close
FeaturedKomunitas

Komodifikasi Narkoba untuk Negara dan Rakyat

komodifikasi-narkoba-untuk-negara-dan-rakyat
Sumber Gambar: Google Images

“Stop Narkoba”, “Jauhi Narkoba”, “Prestasi Yes, Narkoba No!”, dan slogan antinarkoba lainnya telah terserap puluhan tahun. Stigma untuk menjauhi komoditas ini telah terbentuk. Atas terpaan slogan-slogan tersebut, masyarakat menciptakan stereotip tentang narkoba dan konsumennya, bukan memahami ‘benda’ macam apakah ini, mengapa terjadi komodifikasi narkoba, mempelajari cara konsumsinya secara lebih aman, serta harus  ke mana mencari pertolongan jika membutuhkan, misal ada yang terlalu banyak mengonsumsinya (overdosis).

UU RI No, 35 Tahun 2009 (UU Narkotika) mendefinisikan narkotika sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongannya.

Tujuan Pasal 4 UU Narkotika adalah menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dengan mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaannya.

Lalu, mengapa pemerintah keukeuh “memerangi narkoba”?

Pertama, “perang terhadap narkoba” adalah sebuah kebijakan populer. Secara global, narkoba disepakati untuk diberantas layaknya setan padahal sebenarnya komoditas. Kedua, sebuah rezim pemerintahan yang tidak inovatif namun ingin populer serta menghabiskan anggaran banyak, tentu akan mengambil pilihan kebijakan ini dan tentunya mengabaikan urusan rakyat sehari-hari seperti harga pangan, energi, layanan kesehatan, pendidikan, dll.

Ketiga, “perang terhadap narkoba” telah menjadi komoditas politik. Menjualnya kepada masyarakat yang selama puluhan tahun menerima propaganda mengenai perang ini seperti eksekusi hukuman mati terpidana kasus narkoba atau tembak di tempat bagi pengedar narkoba adalah cara-cara yang masih dianggap jitu untuk meraup dukungan suara pada pemilihan umum mendatang.

Keempat, rezim pemerintahan tunduk terhadap penguasa komoditas ini yang telah puluhan tahun meraup keuntungan melalui skema ekonomi pasar gelap karena tidak ada pengawasan bahan baku, izin usaha, kualitas produk, pengawasan harga eceran tertinggi, serta pajak. Skema ini memungkinkan keuntungan/ laba ratusan hingga ribuan persen. Freddy Budiman, terpidana mati kasus narkoba (29/7) dan ratusan referensi nasional maupun internasional menyatakan hal tersebut.

Selain keempat hal tadi, jawaban lainnya adalah stereotip dan stigma. Kedua hal tersebut sampai menyebabkan narkoba dianggap bisa merusak suatu bangsa. Perang Candu I dan II antara Tiongkok dan Inggris merupakan contoh bagaimana otoritas Tiongkok ingin melindungi rakyatnya dari konsumsi narkoba yang berasal dari kapal-kapal Inggris yang transit di pelabuhan-pelabuhannya dari India sebelum berlayar ke Eropa. Tapi sebenarnya perang ini lebih ditujukan kepada imperialisme Inggris ketimbang pada komoditas bernama candu.

Baca juga:  Adakah Ganjais yang Mau Lapor ke Pemerintah?

Penduduk Tiongkok di daerah transit memang banyak yang menukarkan teh, sutra, porselen yang saat itu pasarnya sedang mengalami ketidakseimbangan di Eropa. Komoditas-komoditas tersebut dibarter dengan opium yang tersedia di kapal-kapal milik British East India Company yang sedang transit. Hal ini menyalahi hukum obat-obatan Tiongkok.

Pada 1838 saja, sebenarnya Inggris menjual setidaknya 1.400 ton opium per tahun ke Tiongkok. Legislasi perdagangan opium merupakan perdebatan panjang di tubuh pemerintahan Tiongkok, berulang kali ditolak, namun di tahun yang sama, pemerintah menjatuhi hukuman mati bagi pengedar narkoba dalam negeri.

Pada 1839, the Daoguang Emperor menunjuk seorang sarjana, Lin Zexu untuk ditempatkan di bagian Special Imperial Commissioner dengan tugas utama memberantas perdagangan opium. Lin mengirim surat terbuka kepada Ratu Inggris, Victoria, mempertanyakan alasan moral pemerintah Inggris. Berdasarkan pemahamannya, Lin mengira di dalam Inggris Raya perdagangannya tegas dilarang.

