Akhir bulan lalu kantor berita Prancis, AFP mengabarkan proses penghapusan larangan pemanfaatan ganja di Nepal. Pemerintah Negeri Atap Langit itu sebenarnya sudah mengajukan mosi untuk mencabut pelarangan ini ke parlemen pada Januari 2020. Pengajuan tersebut selang sebelas bulan sebelum PBB mereposisi ganja dalam konvensi tentang narkotika. Hingga kini, parlemen belum juga mengesahkan usulan itu.
Usulan kebijakan tersebut bukan sekadar mengikuti negara-negara Barat yang sudah terlebih dulu meresmikan pemanfaatan ganja. Nepal punya sejarah kebudayaan ganja yang panjang. Bahkan para biolog selama bertahun-tahun meyakini kalau dataran tinggi Himalaya adalah tanah kelahiran tanaman ganja. Keyakinan tersebut sebelum publikasi kajian yang menyatakan kalau ganja pertama kali dibudidayakan di Asia bagian timur (Tiongkok) bukan tengah (Himalaya).
Pelarangan ganja di Nepal merupakan ironi. Pada 1970-an, negara ini dipaksa mengekor “perang terhadap narkoba” Amerika Serikat (AS). Kini, pemerintah negara-negara bagian Paman Sam yang telah melegalkan ganja mendapat pemasukan dari pajak penjualan berbagai varietas ganja asal Nepal.
Lantaran fakta ironis tersebut, Menteri Kesehatan Nepal, Birodh Khatiwada menyatakan kepada AFP bahwa, sudah tidak bisa dibenarkan lagi kalau negara-negara miskin seperti negaranya harus melarang pemanfaatan ganja.
“Rakyat kami dihukum… dan korupsi di negara kami merajalela gegara penyelundupan saat kami mengikuti keputusan negara-negara maju yang sekarang melakukan apa yang mereka inginkan (untuk ganja),” ungkap Khatiwada.
Demi mendapat dukungan parlemen, pemerintah Nepal pun melakukan berbagai kajian mengenai potensi budi daya, pengobatan, serta ekspor ganja. Upaya ini hendaknya bisa dijadikan pelajaran bagi Indonesia mengingat wacana ganja medis di tanah air kian menguat. Pemerintah Nepal dan para cendekiawan mengkaji ganja dari berbagai aspek selain penegakan hukum, di antaranya kesehatan, pertanian, pariwisata, dan kebudayaan.
Riwayat Ganja di Nepal
Nepal adalah negara yang dikepung pegunungan. Negara ini tidak memiliki pantai. Karena itu, perekonomian Nepal sangat mengandalkan keanekaragaman floranya termasuk ganja. Tanaman ini bisa tumbuh subur di berbagai tingkat ketinggian tanah di antero negeri. Nepal pun dikenal sebagai kampung halaman aneka bibit unggul ganja.
Saat ini, dua puluhan varietas ganja asal Nepal dipasarkan di AS dan Eropa. Dua jenis utama ganja, indica dan sativa, tumbuh secara alami di negara pegunungan ini. Keduanya diklasifikasi pada abad ke-18. Cannabis sativa yang punya serat kuat dan dibudidayakan di dataran Eropa lebih dulu diklasifikasi, barulah Cannabis indica yang khasiat obatnya lebih banyak serta berasal dari India.
Tapi satu dari dua puluhan varietas ganja asal Nepal tadi berjenis campuran indica, sativa, dan ruderalis. Jenis ketiga ganja ini riwayat evolusinya hingga kini masih diperdebatkan. Pengklasifikasiannya pada 1924 dilakukan untuk membedakan dengan dua jenis ganja yang telah dikenal sejak dua abad sebelumnya. Umumnya selain indica dan sativa, yang juga dikenal selama ini adalah persilangan antara keduanya alias hibrida.
Masyarakat Nepal selama ribuan tahun memang tidak mempermasalahkan apakah yang mereka manfaatkan adalah indica atau sativa. Seperti saya, mereka menyebut tanaman ini “ganja” saja. Yang jelas, selama berabad-abad mereka memanfaatkan batang, daun, dan getahnya untuk tekstil, pangan, obat-obatan, serta ritual keagamaan.
Pemanfaatan ganja dalam ayurveda, pengobatan yang didasarkan pada keseimbangan tubuh, pikiran, dan jiwa, telah dipraktikkan di Nepal selama lebih dari tiga ribu tahun. Tercatat delapan kondisi medis dapat diatasi ganja dalam sejumlah naskah ayurveda, di antaranya diare, ayan, serta sarap.
