“Hukum tajam ke bawah tumpul ke atas” kerap diucapkan di negeri ini, mulai dari obrolan di warung-warung kopi, judul artikel media massa, sampai kampanye politik. Boleh jadi, frasa itu merupakan keniscayaan di negara hukum bernama Republik Indonesia yang kita cintai ini. Amit-amit!
Bagaimanapun, frasa tersebut levelnya sudah hampir mendekati pepatah yang mengandung kebenaran bagi kebanyakan orang Indonesia.
Dalam penegakan hukum pidana di pengadilan, sering kita dapatkan vonis hukuman yang nyaris tiada beda antara pencuri barang bernilai ratusan ribu rupiah milik tetangga dengan pencuri miliaran rupiah uang negara. Pencuri uang negara kita tahu biasanya adalah orang yang punya posisi penting di pemerintahan alias pejabat mulai dari tingkat desa. Secara ekonomi mereka lebih memiliki kemampuan termasuk yang sudah diketahui umum, mampu ‘membeli hukum’.
Pasar gelap narkoba yang tumbuh subur sebagai akibat kebijakan pelarangannya selama setengah abad belakangan punya andil dalam meningkatkan level frasa tadi menjadi pepatah.
Dalam pasar, terdapat rantai pemasaran. Mata rantai yang paling sederhana yaitu produsen, distributor, dan konsumen. Pada industri berskala besar dan lintas negara, mata rantainya tentu lebih kompleks. Ada yang namanya importir, pemasok, bandar, pengecer, kurir, dan lain-lain.
Dalam pasar gelap tidak hanya kompleks, sesuai dengan namanya, terdapat pula mata rantai-mata rantai gelap pemasaran. Mereka yang sulit dan banyaknya tak tersentuh hukum ini biasanya berada di puncak-puncak rantai pemasaran gelap, termasuk pemasaran gelap narkoba.
Apa yang dialami Nunung Srimulat pada 19 Juli lalu secara gamblang menggambarkan frasa “hukum tajam ke bawah tumpul ke atas”. Konteksnya Nunung sebagai konsumen, yakni mata rantai terbawah (end user) dalam pasar gelap narkoba jenis sabu. Dalam konteks Nunung sebagai orang yang secara ekonomi punya kemampuan, itu lain cerita.
Nunung ditangkap Ditresnarkoba Polda Metro Jaya di rumahnya dengan barang bukti 0,36 gram sabu selang empat puluh lima menitan kurirnya tertangkap. Dari tangan kurir bernama Tabu tersebut, polisi menyita uang Rp3,7 juta.
Tabu tidak serta-merta ditangkap karena mengantarkan narkoba dan mendapat uang dari Nunung. Sebelumnya polisi mendapat laporan dari masyarakat mengenai pengedar narkoba yang tinggal di daerah Cilincing, Jakarta Utara. Kombes Argo Yuwono, Kabid Humas Polda Metro Jaya saat konferensi pers menyatakan, polisi lalu mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan atas laporan tersebut.
Pengintaian terhadap Tabu pun dilakukan sampai kawasan Tebet, Jakarta Selatan, tempat Nunung tinggal.
Masih menurut Argo, Tabu terlihat melakukan transaksi di luar pagar sebuah rumah. Usai bertransaksi, polisi menyergap dan menginterogasinya. Setelah itu, polisi menyambangi rumah tempat transaksi tadi. Polisi mengaku tidak mengetahui kalau rumah itu adalah kediaman seorang bintang televisi.
Dari kronologi tadi saya terus bertanya-tanya, kenapa polisi tidak langsung menangkap Tabu yang sudah diketahui tempat tinggalnya berdasarkan pengaduan masyarakat itu?
Seandainya itu dilakukan, penjara hanya akan diisi oleh seorang penghuni baru. Tapi dengan cara kerja seperti itu, menangkap kurir lalu konsumennya, penghuni penjara bertambah tiga, yakni Tabu, Nunung, dan suami Nunung yang mengaku turut mengonsumsi sabu.
