Pekan Literasi Kebangsaan berlangsung sukses pada 1-7 Desember 2016 di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Kegiatan ini digelar oleh berbagai komunitas penggemar buku sebagai bagian dari Festival Indonesia Menggugat #3.
Sejumlah aktivis dari berbagai komunitas menilai penandatanganan piagam HAM oleh Walikota Ridwan Kamil yang menandai pencanangan Bandung sebagai kota ramah HAM merupakan ironi. Sejak ditandatanganinya piagam tersebut setahun lalu (11/12/2015), isu HAM masih menjadi permasalahan pelik di Kota Bandung hingga sekarang.
Aktivis difabel, Aden Ahmad, mencontohkan penyandang cacat di Bandung dan banyak kota di Indonesia masih sangat didiskriminasi. Hak-hak mereka untuk beraktivitas di tempat umum jauh dari terpenuhi.
“Misalnya saya pengguna kursi roda, mau berpergian tidak bisa. (Saya) harus memakai kendaraan sendiri karena transportasi publik untuk disabilitas belum ada,” ujar pria yang akrab disapa Aden ini.
Hak-hak kaum minoritas diabaikan. Hal ini sangat terasa pada persoalan fasilitas publik, layanan kesehatan, dan tempat beribadah.
Persoalan senada diungkapkan Indra Simorangkir, narasumber dari Rumah Cemara. Ia mengkritik penegakan HAM bagi orang-orang dengan HIV-AIDS (ODHA). Diskriminasi terhadap ODHA masih terjadi dalam pelayanan kesehatan. Sebagai contoh, tidak sedikit aparat kesehatan yang mencap buruk konsumsi benzodiazepine atau metadon. Padahal jenis obat-obatan itu ditujukan sebagai terapi substitusi, mengalihkan perolehan narkoba dari jalanan (pasar gelap) ke setting layanan kesehatan.
Selain isu HAM, stigma bahwa ODHA disebabkan karena kutukan, pecandu narkoba, dan pelaku ’seks bebas‘ masih tertanam di benak masyarakat.
“Tuna wisma, anak jalanan, dan ODHA sesungguhnya memiliki kesetaraan untuk mendapat layanan kesehatan dan seharusnya dapat diterima oleh masyarakat. Namun yang terjadi kadang tidak terpenuhi, seperti di rumah sakit, puskesmas, dan klinik,” terang Indra sambil menyeruput teh hangat yang menurutnya merupakan salah satu bahan yang distigma kalangan tertentu karena mengandung zat adiktif, yaitu kafein.
Stigma dan diskriminasi menurutnya adalah persoalan yang masih panjang dan tak kunjung usai jika setiap elemen masyarakat, komunitas, aktivis, media, dan pemerintah tidak berkonsolidasi mencapai tujuan kota ramah HAM di mana gender, kelompok-kelompok marginal, difabel, seniman, ODHA, dan bahkan agama tidak dibeda-bedakan. Sudah seharusnya saling menghormati dan mendukung perbedaan.
“Kalau satu suara satu tindakan bisa menggulirkan perbaikan, kenapa kita masih ragu untuk bersama turut serta terlibat di dalamnya, sehingga stigma dan diskriminasi bisa ditekan atau hilang dari bumi pertiwi,” tambah pria kelahiran Medan ini.
Pekan Literasi Kebangsaan juga dihadiri Wanggi Hoediyatno, seniman pantomim, dan Wawan Gunawan, koordinator Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (Jakatarub), dan Adi Mulyana, sutradara dari film dokumenter Sunda Wiwitan. Acara ini menjadi tempat bagi semua komunitas, pemerintah, dan unsur masyarakat lainnya dalam berdiskusi dan berkonsolidasi untuk mencapai tujuan sesuai pemufakatan semua pihak.
Festival Indonesia Menggugat merupakan kegiatan tahunan yang digelar untuk memperingati berbagai hari besar nasional tiap bulannya. Puncak pagelaran festival ketiga ini jatuh pada Kamis, 22 Desember 2016.