Walaupun tiap tahun komitmen dan anggarannya ditingkatkan, tapi hingga kini “perang melawan narkoba” belum juga dimenangkan. Sebagai ungkapan penguatan aksi dan kerja sama negara-negara anggota dalam mencapai cita-cita sebuah dunia yang bebas dari narkoba, PBB menetapkan 26 Juni sebagai Hari Melawan Penyalahgunaan dan Perdagangan Gelap Narkoba Internasional pada 1987. Peringatan pertamanya dilakukan pada 1988.
Dalam Konvensi PBB tentang Narkotika 1961 terdapat ketentuan, agar negara-negara penanda tangan memusnahkan pemanfaatan tradisional opium, koka, dan ganja masing-masing 15, 25, dan 25 tahun sejak efektif diterapkannya konvensi itu pada 1964. Saat peringatan pertama hari perlawanan tersebut, tenggat pemusnahan pemanfaatan secara tradisional koka dan ganja tinggal setahun lagi sedangkan untuk opium sudah lewat sembilan tahun.
Belum puas dipecundangi waktu, Sesi Khusus Sidang Umum PBB soal Narkoba yang digelar pada 1998 menetapkan 2008 sebagai batas waktu untuk mewujudkan “dunia bebas narkoba”. Slogannya, “Drug free world, we can do it”. Kelak, tenggat tersebut direvisi menjadi 2019 atas berbagai alasan. Indonesia bersama ASEAN menetapkan cita-cita serupa terwujud pada 2015 yang tidak pernah direvisi semenjak tenggat itu terlewati.
“Perang terhadap narkoba” yang dikumandangkan Presiden AS, Richard Nixon, tahun ini genap berusia setengah abad. Sepanjang lima dekade perjalanannya, semua cita-cita bebas narkoba yang diejawantahkan menjadi berbagai tenggat kandas. Pemanfaatan tradisional opium sampai sekarang masih dilakukan, padahal kesepakatan atau konvensi PBB menjadwalkannya musnah 42 tahun lalu. Begitu pula untuk koka dan ganja 32 tahun lalu, terlebih dunia bebas narkoba yang dijadwalkan maujud dua tahun lalu.
Atas seluruh kegagalan tersebut, saya kerap memelesetkan Hari Melawan Penyalahgunaan dan Perdagangan Gelap Narkoba Internasional yang di sini diperingati sebagi Hari Anti-Narkoba Internasional tiap 26 Juni dengan menyebutnya, Hari Kekalahan Perang Narkoba.
Perang Narkoba ala Jokowi
Setelah dilantik menjadi presiden, Jokowi (Joko Widodo) terkesan liat dan trengginas dalam memerangi narkoba. Diksi dalam pidato-pidatonya soal penanganan narkoba selalu dikutip media karena bernada keras dan garang.
Dua bulan pascapelantikannya, Presiden RI ketujuh itu menggegerkan jagat media dan mengecewakan pejuang-pejuang HAM yang ada di barisan pendukungnya saat pemilihan presiden. Jokowi menolak permohonan grasi 64 terpidana mati kasus narkoba. Hal itu ia sampaikan dalam kuliah umum di acara Dies Natalis ke-65 Universitas Gadjah Mada.
Dari sini pula kita akrab dengan frasa catchy nan inspiring, Indonesia darurat narkoba.
Sebulan setelah kuliah umum itu, enam terpidana yang mengajukan grasi pun dieksekusi mati. Jokowi bergeming saat Belanda dan Brasil menarik duta besarnya dari Jakarta karena warganya turut dieksekusi mati. Ia bahkan mengirim pesan ke negara-negara yang mengkritik kebijakannya itu sesaat setelah eksekusi.
Eksekusi mati selanjutnya dilakukan tiga bulan berselang terhadap delapan terpidana.
Pada peringatan Hari Anti-Narkoba Internasional pertamanya, Jokowi menegaskan kalau dirinya berikhtiar untuk berperang melawan narkoba. Di kesempatan itu, ia mengingatkan jajarannya dari pusat hingga daerah agar lebih gencar mencegah penyalahgunaan narkoba.
Selanjutnya, mantan Walikota Surakarta itu menyampaikan capaian rehabilitasi tahun sebelumnya yang berjumlah 18 ribu. Ia pun menargetkan 100 ribu peserta rehabilitasi pada 2015 dan 200 ribu pada 2016.
Terakhir, Jokowi memerintahkan dengan gahar untuk menangkap dan menindak tegas bandar, pengedar, dan pemain besar narkoba. “Tidak ada ampun!” sergahnya.
Nada galak kembali diumbar Presiden Jokowi saat memberikan sambutan di peringatan Hari Anti-Narkoba Internasional 2016. Ia bahkan menggunakan diksi kejar, hantam, hajar, juga dor bagi para pengedar narkoba.