Cara kerja ini sangatlah tidak efektif. Sistem hukum pidana harus menanggung beban perkara Nunung dan suaminya mulai dari tingkat penyidikan sampai pemasyarakatan. Padahal per Maret 2019, penghuni rutan dan lapas se-Indonesia sudah berjumlah 204 persen dari kapasitas yang tersedia, yakni 261.468 orang menghuni penjara berkapasitas 127.920 orang. Dari seluruh penghuni, 133.885 orang merupakan terpidana kasus narkoba dan hampir setengahnya konsumen.
Tangkap Konsumen Narkoba demi Uang
Pengembangan kasus, menurut nalar saya, harusnya menyasar ke mata rantai pemasaran gelap narkoba yang ada di atasnya. Dalam kasus Nunung, harusnya yang disasar polisi adalah orang yang memasok sabu ke kurir sampai ke tingkatan paling atas, yaitu pihak-pihak yang punya lebih banyak dari sekadar dua gram sabu seperti yang dibeli Nunung.
Teman saya pegawai Badan Narkotika Nasional (BNN) di sebuah kota pantai utara Jawa. Ia bercerita, teman-teman kerjanya lazim mencari perkara dari daftar nomor telepon dan percakapan pesan teks di ponsel tersangka kasus narkoba yang disita. Tentu saja di ponsel itu ada lebih banyak konsumen ketimbang pengedar.
Tak jarang, masih menurut cerita teman saya, kekerasan digunakan untuk memperoleh identitas teman-teman tersangka sesama konsumen narkoba. Apa boleh buat karena ditarget atasan, tapi lebih berat karena pemenuhan gaya hidup, aparat-aparat ini memproses pidana siapapun yang dari tersangka teridentifikasi ada kaitan dengan narkoba walau hanya terkandung dalam air kencingnya.
Praktik-praktik seperti itu memalukan, merendahkan martabat kepolisian dan aparat penegak hukum lainnya, serta memuakkan. Tak salah jika citra aparat di mata publik tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Aparat dianggap hanya mampu dan berani menangkapi konsumen serta pengedar kelas teri hingga penjara-penjara kelebihan penghuni.
Sayangnya, UU pemidanaan narkoba kita yang sudah berlaku hampir setengah abad itu memiliki celah yang mengakomodasi penegakan hukum yang tajam ke bawah – tapi bukan berarti tumpul ke atas. Pasal 127 UU RI Tahun 2009 tentang Narkotika misalnya, mengancam penyalahgunaan narkoba dengan pidana penjara maksimal empat tahun.
Pelanggaran pasal ini sangat mungkin dibuktikan hanya dengan kandungan narkoba dalam urine.
Bila aparat bisa membuktikan kepemilikan narkoba golongan satu, di antaranya sabu, ganja, sinte, dan pil ekstasi berapapun jumlahnya, maka ancamannya menjadi minimal penjara empat tahun dan denda Rp800 juta hingga penjara maksimal dua belas tahun dan denda Rp8 miliar sesuai Pasal 111 UU itu.
Nunung terancam penerapan pasal ini karena kedapatan polisi memiliki 0,36 gram sabu.
Dengan berbagai alasan, penegakan hukum yang tajam ke bawah tentu menyuburkan praktik suap. Di tengah kondisi tersebut, orang-orang berduit akan menyuap demi menghindari kurungan penjara bertahun-tahun.
Tiga tahun pascapenerapan UU narkotika 2009, BNN bersama Pusat Penelitian Kesehatan UI melakukan Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba di Indonesia Tahun 2011 (Kerugian Sosial dan Ekonomi). Survei tersebut menyatakan, komponen biaya terbesar kedua setelah konsumsi narkoba adalah urusan dengan aparat penegak hukum yang mencapai Rp11 triliun. Angka ini meningkat dua belas kali lipat dibanding pada 2008.
