Kalau ada calon-calon kepala daerah yang sesumbar ingin memberantas LGBT, saya bertaruh, mereka tidak menyatakannya secara sungguh-sungguh. Mohon dimaafkan saja, mereka hanya ingin mendongkrak popularitasnya. Tidak lebih!
Seperti pada janji pemberantasan narkoba atau prostitusi, seorang kepala daerah bahkan presiden yang sudah terpilih sekalipun tidak akan pernah bisa mewujudkannya.
Mau contoh?
Saat berkampanye pada pemilihan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte berjanji akan menumpas puluhan ribu pelaku kejahatan dan mendesak masyarakat untuk membantai pecandu. Ia pun terpilih dan diangkat sebagai presiden negeri lumbung padi itu 1 Juli 2016.
Menurut data resmi pemerintah, hingga akhir 2017, 3.993 tersangka kasus kepemilikan narkoba mati terbunuh dalam operasi antinarkoba kepolisian sejak Duterte menjabat sebagai presiden. Apakah kini narkoba di Filipina punah?
Contoh lain. “War on drugs” adalah jargon kampanye Richard Nixon pada pemilihan Presiden AS 1968. Jargon ini dicanangkan Nixon untuk merebut simpati apa yang dinamakannya sebagai “silent majority”, yaitu kelas menengah ngehek konservatif Amerika yang tidak menyukai kaum hippie penentang Perang Vietnam (lekat dengan konsumsi ganja) dan Afro-Amerika (lekat dengan konsumsi heroin).
John Ehrlichman, mantan kepala staf kebijakan domestik Nixon, bahkan mengungkapkan, “Kami bisa memenjarakan pemimpin-pemimpin mereka (hippies dan orang-orang Afro-Amerika), menggeledah rumah-rumah mereka, membubarkan rapat-rapat mereka, menjelek-jelekkan mereka di tiap berita malam. Apakah kami tahu kami sedang berbohong mengenai narkoba? Tentu saja kami tahu.”
Pesan antinarkoba yang mendulang popularitas pengusungnya pun diikuti Ronald Reagan, Presiden AS ke-40. Pada 1984, ia dan istrinya, Nancy mencanangkan kampanye “Just Say No” yang merupakan upaya mendidik anak-anak mengenai bahaya konsumsi narkoba. Perhatian lebih Reagan pada narkoba itu menyebabkan kenaikan signifikan jumlah tahanan negara atas kejahatan narkoba tanpa kekerasan (nonviolent drug crimes).
AS, yang merupakan negara adidaya sekalipun tak mampu membasmi konsumsi narkoba di negerinya sendiri. Malah belakangan ini, makin banyak negara bagiannya yang tidak lagi memidanakan konsumsi ganja.
Kembali ke LGBT di tanah air.
Saya menanggapi datar ketika kemarin seorang sejawat bertanya, apakah saya akan mengonter pernyataan salah seorang calon kepala daerah di sebuah surat kabar yang ingin memberantas LGBT di daerah yang pernah dan akan dipimpinnya jika ia kelak terpilih.
Pasalnya saya haqul yakin, sang kandidat paham betul kalau pernyataannya itu sesumbar belaka jika tidak ingin dibilang upaya cari muka ke para calon pemilihnya yang mungkin berbeda dengan konteks Nixon tadi. Di atas kertas, mayoritas pemilih di tempatnya berlaga pada Pilkada 2018 nanti adalah pemeluk agama-agama Samawi yang akrab dengan kisah Sodom dan Gomora. Keadaan yang relatif sama di sebagian besar wilayah Nusantara.
Untuk mendongkrak popularitas bahkan elektabilitasnya, pernyataan berupa ancaman sang kandidat tentu berpengaruh. Tapi perwujudan janji politik itu, punahnya LGBT beserta segenap kegiatannya, menurut saya hanya akan jadi isapan jempol belaka.
Banyak teman-teman waria dan homo, juga aktivis kesetaraan gender yang saya kenal dibuat gusar oleh ancaman itu. Calon-calon kepala daerah yang kadung janji memberantas tadi pasti akan represif terhadap LGBT baik dalam ucapan maupun tindakan kelak saat mereka benar terpilih. Tapi tindakan represif seperti apa sih yang akan dilakukan?
Katakanlah yang akan ‘disikat’ oleh sang kepala daerah adalah seluruh aktivitas LGBT. Memangnya aktivitas LGBT melulu soal pesta seks, seperti yang pernah diberitakan dengan visual segerombolan lelaki setengah telanjang dalam penggerebekan sebuah pusat kebugaran di Kelapa Gading, Jakarta beberapa waktu silam?!