Akhirnya, Lin melarang penjualan opium dan meminta bahwa semua pasokan narkoba diserahkan kepada otoritas Tiongkok. Dia juga menutup terusan menuju Canton, secara efektif menahan para pedagang Inggris di tengah kota. Sebagaimana menangkap pasokan opium di pabriknya, pasukan Tiongkok mengawasi kapal-kapal Inggris di perairan internasional di luar yurisdiksi, di mana semua kargo mereka masih legal, dan menghancurkan opium di seluruh negara.

Seorang petinggi polisi yang mengawasi perdagangan di Tiongkok, Charles Elliot, awalnya memprotes dan meminta kapal-kapal opium segera meninggalkan pelabuhan dan bersiap untuk pertempuran. Kemudian, Lin mengarantina pekerja-pekerja kapal asing di sebuah gudang dan tidak mengizinkan mereka berkomunikasi dengan kapal-kapal mereka di pelabuhan.

penyalahgunaan-narkoba
Ilustrasi: Aparat tentara mengumpulkan uang hasil penjualan narkoba untuk membiayai perjuangannya (Foto: Google Image)


Sangat sedikit pihak yang mengulas komodifikasi narkoba. Sayangnya, media massa yang diharapkan melakukan fungsi pendidikan masyarakat, justru larut dalam ulasan yang berasal dari pemahaman yang itu-itu saja seperti penggerebekan pesta sabu di rumah seorang pesohor, penangkapan oknum Polri yang disuap bandar narkoba, atau sejumlah pengunjung hiburan malam yang positif narkoba. Narkoba tidak pernah diliput manfaatnya, apalagi bagi bangsa dan negara.

Adalah Dakota RI-002, pesawat udara yang memperkuat Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) pada awal kemerdekaan Indonesia yang disewa dari seorang veteran penerbang Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) bernama Robert “Bob” Earl Freeberg. Kisah ini merupakan satu dari sekian riwayat yang tidak dikisahkan untuk menciptakan stereotip apalagi stigma tentang narkoba. 

Freeberg membeli sebuah pesawat bekas ‘war-surplus‘ dari Pangkalan Udara AS Clark di Filipina. Freeberg menerbangkan pesawat dari Pangkalan Udara Maguwo, Yogyakarta pada 1947 dengan rute tujuan pertama kali ke Singapura, melalui Bukittinggi. Dari Singapura dia kembali ke Manila, Filipina, untuk mengambil pesawat miliknya, Douglas C-47 Skytrain atau RI-002, yang telah disetujui akan disewa pemerintah RI. Pesawat itu diambil secara diam-diam.

Baca juga:  Konsumen Narkoba Bikin Sesak Penjara. Segera Bebaskan Mereka untuk Cegah Covid-19!

Walaupun merupakan pesawat terbang pertama milik Republik Indonesia, nomor sayapnya RI-002, sementara pesawat angkut kedua yang dimiliki RI dari uang sumbangan rakyat Aceh diberi nama Dakota RI-001 Seulawah. Seulawah sendiri berarti “Gunung Emas”.

Awal mulanya ia membawa dan menjual rempah-rempah dari pulau ke pulau, mengirim pasukan ke Madura dan menerbangkan Presiden Sukarno dalam muhibah ke Sumatera yang berujung pada pengumpulan dana untuk Seulawah di Aceh, sampai misi yang diduga Belanda memperjualbelikan opium atau candu untuk dana perjuangan mereka.

Opium memang bukan barang langka di Indonesia. Seratus tahun sebelumnya, pemerintah Hindia Belanda menangguk keuntungan besar dari penjualan opium. 12 persen pendapatan pemerintah Batavia berasal dari monopoli opium.

Aceh terkenal akan tumbuhan ganja. Bahkan masyarakatnya percaya bahwa Cannabis sativa-nya memiliki kualitas nomor satu di dunia. Hal ini pula yang menjadi propaganda pemerintah saat itu dengan mengatakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) mendapatkan pasokan senjata dari oknum TNI dengan cara menjual ganja.

Pada 1982 di AS, Presiden Ronald Reagan mendesak Kongres untuk mendukung pemerintah menjalankan program “war on drugs”. Reagan beretorika, tujuan dari program ini adalah “to cripple the power of the mob in America”.

