yang belum diatasi RKUHP.
Kedua, DPR dan pemerintah belum melibatkan lebih banyak pihak terutama yang akan terdampak oleh penegakan KUHP yang sedang dirancang. Selama ini, pembahasan hanya dilakukan bersama ahli-ahli di bidang hukum pidana tanpa mempertimbangkan pendapat dari bidang ilmu lain. Padahal, bidang kesehatan, pariwisata, dan ekonomi akan terdampak oleh penerapan RKUHP.
Selain itu, pembahasan RKUHP tidak boleh hanya berpusat di Jawa. Keterwakilan seluruh daerah di Indonesia penting untuk menjamin KUHP bisa ditegakkan di seluruh wilayah.
Ketiga, prioritas penanganan covid-19 dalam sistem hukum pidana saat ini adalah memastikan penerapan jaga jarak di antara penghuni di penjara-penjara yang kelebihan penghuni. Yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah mengurangi jumlah penghuni dan menerapkan alternatif pemidanaan nonpenjara. DPR harus mampu memastikan pemerintah memiliki instrumen dan sumber daya yang memadai supaya hal tersebut bisa efektif dilaksanakan.
Mengatasi kelebihan penghuni juga bisa berguna untuk mengurai pelbagai persoalan di penjara-penjara Indonesia seperti tawuran, peredaran uang, bisnis narkoba, serta kesehatan termasuk bila kondisi darurat wabah terjadi lagi.
Aliansi ini meyakini, DPR dan pemerintah justru memperburuk penanganan covid-19 bila memaksakan pengesahan RKUHP dalam waktu dekat. Penundaan sebaiknya dilakukan hingga kondisi negara pulih dan mampu membahas RKHUP dengan baik dengan catatan-catatan di atas.