Sepanjang empat hari ini, 2-5 Maret 2020, saya berada di sebuah pertemuan tingkat tinggi dunia. Ya, delegasi-delegasi negara anggota PBB bertemu untuk diskusi, negosiasi, debat, juga bersekongkol demi upaya mengontrol obat-obatan secara global. Ruang lingkup obat-obatan yang dimaksud tercakup dalam Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika (1961) dan Psikotropika (1971) juga tentang Pemberantasan keduanya (1988).
Ketiga konvensi atau perjanjian internasional tersebut menjadi kitab suci rezim yang dikenal sebagai “rezim pelarangan narkoba internasional”.
Cita-cita rezim ini adalah untuk menetapkan langkah-langkah pengendalian yang berlaku secara internasional dengan memastikan bahwa zat-zat psikoaktif itu tersedia untuk tujuan medis dan ilmiah. Rezim ini sekaligus ingin mencegah narkoba beredar secara ilegal. Kitab-kitab sucinya tadi memuat ketentuan umum tentang perdagangan dan pemanfaatan narkoba yang terdaftar di dalamnya.
Sebenarnya rezim pelarangan ini memiliki sejarah panjang sebelum benar-benar dilegitimasi melalui tiga konvensi PBB tadi yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan tingkat tinggi rutin–setidaknya setahun sekali seperti yang sedang saya hadiri saat ini. Strukturnya pun cukup membingungkan buat orang awam macam saya. Untungnya, ada saja yang cukup iseng menggambarkan struktur rezim ini melalui sebuah bagan.
Terima kasih untuk David Bewley-Taylor yang sudah repot-repot membuat serta mencantumkan bagan rezim pelarangan narkoba internasional ini dalam salah satu materi presentasinya!
Konvensi Tunggal PBB 1961 tentang Obat-Obatan Narkotika menggantikan perjanjian-perjanjian internasional sejenis sebelumnya. Ketentuan baru yang belum diatur dimasukkan, termasuk sistem pengendalian yang lebih bersifat melarang serta sama sekali tidak menoleransi perdagangan dan budi daya ganja, koka, dan opium di luar sistem.
Sebagai informasi, saat itu ketiga komoditas tersebut secara tradisional dibudidayakan dan dikonsumsi oleh masyarakat yang terkonsentrasi di Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Pemanfaatannya untuk pengobatan yang diamalkan masyarakat setempat dipandang rezim ini sebagai praktik “pengobatan semu (quasi medical)” yang harus ditumpas.
Untuk juga diketahui, Konvensi PBB 1971 tentang Zat-Zat Psikotropika dirumuskan sebagai respons atas berbagai jenis konsumsi obat-obatan. Lebih dari ratusan obat “psikotropika”, amfetamina, barbiturat, benzodiazepine, dan psikedelik, ingin dikendalikan rezim ini dengan membaginya menjadi empat golongan–seperti pada konvensi untuk narkotika .
Dibandingkan dengan kontrol ketat yang diberlakukan Konvensi 1961 pada tanaman-tanaman penghasil narkoba, Konvensi 1971 memberlakukan struktur pengendalian yang lebih lemah. Ini disebabkan oleh tekanan dari industri farmasi Eropa dan Amerika Utara sepanjang negosiasi saat perumusannya antara 1 Januari hingga 21 Februari 1971.
Sepanjang 1960-an, The Commission on Narcotic Drugs (CND) dan WHO berdebat atas isu pengendalian obat-obatan psikotropika. Hasilnya, beberapa rekomendasi bagi anggota PBB yang secara nasional ingin mengendalikan sejumlah zat termasuk stimulan, penenang, dan psikedelik (LSD). Setelah beberapa modifikasi, CND menghasilkan dokumen yang menjadi dasar untuk negosiasi di konferensi yang paling menentukan di Wina, Austria pada 11 Juli 1971. Konferensi inilah yang menghasilkan Konvensi PBB tentang Zat-Zat Psikotropika.
Setelah ulasan sekilas soal tujuan dikembangkannya kedua konvensi tadi oleh rezim pelarangan narkoba global, sistem pengendalian dua perjanjian ini yang berada di bawah mandat administratif International Narcotics Control Board (INCB) juga bermaksud menjamin tercukupinya pasokan narkoba untuk pemanfaatan yang resmi.
INCB dimandatkan dalam Konvensi 1961 untuk mengawasi penerapan konvensi dan mengelola sistem statistik estimasi dan pengembalian pemakaian narkotika di negara-negara anggota yang wajib dilaporkan tiap tahun. Badan ini terdiri dari sebelas anggota, tiga dinominasikan WHO dan delapan oleh penanda tangan konvensi. Kekuatan embargo badan ini untuk merekomendasikan penghentian perdagangan narkoba suatu negara dengan negara lain yang tidak mematuhi ketentuan-ketentuan konvensi, bagaimanapun, lemah.
