close
DKRC-Fusion-Inklusivitas-Pejuang-Kesetaraan-untuk-Penanggulangan-AIDS-dan-Narkoba-di-Bandung
League of Change 2013 di Lapangan Street-Soccer Bawet, Bandung (Foto: thealfaraby)

Banyak orang akan setuju kalau dikatakan bahwa sepak bola adalah olahraga paling populer di Indonesia selain bulu tangkis. Lama sebelum arena-arena futsal dibangun, anak-anak Indonesia telah bermain sepak bola di mana pun terdapat bidang datar. Sepak bola Indonesia berkembang.

Jika anak-anak Indonesia memodifikasinya sehingga bisa dimainkan di jalanan aspal perkotaan menggunakan bola plastik dan sandal atau batu sebagai gawang, seorang profesor pendidikan jasmani dan olahraga asal Argentina memodifikasi sepak bola agar bisa dimainkan anak-anak muridnya tanpa terkena hujan. Hal itu terjadi pada 1930 saat sang profesor, Juan Carlos Ceriani, harus menyiasati curah hujan yang tinggi di Montevideo, Uruguay, tempatnya bekerja.

Dari situlah futsal tercipta. Ceriani memublikasikan aturan main olahraga tersebut pada 1933. Penamaan futsal berasal dari bahasa Spanyol, yaitu futbol sala atau futbol de salon, dan bahasa Portugis, yakni futebol de salao yang berarti sepak bola dalam ruangan.

Walaupun diciptakan pada 1930 dan berkembang pesat di Amerika Latin sejak awal 1950-an, kejuaraan dunia futsal diselenggarakan FIFA pertama kali pada 1989 di Rotterdam, Belanda. Sejak itulah futsal mulai mendunia dan juga dikenal di Nusantara.

Laga futsal yang pertama kali digelar Indonesia secara resmi yaitu putaran final Kejuaraan Futsal AFC (Asian Football Confederation) di Jakarta pada 2002. Saat itu, Tim Nasional (Timnas) Futsal Indonesia masih terdiri dari pemain klub-klub sepak bola yang berlaga di Liga Indonesia. Namun, di dekade pertama 2000-an inilah arena-arena futsal dibangun di kota-kota seantero negeri. Berbagai turnamen pun digelar.

Sebagai olahraga baru, futsal menarik bagi banyak orang Indonesia terutama di kota-kota besar. Berbagai komunitas di Bandung pun tak mau ketinggalan untuk turut memainkannya.

Adym (39), salah seorang pendiri Dalem Kaum Rumah Cemara Futsal Division (DKRC Fusion), menuturkan, pada 2003, pemusik, komunitas clothing, serta berbagai komunitas kreatif se-Bandung menjadikan futsal sebagai pengisi waktu luang di malam hari. “Dari mulai pemusik, termasuk Ariel Peter Pan, sampai klub otomotif ikut main futsal di Dalem Kaum (nama sebuah jalan di Kota Bandung),” ujar pemilik nama lengkap Leonardus Ady Mulyadi ini.

Baca juga:  Peringatan Hari Anti-Narkoba 2021: PBB Hapus Stigmatisasi Ganja, Indonesia Lanjut Perangi Narkoba (1)

“Jadi, sempat ada beberapa pemain eks Persib yang sering ikutan waktu pertama-tama,” tambah Adym.

Salah satu hal yang membuat Adym bersemangat adalah mempelajari aturan main yang berbeda dengan sepak bola kesebelasan, dan menerapkannya bersama-sama. Saat itu futsal menjadi tren, bukan hanya sebagai olahraga dan pengisi waktu luang, tetapi juga menjadi fashion yang diikuti banyak orang.

Adym menambahkan, seiring berjalannya waktu, yang terus menekuni futsal di Dalem Kaum adalah anak-anak putus sekolah. Ini justru membuat klub futsal tersebut bukan lagi sekadar pengisi malam, tetapi sesuatu yang lebih serius. Buktinya, pada 2007, Adym, dkk. menjuarai Piala Walikota Bandung. Timnya didaftarkan dengan nama Dalka Fusion (Dalem Kaum Futsal Division) bersama lebih dari 100 tim futsal se-Bandung.

