close
Membangun-solidaritas-melawan-prasangka
Sumber Gambar: Jeruji

“Kita perlu keberanian, bukanlah ketakutan. Kita juga perlu semangat dan gairah yang besar, bukan belas kasihan.”

Musik sebagai media sudah bukan barang baru di punk. Dari tradisi punk, kita paham bahwa sebagai bagian dari budaya tanding (counterculture), musik harus pula menyampaikan kegelisahan, kemarahan dan mengabarkan pesan generasi pada zamannya.

Meski musik tak boleh tunduk pada ideologi, sejarah membuktikan musik, terutama ketika kita berbicara soal punk, merupakan media yang efektif dan memberi ruang besar bagi seruan-seruan penting dari komunitas maupun individu. Musik dapat menjadi media untuk mengekspresikan diri, menuangkan imajinasi, menceritakan sesuatu, dan bahkan memprovokasi pemikiran.

Sejak Crass (sebagai antitesis Sex Pistols), punk muncul mengobrak-abrik pemahaman formal banyak orang tentang fungsi musik. Ia melampaui fungsinya sebagai media hiburan atau sekadar ungkapan emosi individu, apalagi hanya sekadar perlambangan dan promosi dagang.

Dari punk yang hadir sebagai budaya tanding tadi, musik (dan segala hal yang beririsan dengannya) merupakan media untuk berdialog, bertukar pikiran dan gagasan. Musik merupakan media yang efektif pula bagi kaum muda untuk berargumentasi, bertukar kritik dan pandangan terhadap dunia.

Bagi kami, sampai titik ini, musik dalam subkultur punk memiliki posisi penting sebagai penyampai pesan agar bisa menjadi bahan renungan, diskusi, dan berargumentasi. Memberikan fakta dibandingkan kesan, mengklarifikasi dan menyingkat informasi, menyatakan tanggung jawab secara jelas, membujuk dan menyediakan rekomendasi.

Baca juga:  Nyimeng tanpa Asap: Makan Kue Ganja

Kali ini, penting bagi kami untuk menyampaikan pesan tentang isu, yang pada level keseharian, kami coba dialogkan dengan banyak kawan di komunitas. Isu yang selama ini sering beririsan dengan kawan-kawan: perihal “perang terhadap narkoba”, dengan perspektif lain yang jarang kita temukan pada platform informasi media besar pada umumnya.

“Perang terhadap narkoba” yang sudah berlangsung hampir setengah abad, bukan hanya menghabiskan biaya yang sangat besar, tetapi juga memakan korban jiwa yang begitu banyak, terutama konsumennya. Padahal, kebanyakan dari mereka seharusnya dapat dan perlu ditolong melalui perawatan.

Perspektif ‘korban’ ini yang jarang dibicarakan, apalagi dijadikan acuan untuk mengubah undang-undang. Selama ini justru para korbanlah yang menjadi komoditas “perang terhadap narkoba”.

Bukanlah sebuah kebetulan ketika kami kemudian beririsan dengan kawan-kawan berperspektif sama di belahan dunia lain. Salah satunya adalah kampanye  Support Dont Punish yang dilakukan secara lokal dan global untuk mengakhiri “perang terhadap narkoba”. Bagi kami, “war on drugs” pada prakteknya jauh dari upaya perang melawan pengedar gelap narkoba dan terbukti gagal mengatasi permasalahan NAPZA.

Di level lokal, kami berupaya berbagi nilai-nilai yang sama dalam kampanye ini, menciptakan sebuah gerakan masyarakat yang berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, berbagi nilai-nilai yang baik dan transfer aturan-aturan yang benar dalam isu HIV dan NAPZA.

Baca juga:  Dextro itu Obat Batuk, Bukan buat Giting

Oleh karena itu, dalam isu ini, kami merasa penting untuk mengintegrasikannya dengan isu “melawan prasangka” yang belakangan nampaknya kembali penting diingatkan. Di dunia pada era Trump berkuasa dan efek negatif dari politik elektoral hari ini, isu prasangka terhadap sesuatu yang berbeda kembali menjadi isu yang sangat relevan untuk dijadikan dialog.

Prasangka (dalam hal ini tentunya kita bicara soal prasangka buruk), lahir dari melihat sesuatu yang asing dan beda: ras, agama, ideologi, dan identitas lainnya. Setiap orang tentu memiliki persepsi tertentu terhadap orang lain saat dia menyampaikan pesan. Persepsi itu tidak lahir dengan sendirinya.

Seringkali persepsi berasal dari konstruksi realitas yang hadir di luar sana akibat isu ekonomi dan politik. Ini harus menjadi bahan dialog, karena jika Anda memiliki anggapan buruk kepada seseorang, maka Anda tidak akan mendengarkan serius yang disampaikannya. Isu apapun,meski benar sekalipun, tak akan menjadi dialog, alih-alih menjadi bahan provokasi lanjutan untuk kebencian.

Hal semacam ini sering terjadi jika dikaitkan dengan penampilan orang yang memberi pesan, seperti cara berpakaian dan caranya berbicara. Kita yang besar dalam tradisi punk, nampaknya perlu untuk berkontribusi dalam melawan prasangka ini. Kita belajar bersama tentang pentingnya untuk tidak menilai orang dari penampilan, ras, agama, atau identitas-identitas pembeda lainnya.

Upaya ini akan menjadi pintu bagi isu yang kita hadirkan, karena sebelum berangkat pada isi, seseorang akan tertahan pada bungkusnya. Sangatlah fatal jika pada bungkusnya kita memiliki prasangka-prasangka buruk yang lahir dari provokasi sosial di luar sana. Kita perlu kembali menekankan pentingnya mendengar isi pesan yang disampaikan dan bukan siapa pemberi pesannya.

Baca juga:  Ganja Medis

Kita harus mengerti sudut pandang dari si pemberi pesan dan alasan dia menyampaikannya. Inilah esensi dari awal dialog.

Tour yang kami beri tajuk Bless the Punk ini merupakan salah satu upaya kami dalam mengampanyekan isu-isu tadi. Kami mulai pada Maret 2017 dan beriringan dengan rangkaian promosi album terbaru kami, Stay True.

Pada rangkaian perjalanan ini, kami sangat berharap dapat bersilaturahmi dengan banyak kawan di luar Bandung, bersenang-senang dengan musik, berdialog tentang hal-hal di sekeliling kita. Bisa berdialog tentang solidaritas, tentang kesadaran sosial, dan tentunya, tentang punk.

Bless your punk comrades!

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.