Buat teman-teman yang vulgar akan seksualitasnya boleh cemas akan janji politik tersebut, tapi buat yang tidak suka melakukan aktivitas seksual di ruang publik atau pantang mleteki ‘berondong’ di bawah umur boleh woles!
Sebagai makhluk sosial, LGBT juga melakukan aktivitas-aktivitas manusia pada umumnya. Dalam mencari nafkah atau bersosialisasi tentu banyak dari mereka berada di ruang-ruang publik, jadi pegawai bank, guru, dokter, dll. Berbeda dengan saat berhubungan intim, pasti kebanyakan memilih berada di ruang privat (yang tertangkap saat orgy, itu segelintir saja bukan semua).
Kalau yang mau diberantas adalah kegiatan-kegiatan LGBT di ruang publik, akan ada berapa banyak salon yang dipaksa tutup? Hal ini bisa menimbulkan gejolak sosial lho (*lebay mode on), karena banyaknya emak-emak, para gadis, dan rombongan pemuda metroseksual yang akan kesulitan mencari tempat menata penampilannya atau sekadar memanjakan diri dengan perawatan tubuh. Bisa-bisa mereka mengorganisir aksi turun ke jalan berjilid-jilid seraya memviralkan #SaveBanciSalon.
Untuk aktivitas di ruang privat, apakah bisa kepala daerah dan jajarannya menggerebek seluruh kamar di seantero kabupaten, kota, atau provinsi wilayah kerjanya yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan tersebut?
Balutan agama dalam program pemerintahan, seperti program Weekend ke Tanah Suci atau Satu Ayat Kitab Suci Sepulang Kantor, boleh jadi akan memopulerkan seorang atau calon kepala daerah dengan citra alim. Mengusung tema antiperbuatan yang dilarang agama mayoritas penduduk tentu punya dampak yang sama.
Tapi begini ya Ibu dan Bapak politisi sekalian, kalau mau dipilih sebagai pemimpin, kampanyekanlah program-program untuk menyejahterakan rakyat dan memakmurkan daerah yang kelak kalian pimpin. Sekarang, kalaupun misalnya LGBT berhasil kalian basmi, apakah kemudian rakyat yang akan kalian layani serta-merta sejahtera, lapangan kerja tercipta sehingga pengangguran dan kemiskinan berkurang, IPM meningkat, dan seterusnya?
Buat para pemilih, camkanlah bahwa, orang-orang yang hanya mengejar kekuasaan akan ‘menjual’ isu apapun termasuk agama. Janganlah kita terpukau oleh kutipan dalil agama yang tidak berhubungan dengan upaya mempersempit jurang antara kaya dan miskin, meningkatkan taraf ekonomi, kesehatan, kecerdasan, maupun rasa aman serta kedamaian di masyarakat. Membasmi homo, lesbi, dan waria tidak akan membuat rakyat kenyang!
Kembali ke contoh-contoh pemerintahan di negara lain yang telah saya kemukakan, alih-alih menyejahterakan rakyatnya, Nixon menjadi satu-satunya presiden AS yang mengundurkan diri karena terlibat skandal. Lalu, sementara Duterte gencar membantai warganya yang kedapatan memiliki narkoba, sebuah survei nasional menunjukkan 47% keluarga Filipina menganggap diri mereka miskin. Angka ini cenderung meningkat sejak dirinya dilantik.
Eh, tapi BTW Duterte mendukung pernikahan sesama jenis lho!
Saya paham ketakutan banyak orang soal LGBT ini sebagaimana saya yang punya dua anak lelaki. Tapi seperti yang terjadi pada penanganan narkoba sekarang ini, pemidanaan LGBT tidak akan membuatnya punah. Sejarah panjang umat manusia telah membuktikannya. Dan sepanjang sejarah itu pula, homoseksualitas, prostitusi, atau narkoba telah dijadikan komoditas, bahan jualan para politisi yang lemah dalam beradu gagasan dan bekerja untuk membuat rakyat makmur, sejahtera, hidup rukun dan damai dengan segala keragaman di tengah masyarakat.
Ah, kalau untuk yang terakhir itu, rasanya jargon “Indonesia tanpa stigma” lebih tepat untuk diusung dalam kontestasi politik di negeri kita tercinta ini!