Menjadi klub futsal terbaik se-Bandung tidak lantas membuat Dalka Fusion membatasi diri hanya bermain di kejuaraan-kejuaraan. Setahun setelah menjuarai Piala Walikota Bandung, mereka menerima ajakan kesebelasan Rumah Cemara, Interminal, untuk laga persahabatan di tempat mereka biasa berlatih futsal. Itu menjadi kali pertama anak-anak Rumah Cemara bersepak bola di dalam ruangan, biasanya di lapangan rumput.

Interminal kerap mengajak klub-klub sepak bola di Bandung bertanding lalu menjamu mereka di sekretariat Rumah Cemara. Jamuan makan tersebut diisi dengan diskusi untuk menunjukkan bahwa bermain bola bersama orang dengan HIV-AIDS (ODHA) tidak menularkan HIV-AIDS, bahwa ODHA serta konsumen narkoba tidak berbeda dengan manusia sehat lainnya serta memiliki stamina untuk bersepak bola.

Saat Adym bekerja di Rumah Cemara pada 2009, Ginan Koesmayadi (36), kapten Interminal saat itu dan salah satu pendiri Rumah Cemara, mengajaknya berdiskusi tentang program penanggulangan AIDS dan narkoba yang inklusif melalui sepak bola.

Walaupun disebut sebagai olahraga rakyat, namun pemain sepak bola harus setidaknya bersepatu khusus yang harganya cukup mahal. Selain itu, pemain harus memiliki stamina untuk berlari-lari di lapangan seluas 105 kali 68 meter selama 45 menit. Dari segi peralatan dan stamina, nampaknya futsal lebih terjangkau oleh lebih banyak orang Indonesia. Belum lagi bila mempertimbangkan ketersediaan lapangan rumput dan jumlah pemain.

Baca juga:  Dukungan Psikososial untuk Tes HIV

Sejak akhir 2005, Rumah Cemara menjadikan sepak bola sebagai kegiatan waktu luang dan bersenang-senang. Ketersingkirannya dua kali di BNN Cup (2007 dan 2008) malah membuat Rumah Cemara makin serius bersepak bola dengan menjadikannya sebagai alat menghapus stigma serta diskriminasi bagi ODHA dan konsumen narkoba. Rumah Cemara meyakini bahwa sepak bola, lagi-lagi, adalah olahraga populer.

Sepak bola menjadi jembatan untuk bertemu lebih banyak orang dan menyampaikan pesan yang juga mimpi Rumah Cemara, Indonesia tanpa stigma. Keterjangkauan futsal menjadikan sepak bola Indonesia lebih inklusif. Dari gembel sampai presiden main futsal!

Pada 2010, Rumah Cemara dipercaya menjadi mitra nasional Homeless World Cup (HWC). Mitra nasional HWC adalah sebuah organisasi di satu negara tertentu yang menggunakan kekuatan sepak bola untuk membantu gelandangan dan orang-orang yang secara sosial dirugikan, termasuk ODHA dan konsumen narkoba ilegal.

HWC mempertandingkan sepak bola jalanan (street-soccer). Bentuknya mirip futsal. Karena itu, Rumah Cemara kian intensif berkolaborasi dengan Dalka Fusion. Adym dipercaya menjadi pelatih timnas untuk kejuaraan tahun berikutnya. Inklusivitas yang diwujudkan dengan kolaborasi tersebut berbuah manis, timnas sepak bola jalanan Indonesia menjadi pendatang baru terbaik pada HWC 2011 di Paris, Perancis. Ginan terpilih sebagai pemain terbaik di sana.

Di HWC berikutnya (2012), Indonesia berhasil menempati posisi keempat.