Paragraf-paragraf di atas sudah mengulas beberapa organ rezim pelarangan narkoba global yang termuat dalam bagan Bewley-Taylor, di antaranya WHO, INCB, dan CND. Sebelum sampai pada organ-organ rezim lainnya dalam bagan, ada baiknya saya jelaskan kembali tugas pokok dan fungsi tiga organ tadi yang tercantum dalam kitab-kitab sucinya.
Pasal 19 Konvensi Narkotika 1961 mensyaratkan sistem perkiraan (estimasi) negara penanda tangan untuk membuat laporan tahunan kepada INCB berapa banyak obat-obatan yang berada dalam kendali rezim dibutuhkan untuk tahun berikutnya. Sistem ini merupakan salah satu pilar rezim tersebut. Meski demikian, sistem ini tidak dilakukan untuk obat-obatan yang diatur dalam Konvensi Psikotropika 1971.
Pasal 3 Konvensi 1961 memberikan WHO peranan penting dalam menentukan apakah, berdasarkan analisis medis/ ilmiah, sebuah narkoba baru seharusnya ditambahkan ke daftar obat-obatan yang berada di bawah kendali rezim ini. Tidak berhenti di situ, rekomendasi WHO dipaparkan di hadapan CND yang akan membuat keputusan akhir, tapi setiap pihak dapat mengajukan banding atas keputusan CND kepada ECOSOC dalam waktu 90 hari.
Keputusan ECOSOC atau Dewan Ekonomi dan Sosial PBB bersifat final. Ketika suatu keputusan sedang diajukan banding, CND masih bisa meminta parapihak untuk melakukan tindakan-tindakan pengendalian terhadap zat yang dimaksud.
CND sendiri adalah forum multilateral yang dibentuk pada Februari 1946 oleh ECOSOC sebagai salah satu komisi teknis. Komisi ini merupakan organ legislatif dan pembuat kebijakan yang terdiri dari 53 negara anggota PBB. Tugasnya, membantu ECOSOC menyupervisi penerapan perjanjian-perjanjian pengendalian narkoba internasional.
Kitab-kita suci rezim pelarangan narkoba global menitahkan fungsi-fungsi normatif yang penting buat komisi ini. Hal itu termasuk otoritas untuk mempelajari segala hal mengenai tujuan-tujuan konvensi dan memastikan penerapannya.
Sebagai penegak titah rezim yang tunduk pada Konvensi 1961 dan 1971, CND – atas rekomendasi WHO – menentukan obat apa saja yang diklasifikasikan berada di bawah rezim pelarangan narkoba global. Jadi, baik CND maupun WHO adalah dua organ yang berkuasa untuk menambah atau menghapus obat dari daftar zat yang dikendalikan rezim serta memindahkannya dari satu golongan narkoba ke golongan yang lainnya.
Titah Konvensi 1988 untuk CND, atas rekomendasi INCB, adalah menetapkan bahan-bahan baku (prekursor untuk memproduksi narkoba) apa saja yang berada di bawah kendali rezim.
Seperti yang telah saya kemukakan di paragraf pertama, CND setiap tahun bertemu di Wina, Austria. Pertemuan tahunan ini menjadi forum bagi negara-negara anggota PBB untuk berdebat dan meloloskan berbagai resolusi untuk kebijakan-kebijakan narkoba.
Selanjutnya adalah INCB. Ini merupakan badan pengawas independen dan semiyudisial. Dibentuk pada 1968 atas titah kitab suci rezim untuk bertanggung jawab memastikan terlaksananya konvensi-konvensi pengendalian narkoba global.
Secara umum, INCB bertugas mengawasi dan mengeluarkan izin perdagangan serta pemanfaatan narkotika. Bersama pemerintah negara penanda tangan konvensi, INCB memastikan pasokan narkoba untuk pengobatan dan tujuan ilmiah di negara itu tercukupi tanpa melalui cara-cara ilegal. Ini juga berlaku untuk prekursor narkoba.
Organ lain dalam rezim ini adalah WHO. Perannya adalah melakukan penilaian atas potensi pengobatan sebuah zat dari perspektif kesehatan masyarakat berdasarkan bukti terbaik yang tersedia. Kemudian, organ ini memberikan argumentasi sebagai pertimbangan apakah zat tersebut diklasifikasikan ke dalam daftar pengendalian narkoba internasional.
Sesuai titah Konvensi 1961 dan 1971, WHO bertanggung jawab untuk membuat rekomendasi mengenai klasifikasi zat kepada CND. Komite Ahli untuk Ketergantungan Obat (ECDD) WHO diberi tugas melakukan penilaian untuk mengklasifikasi zat, lalu memberikan saran kepada Direktur Jenderal WHO untuk rekomendasi yang akan diputuskan oleh CND.
Selanjutnya adalah UNODC. Kantor PBB untuk urusan Narkoba dan Kejahatan ini adalah pemimpin global dalam perang melawan narkoba ilegal dan kejahatan internasional. Dibentuk pada 1997 atas gabungan antara the UN Drug Control Programme (UNDCP) dan the Centre for International Crime Prevention.