Mengisap ganja merupakan ritual dalam festival tahunan Maha Shivratri dan acara-acara keagamaan lain untuk menghormati Dewa Siwa. Meski demikian, naskah-naskah Weda kuno memperingatkan untuk berhati-hati mengonsumsi ganja lantaran Dewa Siwa memakainya untuk pemurnian dan penguasaan diri; “manusia seharusnya menahan diri bahkan untuk mencoba” konsumsinya.
Atas beragamnya manfaat ganja, budi daya serta perniagaannya pernah menyejahterakan baik rakyat maupun pemerintah Nepal. Dahulu, mereka mengekspor ganja beserta damarnya (hashish).
Industri pariwisata juga mendapat berkah. Ribuan pelancong dari berbagai penjuru dunia yang menyusuri “jalur hippie” sengaja mampir ke ibukota Kathmandu untuk menikmati ganja bermutu. Jalur yang terkenal antara 1950 hingga 1970-an itu membentang dari Eropa ke selatan Asia.
Toko-toko ganja berlisensi pemerintah berderet sepanjang jalan bernama “Freak Street” di selatan Kathmandu.
Gara-gara merebaknya wisata ganja itu pula, Nepal mendapat tekanan diplomatik untuk melarang penjualan ganja. Toko-toko ganja di Freak Street pun ditutup pada 16 Juli 1973 bersamaan dengan budi dayanya. Jalur hippie sendiri mulai ditinggalkan sejak meningkatnya sikap anti-Barat yang mengiringi Revolusi Iran dan ancaman keamanan atas invasi Uni Soviet ke Afganistan di penghujung 1970-an.
Tekanan diplomatik ke negara-negara dunia ketiga untuk melarang pemanfaatan sejumlah tanaman yang dikategorikan sebagai narkotika erat kaitannya dengan “perang terhadap narkoba” AS yang digelorakan pada 1971. Konvensi PBB tentang narkotika sepuluh tahun sebelumnya tidak bertaji di hadapan Nepal untuk menerapkan kesepakatan tersebut.
Jangankan Nepal yang tidak menandatangani konvensi tersebut, Indonesia saja baru meratifikasinya pada 1976!
Akhirnya, konsumsi ganja dan seluruh rantai perekonomiannya baru benar-benar dilarang saat Nepal memberlakukan UU narkotikanya pada 1976. Adapun pengecualian konsumsinya hanya sepanjang festival tahunan Maha Shivratri. Itupun terbatas di pelataran Candi Pashupatinath yang terletak di timur Kathmandu. Di luar itu, hukuman hingga sepuluh tahun penjara menanti.
Dampak Pelarangan
Pelarangan ganja telah memukul perekonomian Nepal. Sepanjang dekade 1970-an saja, pemerintah kehilangan pendapatan dari perniagaan ganja sebesar seratus ribu dolar per tahun.
Seperti terjadi di manapun, pelarangan sebuah komoditas yang telah dimanfaatkan manusia selama berabad-abad menyuburkan pasar gelapnya. Budi daya dan perniagaan ganja di Nepal tetap ada sampai saat ini yang tentunya dikuasai para penjahat. Meski pemerintah mencanangkan program tanaman substitusi, tetap saja ganja yang dipilih. Ini lantaran pertanian ganja tidak butuh pekerja sebanyak pada budi daya tanaman lainnya. Para petani pun hanya berurusan dengan kartel untuk pemasarannya.
Kondisi tersebut dimanfaatkan kartel-kartel narkoba asal India, negara tetangga yang pertumbuhan ekonominya jauh di atas Nepal. Mereka berinvestasi untuk budi daya ganja ilegal di lembah-lembah terpencil. Petani-petani lokal yang miskin kerap menjadi mangsa kartel narkoba lintas negara itu. Keuntungan dari industri gelap ganja di Nepal juga digunakan untuk pembiayaan senjata dan pemilu.
Sepanjang 2019-2020, polisi menyita 4,7 metrik ton ganja yang diselundupkan melalui perbatasan negara. Polisi juga membumihanguskan ladang-ladang ganja ilegal yang mereka temukan. Tapi lantaran luas dan terjalnya medan di pegunungan Himalaya, polisi kesulitan untuk menemukan ladang yang berpindah-pindah. Budi daya ganja terus ada meski polisi secara rutin menumpasnya.
Pembumihangusan itu mengancam keanekaragaman varietas ganja Nepal. UU narkotika tidak mempertimbangkan faktor kekayaan hayati ini. Asal berupa ganja, aparat pun menumpasnya. Padahal kalau mau dirunut, tekanan yang dialami Nepal untuk melarang pemanfaatan ganja ketika itu lantaran banyak turis dari negara-negara Barat yang pake ganja untuk mabuk. Sedangkan potensi ganja tidak terbatas untuk mabuk.