Yang juga banyak dikutip media adalah pernyataan Jokowi bahwa setiap hari, 49-50 generasi muda Indonesia mati karena narkoba.
Meski garang, Jokowi hanya hadir dan memberi sambutan dua kali berturut-turut peringatan tahunan itu, yakni pada 2015 dan 2016. Ini bukan berarti pemerintahannya tidak menampilkan sikap represif dalam penanganan narkoba. Lihat saja pemberitaan mengenai subjek ini di berbagai media. Isinya didominasi oleh aparat penegak hukum dengan pesan antinarkobanya.
Data Tidak Ajek
Saya meragukan pernyataan Presiden tentang jumlah kematian harian generasi muda Indonesia karena narkoba. Tapi sebelum sampai ke data tersebut, saya ingin membandingkan sambutan Jokowi pada 26 Juni 2015 dan 2016. Kedua sambutan memaparkan perkiraan jumlah konsumen narkoba di Indonesia untuk tahun yang sama, yakni 2015, tapi angkanya beda. Di sambutan 2015, Jokowi menyampaikan perkiraan jumlah konsumen narkoba sebanyak 4,1 juta orang, sedangkan pada 2016 jumlahnya 5,1 juta orang.
Meskipun angka perkiraan, perbedaan jumlah yang mencapai satu juta itu fatal untuk dijadikan dasar kebijakan nasional. Bagi seorang presiden yang berwenang mempekerjakan orang-orang terbaik di negara ini, paparan data yang tidak ajek itu terlihat konyol.
Angka 4,1 juta penduduk saya ketahui memang tertulis di laporan Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba Tahun Anggaran 2014 (BNN dan Pusat Penelitian Kesehatan [PPK] UI, 2015). Diperkirakan, jumlah konsumen narkoba atau orang yang pernah konsumsi narkoba dalam setahun terakhir di Indonesia berkisar 3,9 sampai 4,1 juta penduduk berusia 10-59 tahun.
Survei tersebut turut memproyeksi jumlah konsumen narkoba per tahun hingga 2020. Angka 5,1 juta tidak muncul di sana. Angka tertinggi adalah 5,024 juta, yakni perkiraan jumlah konsumen narkoba dengan skenario naik pada 2020. Bilangan desimal tersebut tidak lazim untuk dibulatkan ke atas, bukan? Lalu dari mana Jokowi mendapat angka 5,1 juta?
Mengenai angka kematian harian generasi muda negeri ini, saya baru mendapatkan laporan tertulisnya satu setengah tahun setelah jumlah itu dikemukakan Presiden, 26 Juni 2016.
Sebuah survei nasional tentang penyalahgunaan narkoba dilansir pada Desember 2017. Survei sejenis rutin dilakukan BNN bersama PPK UI, terakhir dilakukan pada 2014 yang memproyeksikan perkiraan jumlah konsumen narkoba di Indonesia hingga 2020. Laporan yang ditandatangani Budi Waseso selaku Kepala BNN di penghujung 2017 itu mengungkap angka kematian konsumen narkoba, yakni 11.701 jiwa per tahun atau 30 jiwa per hari pada 2017.
Dalam rentang 2014-2017, setidaknya ada dua laporan survei yang dilansir BNN sebelum survei nasional tersebut di atas dipublikasikan, yaitu Survei Prevalensi Penyalahgunaan Narkoba pada Kelompok Rumah Tangga di 20 Provinsi Tahun 2015 dan Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa di 18 Provinsi Tahun 2016. Kedua survei itu tidak mengungkap tingkat kematian konsumen.
Kalau data kematian yang dilaporkan di akhir 2017 itu memang sudah diketahui satu setengah tahun sebelumnya oleh jajaran pemerintah, kenapa presiden harus melebih-lebihkan angkanya?
Ketidakajekan pemerintah dalam pemaparan data juga dilakukan Budi Waseso saat berkunjung ke Gayo Luwes, Daerah Istimewa Aceh, Februari 2018. Ia menyampaikan, terdapat 6,4 juta konsumen narkoba di 17 provinsi Indonesia. Padahal dua bulan sebelumnya, Buwas (sapaan Budi Waseso) menandatangani laporan survei yang menyatakan jumlah konsumen narkoba secara nasional diperkirakan 3,37 juta penduduk pada 2017.
Kontroversi Hukuman Mati
Penolakan grasi terhadap 64 terpidana mati kasus narkotika di akhir 2014 berbuntut dieksekusinya 18 orang warga berbagai negara termasuk Indonesia. Eksekusi dibagi ke dalam tiga gelombang. Pertama, enam terpidana pada 18 Januari 2015 yang diprotes sejumlah negara sampai duta besar Belanda dan Brasil ditarik dari Jakarta. Kedua, delapan terpidana pada 29 April 2015 yang turut mengeksekusi dua kawanan “Bali Nine”.