Biaya tersebut dikeluarkan karena saat konsumen narkoba tertangkap dan diproses sampai ke tingkat pengadilan, jalan damai sering kali ditempuh. Oknum pun memanfaatkan situasi ini mulai dari proses penangkapan hingga persidangan. Semakin tinggi proses yang dilewati (semakin berat ancaman pidananya), maka semakin besar biaya yang harus dikeluarkan. Rata-rata biaya yang dikeluarkan untuk urusan ini sekitar Rp3,5 juta per orang per tahun.
Biaya berurusan dengan aparat penegak hukum juga dilaporkan pada survei sejenis yang dilakukan pada 2014. Laporan itu menyatakan, ketika konsumen (ditulis sebagai penyalah guna) tertangkap tangan oleh pihak aparat penegak hukum, maka proses panjang harus dilalui sampai keluarnya keputusan di tingkat pengadilan. Dalam proses tersebut, terbuka peluang berbagai oknum aparat penegak hukum meminta sejumlah uang untuk menghentikan kasus atau mengurangi masa hukuman.
Kisaran biaya yang dikeluarkan responden survei untuk urusan ini antara Rp6,5 juta sampai Rp10 juta. Nilai tertinggi yang dinyatakan responden mencapai Rp80 juta per orang.
Rehabilitasi yang dimungkinkan bagi pecandu sebagaimana diatur UU narkotika juga berpeluang menjadi ajang kolusi. Hal ini terlihat dari mudahnya orang-orang kaya seperti pejabat atau artis mendapat putusan rehabilitasi bahkan bebas. Kasus Andi Arief, Wakil Sekjen Partai Demokrat, dan Zulfikar, pemeran Bos Jamal dalam serial televisi Preman Pensiun memperlihatkan kecenderungan ini. Kalangan miskin yang menghadapi kasus serupa sangat sulit mendapat putusan macam itu.
Kabar terakhir, tim penilaian (asesmen) BNN DKI Jakarta merekomendasikan Nunung dan suaminya untuk direhabilitasi secara medis dan sosial di lapas. Sebagaimana diakui dalam sebuah wawancara televisi, Nunung sebenarnya sudah pernah menjalani rehab atas kemauan sendiri sampai akhirnya mengonsumsi sabu lagi dan tertangkap.
Sepengalaman saya, rehab memberikan kesempatan dan dukungan bagi seseorang untuk hidup tanpa narkoba, tapi tidak menjamin kesembuhan dari ketagihannya akan zat-zat psikoaktif. Silakan tanya ke praktisi-praktisi rehabilitasi ketergantungan narkoba di seantero jagat! Lantas bila program rehabilitasi yang dijalankan secara sukarela saja tidak menjamin kesembuhan, bagaimana dengan yang dipaksa oleh sistem hukum?
Perubahan Kebijakan Narkoba
Meskipun sudah secara berkala dilaporkan dalam survei yang dilakukan BNN, suap bahkan sampai pemerasan dalam proses pidana narkoba masih kerap terjadi di negeri ini. Revolusi mental yang dikampanyekan Joko Widodo (Jokowi) dalam kampanye Pilpres 2014 dan menjadi gerakan nasional tidak bertaji di hadapan perilaku korup aparat yang rutin dilaporkan oleh institusinya sendiri itu. Pemidanaan konsumsi narkoba dengan ancaman hukuman yang berat dalam UU selalu jadi ‘tameng’ untuk praktik-praktik merugikan tersebut.
Kebijakan narkoba kita masih mengancam dengan hukuman pidana berat kepemilikan dan konsumsi komoditas ini. Tidak perlu seberat 0,36 gram, air seni yang mengandung narkoba pun bisa jadi alat bukti untuk menyeret seseorang menjalani proses pemidanaan. Beratnya ancaman hukuman dalam UU narkotika menentukan posisi tawar aparat dalam menentukan besaran suap. Kelebihan populasi di penjara pun tidak menyurutkan nafsu untuk menghukum.
