Eksekusi mati kasus pidana narkotik akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Ini menjadi pelaksanaan ketiga sejak Presiden Jokowi menolak grasi 64 terpidana mati kasus tersebut pada 2014. Keputusan penolakan grasi didukung banyak pihak, eksekusi pun dinanti. Hampir tidak ada media di negeri ini yang tidak meliput, sebagian bahkan menjadikannya seperti drama berseri.
Awal April lalu, seorang anak berusia 14 tahun dibunuh setelah diperkosa belasan lelaki di Bengkulu. Kasus ini membuat geram banyak orang. Tidak sedikit yang mengusulkan hukuman mati, selain kebiri, bagi para pelaku. Ada pula yang mengusulkan pelarangan minuman beralkohol melalui UU karena sebelum memerkosa, para pelaku mengonsumsi tuak. Presiden pun segera menerbitkan PERPPU yang berisi pemberatan hukuman bagi pelaku kejahatan kelamin.
Pemberatan hukuman (hingga hukuman mati) seolah menjadi obat mujarab dari pemerintah untuk ‘menyembuhkan’ persoalan yang menuai banyak kecaman. Faktanya, memang banyak orang Indonesia yang geram terhadap pemerkosaan anak, apalagi sampai korbannya dibunuh. Begitu pula terhadap bandar narkotik yang masih saja mengendalikan bisnis tersebut setelah divonis mati dan dipenjara.
Walaupun pemberatan hukuman bagi bandar narkotik dan pemerkosa anak mendapat banyak dukungan, namun ada juga yang menentangnya. Sejumlah aktivis perempuan justru tidak menyetujui hukuman kebiri bagi pemerkosa. Hukuman mati dianggap sejumlah kalangan sebagai menyederhanakan masalah.
Pemerintah sangat yakin bahwa selain menimbulkan efek jera, pemberatan hukuman bisa mencegah seseorang untuk berani melakukan suatu tindak pidana. Sebuah keyakinan yang absurd, khususnya dalam kondisi penegakan hukum di Indonesia saat ini. Pertama, efek jera tidak akan ada artinya lagi jika yang dihukumnya mati. Siapa yang jera kemudian?
Kedua, pemberatan hukuman memperlebar celah terjadinya tawar-menawar besaran suap dan pemerasan. Celah ini terdapat di setiap tahap proses penegakan hukum pidana mulai dari penyidikan hingga pemasyarakatan. Penegak hukum kerap menjadikan peringanan hukuman sebagai komoditas. Penerapan kebijakan NAPZA (Narkotik, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya) di Indonesia bisa menjadi bahan renungan betapa pemberatan hukuman justru meningkatkan biaya berurusan dengan aparat hukum.
Ancaman hukuman dalam UU RI tentang Narkotika telah diperberat sebanyak dua kali. Pada 1976 ancaman hukuman maksimal untuk kepemilikan narkotik adalah 6 tahun penjara, lalu diperberat menjadi 10 tahun pada 1997, dan menjadi 12 tahun sejak 2009.
Dua tahun setelah UU tahun 2009 disahkan, Badan Narkotika Nasional dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia melaporkan biaya berurusan dengan aparat hukum meningkat 12 kali lipat, dari Rp882 miliar pada 2008 menjadi Rp11 triliun pada 2011. Laporan tersebut menyebutkan bahwa peningkatan terjadi karena ‘jalan damai’ untuk proses penangkapan sampai persidangan kerap ditempuh pelaku dan keluarganya. Semakin tinggi proses yang dilewatinya (ancaman hukuman), maka semakin besar biaya yang harus dibayar.
Ketiga, sejak 2004 Indonesia telah mengeksekusi mati 21 terpidana kasus narkotik, 14 di antaranya dilakukan pada 2015 yang dibagi menjadi dua kelompok. Jika eksekusi hukuman terberat ini dijadikan taktik untuk menakut-nakuti masyarakat supaya tidak terlibat bisnis narkotik, maka taktik tersebut gagal dan harus segera ditinggalkan.
Sepanjang 2006-2015 Mabes Polri melaporkan rata-rata tiap tahun 30 ribuan orang menjadi tersangka kasus narkotik di Indonesia. Pada April 2016, sebanyak 39.184 terpidana bandar narkotik menghuni lapas dan rutan se-Indonesia. Data-data ini menyimpulkan bahwa masyarakat tidak takut berbisnis narkotik di Indonesia walaupun diancam hingga hukuman mati.
Dalam kasus kejahatan kelamin, demi menghukum entah siapa, ada pihak yang menuntut agar minuman beralkohol dilarang di Indonesia. NAPZA dianggap sebagai biang keladi kemerosotan moral bangsa. Pemerkosaan, pembunuhan, korupsi, dan bahkan terorisme ditengarai berasal dari konsumsi NAPZA. Keyakinan ini lebih absurd lagi.
Pelarangan dengan menerapkan hukum pidana untuk NAPZA dimanapun telah membuat komoditas ini dikuasai oleh sindikat kejahatan. Pelarangan minuman beralkohol di Amerika Serikat (1920-1933) menarik kelompok-kelompok kejahatan di sana untuk menekuni komoditas ini. Tadinya kegiatan mereka terbatas pada prostitusi, judi, dan pencurian. Al Capone adalah tokoh sindikat yang cukup terkenal dari periode itu.
Keuntungan yang diperoleh sindikat dari bisnis NAPZA ilegal nilainya tak terhingga karena merekalah yang menentukan harga dan bahan bakunya. Bisnis inipun tidak perlu memiliki izin serta membayar pajak. Di Indonesia saja, biaya konsumsi NAPZA ilegal mencapai Rp42 triliun pada 2014, naik dari Rp17 triliunan pada 2011, dan Rp15 triliunan pada 2008. Besarnya uang dan laba yang maksimal jelas menarik minat sebagian orang untuk menekuni bisnis NAPZA ilegal walaupun diancam hingga hukuman mati.
Anggapan bahwa hukuman mati dan kebiri menyederhanakan persoalan boleh jadi benar adanya. Pemerintah seolah menyerahkan seluruh tanggung jawab pada pelaku tanpa berupaya membenahi sistem penegakan hukum yang sedang berlangsung saat ini. Wajar saja muncul dugaan bahwa sistem tersebut sengaja dipertahankan karena memang ‘mengalirkan’ banyak uang ke aparat-aparatnya.
Kebijakan pelarangan NAPZA misalnya, selain dimanfaatkan aparat korup, juga membuat NAPZA dikelola oleh penjahat dengan keuntungan tak terhingga yang justru menarik minat sebagian anggota masyarakat untuk menekuni bisnisnya. Pada gilirannya mereka memenuhi penjara yang sudah kelebihan hunian dan sebagian divonis hukuman mati.
Jika saja negara menguasai seluruh aspek ekonomi NAPZA, maka penjahat tidak akan menekuni bisnis gelap komoditas ini dan mengeruk laba besar, eksekusi hukuman mati pun tidak lagi menjadi drama berseri di negeri ini.
*Dimuat di Qureta 17 Mei 2016