Sebagai Mitra Nasional HWC, Rumah Cemara tidak hanya mengirim pemain ke kejuaraan dunia tahunan itu tapi juga menyeleksi serta melatih timnas yang akan diberangkatkan. Pemain-pemain Dalka Fusionlah yang menjadi wasit, pelatih, juga mitra sparing sepanjang proses tersebut.

Untuk lebih mempererat kolaborasi, gagasan menggabungkan Rumah Cemara dengan Dalka Fusion tercetus sejak keikutsertaan Indonesia di HWC. Namun penggabungan tersebut baru distrukturkan pada 2012. Dalem Kaum Rumah Cemara Futsal Division (DKRC Fusion) adalah nama yang disepakati. Kepengurusan ketika itu terdiri dari tiga penasihat, yaitu Adym, Ginan, dan M. Ishak, serta seorang sekretaris, yakni Ujang Yakub (kiper timnas di HWC 2013).

Klub ini makin menggeluti perannya dalam pagelaran tahunan HWC. Untuk menyeleksi timnas yang akan diberangkatkan ke HWC 2012, DKRC Fusion menyelenggarakan turnamen sepak bola jalanan yang diberi nama “League of Change (LoC)”.

Baca juga:  Perwujudan Alexandra Kollontai dalam Diri Eva Dewi

Bertempat di bawah jalan layang Pasupati, Bandung, turnamen bersemboyan “Keadilan Sosial Bersepak Bola bagi Seluruh Rakyat Indonesia” itu diikuti delapan tim dari delapan provinsi yang terdiri dari ODHA, konsumen narkoba, kelompok miskin kota, serta anak jalanan. Acara yang digelar Februari 2012 ini turut dimeriahkan berbagai lomba seperti free-style, pertandingan sepak bola jalanan antar ibu-ibu, anak-anak, dan komunitas yang menjadikannya makin inklusif.

Pada LoC 2013, digelar pula pertandingan untuk menyeleksi timnas sepak bola jalanan putri yang diikuti empat tim dari empat provinsi. Sayangnya, timnas putri yang telah terseleksi tidak jadi berangkat ke HWC di Poznan, Polandia, karena ketidakcukupan dana. Di tahun ini pula DKRC mendaulat Harry Purnama (35) menjadi ketua.

Walaupun sejak 2014 LoC tidak diselenggarakan, namun kiprah DKRC Fusion di jagat futsal Bandung tidak alpa. Dua tahun lalu, klub ini berhasil menjuarai Divisi Utama Liga Futsal Bandung 2015. Selain prestasi klub, hingga sekarang DKRC Fusion terus melahirkan atlet futsal profesional seperti Sandy Gempur, Nazil Purnama, atau Andri Kustiawan, juga pelatih seperti Bonsu Hasibuan.

Bintang-bintang futsal yang turut mengharumkan nama bangsa tersebut, bersama pemain-pemain lain dan pengurus DKRC Fusion, sejak awal karirnya, melalui sepak bola memperjuangkan kesetaraan bagi ODHA, konsumen narkoba, serta orang-orang yang dimarginalkan.

Hingga kini, berbagai kampus di Bandung sering mengundang DKRC Fusion untuk uji tanding sekaligus berdiskusi seputar persoalan AIDS dan narkoba. Dari sini, Rumah Cemara banyak merekrut relawan untuk menjalankan program-programnya. Sebagai imbal balik, kampus-kampus tersebut meminta DKRC Fusion membina pemain-pemain futsalnya.

Bulan lalu DKRC Fusion bermusyawarah dan melantik kepengurusannya hingga 2019. Forum tersebut juga memandatkan klub futsal ini untuk kembali mengorganisasi LoC yang rencananya digelar April mendatang. Diharapkan, pagelaran LoC tidak hanya melahirkan timnas sepak bola jalanan yang tangguh di HWC, tapi juga piawai menancapkan kesadaran dan pesan kesetaraan di sanubari penggemar sepak bola Indonesia dan dunia.

Tags : AIDSBandungDKRCHIVIndonesianarkobaStigma
Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.