Ironisnya, pada saat yang sama, Pemerintahan Reagan justru bekerja sama dengan mafia narkotika untuk membiayai Gerilyawan Contra memerangi pemerintahan sayap kiri Sandinista pimpinan Daniel Ortega di Nikaragua. Dalam waktu bersamaan pula, AS mendukung berbagai kelompok militer sayap kanan di Amerika Latin yang mempunyai kaitan dengan organisasi narkotik dan membentuk blok politik narko-militerisme yang represif.

Gary Webb, jurnalis San Jose Mercury, menulis laporan investigasi bahwa CIA dan pemerintah AS mendalangi penjualan narkotika di wilayah AS untuk biaya perang. Gary bisa dibilang sebagai pengungkap kebenaran yang dibunuh. Kematian tragisnya dinyatakan secara resmi sebagai bunuh diri. Di Indonesia, orang serupa yang ingin menyatakan kebenaran pun harus hilang atau mati. Sebutlah Widji Thukul, Munir, atau Marsinah.

Narkotika bisa jadi sumber pendapatan untuk pembangunan negara dan kesejahteraan rakyatnya dengan mengeluarkan peredarannya dari pasar gelap. Negara harus mengakui bahwa narkoba adalah komoditas dan memonopoli seluruh aspek ekonominya. Di negara mana pun narkoba dibutuhkan untuk pengobatan, bahan baku kertas dan serat, bahan bakar, bahan makanan, atau rempah-rempah.

Baca juga:  Ancaman RKUHP terhadap Kesehatan dan Perlindungan Kelompok Rentan

Pada 30 Agustus 2016 dalam acara Perkembangan Revisi UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika di Universitas Atmajaya, Darmawel Aswar, Direktur Hukum BNN mengatakan kerugian negara akibat narkotika sebesar 63,1 triliun rupiah per tahun. Alih-alih perang terhadap narkoba, yang terjadi malah menguntungkan bandar-bandar pasar gelap dan merugikan negara.

Pada 28 Juli 2016, Harris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) membuat sebuah pernyataan tentang Fredy Budiman, terpidana mati kasus narkoba yang disebarkan secara viral melalui medsos KontraS berjudul “Cerita Busuk dari Seorang Bandit”. Fredy dikatakan dengan mudah bisa memasok narkoba dalam jumlah besar bahkan dengan kawalan TNI, BNN, Polri, dan Bea Cukai.

Jumlah kerugian negara yang besar setiap tahunnya sangat disayangkan. Bayangkan dengan dana 63,1 triliun rupiah negara bisa membuat ribuan sekolah dasar yang layak di seluruh Indonesia, memenuhi kebutuhan sandang pangan warga miskin, dan berbagai infrastruktur seperti jembatan, rumah sakit, dan lain-lainnya.

Sejarah di Indonesia mencatat pada 10 September 1948 terjadi penangkapan terhadap Mukarto Notowidigdo di Kemayoran. Mukarto adalah tangan kanan Menkeu Dr. A.A. Maramis. Belanda menyebutnya sebagai kepala operasi perdagangan opium di Indonesia

Jurnalis kawakan, Rosihan Anwar pernah menulis, perintah opium trading berasal dari Wapres Mohammad Hatta pada Februari 1948. Dalam distribusinya, Mukarto menggunakan pesawat-pesawat sewaan yang telah diberi registrasi oleh AURI

Skandal pun meruyak. Benarkah pesawat-pesawat dengan registrasi resmi negara dipakai mengangkut opium? Tak pernah ada pengakuan dari AURI. Pernyataan yang muncul selalu menyebut yang biasa dikirim ke luar negeri adalah bubuk kina (saat itu kina memang bahan farmasi utama yang dibutuhkan dunia), vanila, atau bantuan pangan. Sementara yang biasa masuk ke Indonesia adalah bantuan obat-obatan.

Konsumsi narkoba yang bermasalah adalah satu dari sekian banyak persoalan yang dihadapi masyarakat layaknya pendidikan, air bersih, pasokan pangan, pilkada, isu kebinekaan, dan masih banyak lagi. Rezim pemerintahan terdahulu pernah melakukan komodifikasi narkoba untuk mengatasi persoalan-persoalan negara dan rakyat. Bisa saja pembangunan oleh pemerintah yang kita rasakan kini merupakan hasil penjualan opium, ganja, sabu-sabu, dan narkoba lainnya. Siapa yang tahu?

Rizky RDP

The author Rizky RDP

Sering menulis dengan tangan kiri, tim rusuh di Rumah Cemara, Tramp Backpacker, passion pada sepak bola dan sejarah. sering berkicau di @Rizky91__

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.