Sejak 1930-an, otoritas AS menamai hemp dan marijuana untuk membedakan ganja yang ditanam di negaranya dan yang dibawa imigran Meksiko. Marijuana dipilih karena terdengar Latin untuk mengembuskan xenofobia. Kepala BNN AS ketika itu menyebut, ada ratusan ribu konsumen marijuana yang kebanyakan Negro, Filipinos, Hispanik dan pekerja hiburan. Ganja membuat perempuan kulit putih di AS rela berhubungan kelamin dengan mereka.
Di Amerika sendiri, ganja ditanam untuk dimanfaatkan seratnya selama berabad-abad. Hikayatnya kesohor digunakan Henry Ford sebagai bodi dan bahan bakar mobil yang ia rancang. Lebih jauh lagi, kertas yang dipakai Thomas Jefferson dan Benjamin Franklin untuk menulis rancangan Deklarasi Kemerdekaan AS berbahan baku ganja. Bersama George Washington, mereka bahkan memuji tumbuhan ini di sejumlah tulisan.
Sebagaimana telah diulas di atas, penamaan ilmiah ganja didasarkan pada potensi obat (Cannabis indica) dan kekuatan seratnya (Cannabis sativa). Meski ada sejumlah ciri spesifik yang membedakan, tapi rupa tanaman ini secara umum sama. Keduanya tumbuh subur di Nepal dan warga setempat hanya mengenal rumpun tanaman ini sebagai ganja.
Tekstil berbahan baku ganja sempat menjadi industri skala rumahan di Nepal yang turut menopang perekonomian rakyat. Serat ganja populer karena lebih kuat, punya daya serap tinggi, serta tahan cuaca ketimbang kapas. Seiring pelarangan ganja di sana, industri inipun tumpas.
Defisit khazanah pengobatan yang telah dipraktikkan ribuan tahun pun terjadi. Nepal mengimpor obat-obatan jadi yang menyedot biaya untuk mengatasi berbagai penyakit yang sebelumnya lazim diatasi dengan ganja. Saat ini, sejumlah produk ganja yang bibitnya berasal dari Nepal dijual di apotek-apotek AS.
Potensi Ganja Nepal
Sejumlah potensi ganja akan berdampak pada perekonomian Nepal apabila pemanfaatan tanaman ini tidak lagi dipidanakan. Dari keragaman varietas saja, Nepal bisa mengeklaim hak atas kekayaan intelektual dua puluhan varietas ganjanya yang kini dipasarkan di negara-negara maju. Upaya ini akan turut melestarikan keanekaragaman ganja Nepal.
Defisit neraca perdagangan Nepal akan bisa diatasi dari ekspor berbagai jenis tekstil dan obat-obatan berbahan baku ganja. Perlu dicatat, bahwa tiap tahunnya berton-ton ganja yang diselundupkan ke luar Nepal disita dan dimusnahkan penegak hukum. Kalau negara ini mencabut pelarangannya, ganja akan dapat diolah menjadi bahan jadi obat dan tekstil terlebih dulu alih-alih dijual ke luar negeri sebagai bahan mentah.
Untuk kebutuhan dalam negeri, budi daya, pengolahan, dan perniagaan ganja akan menggeliat. Sebelum pelarangannya, masyarakat Nepal selama berabad-abad sudah memanfaatkan ganja sebagai bahan pangan, obat-obatan, pakaian, serta ritual keagamaan. Pemenuhan kebutuhan ini tidak akan lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi sehingga memungkinkan bagi pemerintah untuk mengutip pajak penjualannya.
Pemerintah Nepal akan bisa secara terbuka memakai ganja dalam promosi pariwisatanya selain pemandangan pegunungan yang menawan serta kebudayaan penduduk setempat. Boleh jadi saat ini rekreasi ganja di Himalaya tidak lagi diminati lantaran sudah banyak negara yang sudah mengizinkan konsumsi rekreasional ganja. Kendati demikian, Nepal dapat memanfaatkan potensi ganja untuk wisata pengobatan ayurveda yang eksotis.
Selain kondisi-kondisi tersebut, tentu saja Nepal akan menghemat anggaran untuk pemberantasan ladang ganja di lereng-lereng pegunungan yang terjal nan terpencil, pemenjaraan pelanggar UU narkotika, dan subsidi program substitusi tanaman.
Pada akhirnya, seluruh potensi ekonomi ganja akan dinikmati rakyat Nepal alih-alih kartel narkoba luar negeri.