Padahal, masyarakat sudah tidak heran dengan kabar adanya konsumsi bahkan pengendalian peredaran narkoba dari dalam penjara. Kelebihan populasi selalu jadi alasan sipir atas terungkapnya bisnis narkoba di penjara. Sabu yang dibeli Nunung juga konon diperantarai oleh narapidana di Lapas Kelas II A Bogor.
Sebagai presiden, Jokowi jelas punya kuasa untuk merevolusi mental aparat-aparatnya termasuk melalui perubahan UU. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly berkali-kali mengeluhkan kelebihan populasi di penjara. Hal itu erat kaitannya dengan penghukuman konsumen narkoba. Yasona mengusulkan perbaikan UU narkotika dan rehabilitasi bagi semua konsumen tidak hanya tokoh-tokoh ‘hebat’.
Tapi menurut saya bila rehabilitasi menjadi kewajiban bagi konsumen narkoba yang ketidakpatuhannya dipidanakan, maka tetap saja berpeluang menjadi ajang kolusi. Saat inipun UU yang ada mengaturnya demikian. Ini yang menurut saya harus diubah kalau rezim Jokowi istikamah dengan revolusi mentalnya.
Sejumlah negara sudah insaf dan mengubah kebijakan narkoba mereka demi mengatasi pemborosan anggaran negara untuk memenjarakan konsumen narkoba yang secara statistik jauh lebih banyak daripada bandar serta produsennya.
Saat ini, sebagai contoh, jumlah terpidana kasus narkoba di Portugal sudah turun 43 persen sejak tidak lagi memidanakan kepemilikan narkoba untuk konsumsi pribadi pada 2001. Batas kepemilikan untuk konsumsi pribadi di sana ditetapkan sebagai berikut, ganja kering 25 gram, ekstasi dan heroin 1 gram, serta kokaina 2 gram. Pelanggaran ketentuan ini dikenai denda yang disesuaikan dengan upah minimum di negara itu.
Lalu untuk memudahkan kendali atas konsumen ganja di bawah umur, menyingkirkan organisasi kejahatan dari bisnis narkoba, mengurangi beban kerja kepolisian dan sistem hukum pidana, serta meningkatkan kesehatan masyarakat, tahun lalu Kanada mengizinkan konsumsi ganja untuk rekreasi. Penduduk berusia 18 tahun ke atas diperbolehkan membawa ganja hingga 30 gram. Ganja kering bisa diperoleh di gerai-gerai yang mendapat izin pemerintah.
Memenjarakan puluhan ribu konsumen narkoba merupakan amanah yang berat. Miliaran rupiah anggaran negara habis tiap tahunnya untuk urusan ini. Saking beratnya amanah pekerjaan tersebut, perilaku korup aparat dalam pemidanaan konsumsi dan kepemilikan narkoba dari sejak penangkapan hingga pemasyarakatan tak henti-hentinya dilaporkan. Penghuni penjara pun jumlahya sudah jauh melampaui kapasitas huninya.
Atas pertimbangan tersebut, saya rasa sudah saatnya republik ini mengubah kebijakan narkobanya. Menghapus ancaman pidana untuk kepemilikan narkoba untuk konsumsi pribadi niscaya akan mengubah cara kerja aparat penegak hukum. Mereka tidak akan lagi memburu konsumen yang hanya memilki nol koma sekian gram narkoba atau merazia urine demi mencapai target penegakan hukum pidana zat-zat psikoaktif itu. Sungguh itu merupakan sebuah cara kerja yang menegaskan “hukum tajam ke bawah” dan menzalimi rakyat bukan melindunginya.
Yang tak kalah penting, dekriminalisasi kepemilikan narkoba untuk konsumsi pribadi akan banyak menutup peluang terjadinya suap dari konsumen kepada aparat yang besarannya mengikuti berat ancaman hukumannya sebagaimana yang berlaku hampir setengah abad belakangan. Jadi fokus kerja aparat adalah menertibkan bagian atas rantai pemasaran gelap narkoba. Hukum pun diarahkan tajam ke atas!
Bukankah ini yang diharapkan dari Gerakan Nasional Revolusi Mental, Pak Jokowi?