Eksekusi terakhir dilakukan terhadap empat terpidana pada 29 Juli 2016 yang menyisakan drama Freddy Budiman-Haris Azhar-Pejabat TNI-Polri. Bukan hanya itu, gelombang terakhir eksekusi mati juga mengungkap sejumlah cela paradigma penghukuman dalam penanganan masalah narkoba antara lain mala-administrasi, ketidakcermatan yuridis, serta salah sasaran.
Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Hukuman Mati mencatat, eksekusi Freddy dan ketiga terpidana lain semestinya dilakukan setelah 72 jam atau tiga hari sejak menerima pemberitahuan sebagaimana ketentuan UU. Tapi mereka dieksekusi dua hari setelah menerima informasinya.
Keempat terpidana pun belum menerima surat penolakan grasi yang mereka ajukan ke presiden, padahal UU mengatur, pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum keputusan presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.
Borok lain dalam eksekusi tersebut berkaitan dengan ketidakcermatan membaca undang-undang lantaran Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan Ayat 2 Pasal 7 UU RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Pemerintah pun sudah menerbitkan UU perubahan atas UU tentang Grasi dimaksud. Ketentuan, permohonan grasi tidak dibatasi tenggang waktu tertentu diubah menjadi, paling lama satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Freddy Budiman, bila mengulas kasusnya, divonis hukuman mati oleh PN Jakarta Barat pada 2012. Ia kemudian mengajukan peninjauan kembali atas vonis tersebut. Mahkamah Agung RI (MA) menolak peninjauan kembali Freddy pada 20 Juli 2016. Bila mematuhi UU tentang Grasi, maka Freddy berhak atas waktu paling lama satu tahun untuk mengajukan grasi pascaputusan MA tadi. Tapi algojo keburu menyarangkan peluru ke jantungnya sembilan hari kemudian.
Salah sasaran vonis mati dialami Marry Jane Fiesta Veloso, warga Filipina. Ia divonis PN Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada Oktober 2010 karena kedapatan membawa 2,6 kg heroin di Bandara Adi Sutjipto, April 2010. Ia pun dijadwalkan dieksekusi pada gelombang kedua pascapengajuan grasinya ditolak Jokowi akhir 2014 bersama ke-63 terpidana lainnya.
Menjelang eksekusi, bos Marry, Tintin Sergio menyerahkan diri kepada pihak berwajib Filipina. Bukti-bukti baru yang diajukan tim pengacara pun menunjukkan, Marry Jane hanyalah korban perdagangan manusia bukan pemilik 2,6 kg narkoba yang sebenarnya. Marry batal dieksekusi. Sebelumnya, Presiden Benigno Aquino juga meminta kepada Pemerintah RI dan Presiden Jokowi supaya membatalkan eksekusi mati Marry Jane. Pasalnya, Aquino menganggap Marry bisa memberikan petunjuk dalam penyelidikan sindikat narkoba di Filipina.
Sejumlah cacat tadi menjadi alasan berhentinya eksekusi mati di gelombang ketiga, Juli 2016. Bukan tidak mungkin terpidana yang divonis mati pengadilan merupakan korban perdagangan manusia seperti yang dialami Marry Jane Veloso. Ia sekadar kurir yang tidak tahu kalau yang dititipkan padanya adalah narkoba bahkan sama sekali tidak sadar kalau ada narkoba terbawa bersamanya.
Terlepas dari kebobrokan tadi sejarah mencatat, Jokowi menjadi Presiden RI paling produktif dalam eksekusi hukuman mati. Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menyampaikan, jumlah terpidana yang dieksekusi mati selama tiga tahun Pemerintahan Jokowi (2014-2016) hampir sama dengan dengan jumlah terpidana yang dieksekusi mati selama sepuluh tahun Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yakni 18 banding 21.
Saya menentang perniagaan narkoba dilakukan bahkan dikuasai oleh sindikat penjahat kapitalis yang memanfaatkan kebijakan pelarangannya untuk mengeruk laba secara semena-mena. Apalagi sebagai satu-satunya kebijakan narkoba, pelarangan memungkinkan para pelaku bisnis komoditas ini terbebas dari perizinan, pajak usaha, pengawasan mutu, dan persyaratan kelayakan konsumsi produk mereka oleh otoritas negara.
Setelah ribuan tahun merasakan khasiatnya, maka manusia akan berusaha mendapatkan narkoba saat membutuhkan meskipun melalui tindakan ilegal karena status terlarang bahan pengobatan, rekreasi, juga ritual keagamaan itu.
Karena pelarangan nan represif merupakan kebijakan tunggal pemerintah yang menumbuh-suburkan pasar gelap narkoba, maka pemenjaraan hingga hukuman mati bukanlah solusi untuk memusnahkan pasokannya. Terlebih, pemenuhan hak untuk hidup dijamin UUD 1945.
Bersambung