UNODC beroperasi di seluruh kawasan dunia melalui sebuah jaringan kantor lapangan yang luas. UNODC bergantung pada kontribusi sukarela, terutama dari pemerintah, untuk 90 persen anggarannya. Badan PBB ini diberi mandat untuk membantu negara anggota dalam perang melawan pasar gelap narkoba, kejahatan, dan terorisme.
Kalau melihat bagan di atas serta penjelasan tentang peran masing-masing organ di rezim pelarangan narkoba global ini, siapa sebenarnya yang paling menentukan sebuah zat masuk ke dalam sistem pengendalian rezim?
Jawabannya tentu saja ECOSOC, karena dewan inilah yang membentuk CND sebagai organ legislatif pembuat kebijakan yang terdiri dari 53 negara anggota PBB. “Penyeimbang” CND dalam membuat kebijakan terutama memutuskan zat apa saja yang akan dikendalikan rezim adalah WHO. Bedanya, WHO berisi pakar yang menganalisis apakah suatu zat memiliki potensi tertentu untuk dimasukkan ke dalam daftar kendali rezim, sedangkan CND berisi delegasi 53 negara anggota. Lalu analisis WHO tadi direkomendasikan untuk diputuskan oleh CND secara birokratis dan politis.
Sebelum datang ke pertemuan CND, tentu saya mengumpulkan informasi seputar mahluk apa gerangan dan hal-hal yang biasanya dilakukan delegasi-delegasi negara anggota PBB di acara itu. Dugaan saya tidak meleset. Tujuan mendiskusikan, berdebat, bahkan bersekongkol untuk menentukan apakah suatu obat masuk ke dalam rezim pelarangan ini nampak jauh panggang dari api. Ini disebabkan, pemahaman substansi soal kebijakan narkoba gerombolan delegasi negara-negara yang bertemu di sana dangkal.
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan Transnational Institute “The UN Drug Control Conventions” (2015), alih-alih sebuah kelompok ahli yang tugasnya mendiskusikan dan menentukan praktik-praktik terbaik untuk seluruh negara, CND hanyalah sebuah komisi politis. Padahal gerombolan delegasi tiap negara tadi mewakili negosiasi resmi untuk menteri luar negeri, kesehatan, hukum dan pertahanan atau malah mewakili misi diplomatik di Wina.
Seperti yang saya sebut, kebanyakan delegasi ini tidak memiliki pengalaman mendalam soal isu kebijakan narkoba sehingga tidak selalu mampu untuk berdiskusi di forum-forum CND. Terlebih, seluruh keputusan di CND merupakan hasil dari proses negosiasi politik yang panjang serta diadopsi berdasarkan konsensus. Artinya, keputusan-keputusan tersebut sangat mungkin selama ini dihasilkan oleh delegasi yang tidak kompeten, dan celakanya setelah itu tidak ada negara yang bisa mengubah keputusan penting tersebut.
Saat mengikuti sidang untuk memutuskan rekomendasi WHO tentang ganja, seluruh delegasi memberikan suara. Boleh dikatakan, tidak semua argumentasi delegasi di sidang itu bermutu. Bahkan saya hanya bisa mendengar sambil mengurut dada, ada yang berbicara mengenai kratom saat sidang membahas ganja. Tjadas!!
Setelah diundang untuk mengikuti sidang-sidang selama kurang lebih lima hari itu, saya pun terus bertanya-tanya, untuk apa tiap tahun mereka bersidang kalau kebijakan yang dihasilkan selalu sama, yakni pelarangan narkotika. Sementara UNODC, yang dikatakan sebagai pemimpin perang melawan narkoba ilegal, tiap tahun menerbitkan laporan yang isinya selalu menunjukkan angka kenaikan entah itu konsumsi, jumlah konsumen, atau jumlah narkoba ilegal yang disita di berbagai negara.
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip pernyataan sejarawan William B. McAllister yang mempertanyakan mengapa masalah narkoba dunia begitu sulitnya dipecahkan. Ia menjawab pertanyaannya itu sebagai berikut:
Tujuan utama rezim pelarangan narkoba global tidak akan pernah melenyapkan konsumsi obat-obatan terlarang. Tujuan yang paling penting dari para delegasi yang menandatangani Konvensi 1961 dan 1971 adalah melindungi kepentingan ekonomi, sosial, budaya, agama, dan/ atau geopolitik mereka yang beragam. Waktu yang dihabiskan dalam konferensi untuk membahas orang yang kecanduan, bagaimana membantu mereka, dan bagaimana mencegah lebih banyak orang yang “terjerumus” sebenarnya sangat minim.
Sampai prioritas ini berubah, masalah dengan penyalahgunaan narkoba yang meluas, dan biaya yang meyertainya untuk pembangunan modal manusia dan material akan terus berlangsung.