Tri Irwanda & Indra Simorangkir
Media & Data RC (3/6)- Kebijakan pelarangan minuman beralkohol perlu memperhitungkan sejumlah efek yang ditimbulkan, di antaranya munculnya pasar gelap alkohol. Melalui pasar gelap, peredaran minuman beralkohol menjadi sangat berbahaya. Mereka yang mengonsumsi minuman beralkohol dari pasar gelap berisiko meregang nyawa karena tidak jelas standar produk yang dikonsumsinya. Demikian terungkap dalam diskusi media bertajuk “Perda Miras: Melindungi atau Menyodorkan Oplosan ke Tengah Masyarakat?” yang digelar Rumah Cemara bekerja sama dengan Kabarkampus.com, di Bandung, Jumat (3/6).
Iqbal Dawam Wibisono dari Center for Economics and Development Studies (CEDS) yang menjadi narasumber diskusi ini mengatakan pembuatan sebuah kebijakan pelarangan mengonsumsi minuman beralkohol pasti bertujuan baik yaitu untuk meningkatkan standar kesehatan masyarakat dan menurunkan tingkat kriminalitas. Namun di sisi lain, menurut Iqbal, pelarangan ini bisa berakibat sebaliknya, yaitu semakin besarnya pasar gelap yang akan meningkatkan suplai minuman oplosan.
“Amerika Serikat pernah menerapkan kebijakan pelarangan minuman beralkohol pada tahun 1920 sampai tahun 1933. Pada awal kebijakan diberlakukan, terjadi penurunan jumlah konsumsi minuman beralkohol sekitar 30 persen dari sebelum pelarangan. Namun, di tahun-tahun berikutnya konsumsi alkohol malah meningkat sebesar 60 sampai 70 persen dari tingkat konsumsi sebelum pelarangan. Dan kematian akibat alkohol justru lebih tinggi dari sebelum pelarangan,” ujarnya.
Mengutip penelitian yang dilakukan oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Iqbal menuturkan sejumlah faktor dapat menjadi penyebab maraknya alkohol oplosan. Pertama, apabila permintaan terhadap minuman beralkohol yang legal sulit bahkan tidak bisa dipenuhi maka permintaan itu tidak hilang melainkan cenderung berpindah kepada alkohol yang ilegal (oplosan). Kedua, alkohol oplosan dikonsumsi karena aksesnya mudah dan harganya yang murah. Ketiga, apabila harga minuman beralkohol tinggi akibat pajak dan beban biaya lainnya maka masyarakat berpendapatan rendah cenderung memilih minuman alkohol yang memiliki harga murah. Keempat, razia oleh kepolisian tidak akan berhasil menghilangkan konsumsi alkohol oplosan untuk jangka waktu panjang. Pelarangan yang lebih besar seperti melalui RUU Larangan Minuman Beralkohol juga tidak akan efektif dan justru meningkatkan konsumsi yang lebih besar.
Iqbal juga mengungkapkan adanya korelasi antara pelaranggan alkohol di suatu daerah dengan munculnya masalah kesehatan akibat miras oplosan. Di Pulau Jawa misalnya, sejak 2013 sebagian besar kasus tewas maupun keracunan alkohol oplosan justru terjadi di 11 kabupaten/ kota yang memiliki perda pelarangan alkohol total, yang jumlahnya mencapai 331 korban. Sedangkan di 7 kabupaten/ kota yang tidak memiliki perda pelarangan alkohol jumlah korbannya jauh lebih kecil yaitu 106 orang.
Pembicara lainnya, Ginan Koesmayadi dari Rumah Cemara mengutarakan pentingnya pendidikan bagi para pengonsumsi alkohol agar dapat memahami cara mengurangi dampak buruk dari penggunaan NAPZA. Dalam hal ini, perlu dipikirkan agar mereka yang meminum alkohol ini dapat menjadi konsumen yang bijak dan cerdas.
Ginan menambahkan, Rumah Cemara ingin mulai mengkaji agar para konsumen NAPZA ini bisa menjadi konsumen yang cerdas, paham dampak baik dan buruknya, serta paham bagaimana semua ini diatur oleh pemerintah.
“Namun mengorganisir para konsumen alkohol itu tidak akan mudah karena seringkali mereka tidak sadar memiliki masalah dengan tarif yang dikenakan. Padahal saya yakin, uang mereka bisa jadi akan bermasalah. Sebuah minuman bermerk tertentu di tingkat distributor harganya sekitar 300 ribu rupiah, tetapi di sebuah bar dijualnya bisa berlipat ganda. Saya rasa ada yang diperlakukan tidak adil dalam pengonsumsian alkohol ini,”tandasnya.
Dalam diskusi yang dihadiri 8 jurnalis di Bandung ini, Patri Handoyo dari Rumah Cemara melihat fenoemena miras oplosan dari sisi lainnya. Menurut Patri, isu minuman keras kerapkali menjadi komoditas bagi para politikus untuk meraih dukungan dalam kampanye. Ini terjadi mulai 1998 setelah era reformasi dengan mulai bermunculannya perda-perda anti minuman keras.
“Secara politik, perda ini menguntungkan para politikus. Membuat perda ini kan dibayari oleh negara,tetapi yang didapatkan oleh para pembuat perda ini adalah konstituen-konstituen partai politik. Dengan kata lain, pembuatan perda anti miras yang dibiayai APBN seperti ini merupakan cara murah dalam merawat konstituen partai politik,” ujarnya. ***