close
FeaturedLayanan

Mengenal Kokain, Narkoba Pilihan Cucu Konglomerat yang Tertangkap di Toilet Restoran

7b8d4443ffbb749e9e65f8e0a1dd23a228bf4527
Ilustrasi ponsel yang dijadikan alas menggerus dan menakar kokaina (Foto: Kaboompics.com)

Akhirnya Richard membuka pintu dan keluar.

Lama menunggu toilet selesai digunakan, ditambah suara-suara yang terdengar dari balik pintu, membuat Herry Heryawan curiga. Ketika masuk, ia mendapati ponsel lelaki yang baru keluar tadi. Bubuk putih yang diduga narkoba menempel di layarnya. Herry, polisi berpangkat komisaris besar, langsung mengamankan ponsel Richard dan segera menginterogasinya.

Richard Muljadi (30) adalah cucu seorang konglomerat Indonesia. Dini hari itu (22/8), tim Polda Metro Jaya yang diminta Herry datang ke mal di kawasan SCBD, Jakarta, menangkap Richard. Ponsel dan gulungan uang yang menyisakan serbuk narkoba seberat 0,038 gram dijadikan barang bukti dugaan tindak pidana narkotika. Uji urine Richard meyatakan positif mengandung kokaina atau kokain.

Kokaina adalah narkoba berbentuk bubuk putih. Rasanya pahit.

Agar lebih mudah diserap pembuluh darah di hidung, kokaina digerus halus, biasanya menggunakan kartu plastik (uang elektronik atau kartu telepon), di atas permukaan datar yang licin. Richard menggunakan layar ponselnya sebagai alas menggerus dan menakar kokaina menjadi beberapa baris sebelum menghirupnya (snort atau sniff).

Dengan rumus kimia C17H21NO4, kokaina hidroklorida mudah larut dalam air. Maka selain dihirup lewat hidung, konsumsi kokaina lazim dilakukan secara intravena, yakni menyuntikkannya ke pembuluh darah.

Konsumsi kokaina dengan alat suntik secara bergiliran pernah menjadi cara penularan HIV terbanyak kedua di Argentina dan Brasil pada 1991 (Libonatti, et al, 1993). Kondisi serupa terjadi di Indonesia pada 2005 dan 2006. Saat itu, setengah lebih dari seluruh temuan kasus HIV-AIDS nasional berasal dari konsumen heroin suntik (Kemkes RI, 2011).

Kokaina bukanlah narkoba populer di Indonesia walaupun Pulau Jawa pernah jadi salah satu pemasok utama koka dunia pada 1904-1935 (Gootenberg, 2001). BNN memperkirakan jumlah konsumennya 73.661 pada 2014 dengan rata-rata konsumsi 8 gram per orang per tahun. Namun pada survei 2017, bersama heroin, kokaina tidak tercantum dalam 20 jenis narkoba yang paling banyak dikonsumsi di Indonesia.

Baca juga:  Menagih Bukti Ilmiah atas Penolakan Ganja Medis di Indonesia

Harga satu gram kokaina di Indonesia berkisar 1,4 hingga 3 juta rupiah. Sementara harga satu gram sabu-sabu berkisar 1,3 hingga 2,9 juta rupiah. Perkiraan jumlah konsumen sabu sebanyak 760.783 penduduk pada 2014 dengan rata-rata konsumsi 192,55 gram per orang per tahun.

Budaya populer di abad modern menempatkan kokaina sebagai narkoba dengan citra glamor yang diasosiasikan dengan orang-orang kaya, terkenal, dan berpengaruh. Dari segi harga, penempatan tadi nampaknya kurang sesuai untuk konteks Indonesia. Karena pasokannya yang sangat terbatas, maka hanya kalangan tertentu seperti Richard-lah yang memiliki akses untuk memperoleh kokaina di dalam negeri.

Kokaina dihasilkan dari pohon koka (Erythroxylon coca). Penduduk di Pegunungan Andes, Amerika Selatan, telah ribuan tahun mengunyah daun koka supaya tetap dapat bekerja di dataran tinggi minim oksigen. Atas alasan itulah pada 2009, Presiden Bolivia, Evo Morales mengajukan proposal ke PBB untuk menghapus tanaman koka dari Konvensi Tunggal PBB tentang Obat-obatan Narkotika 1961.

Proposal Morales ditolak 18 negara termasuk Amerika Serikat (AS), Jerman, dan Belanda pada 2011. Bolivia pun keluar dari kesepakatan soal narkotika yang ditandatangani negara-negara anggota PBB pada 1961.

Bolivia kembali bergabung ke PBB setelah “mengunyah koka” ditetapkan dalam ranah kebudayaan yang diurus UNESCO pada 2013.

Para ilmuwan telah berhasil mengekstrak alkaloid kokaina dari daun koka sebelum 1860. Hingga awal abad 20, kokaina tidak hanya terkandung dalam berbagai jenis obat yang dipasarkan di Barat, tapi juga penyubur rambut dan pemutih gigi. Selain itu, kokaina juga pernah jadi bahan baku produk pangan termasuk Coca-Cola.

Pada 1885, perusahaan farmasi AS, Parke-Davis memasarkan berbagai bentuk produk kokaina termasuk rokok, serbuk, hingga cairan lengkap dengan alat suntiknya agar bisa langsung dikonsumsi secara intravena. Mereka mempromosikannya sebagai pereda nyeri, penahan lapar, dan membuat pengecut jadi pemberani.

Baca juga:  Deklarasi Politik atas Kegagalan Perang terhadap Narkoba

Saat kokaina dihirup atau disuntikkan, konsumen akan merasakan efek kebas. Durasinya bertahan 15-30 menit. Atas khasiat ini, sampai sekarang kokaina masih dimanfaatkan sebagai obat bius lokal khususnya untuk bedah mata, hidung, tenggorokan.

Khasiat yang diharapkan dari konsumsi kokaina adalah meningkatnya stamina dan energi, ‘membunuh’ kantuk, meredakan letih, membuat konsumen merasa riang, euforia, dan percaya diri.

Maka di awal abad ke-20, kokaina dijual toko-toko obat di Memphis, Tennessee, AS seharga 5-10 sen. Buruh-buruh angkut pelabuhan di sepanjang Sungai Mississippi memanfaatkan obat ini sebagai stimulan, dan para majikan menganjurkan buruh-buruh mereka untuk mengonsumsinya (Barlow, 1989).

Di pertengahan 1940-an, saat Perang Dunia II berkecamuk, kokaina dipertimbangkan untuk menjadi bahan baku “pep pills” generasi mendatang yang mampu membuat tentara Jerman kuat terjaga, waspada, dan penuh energi. Saat itu bahan dasarnya adalah amfetamina.

Secara penampilan, konsumen kokaina tampak lebih bertenaga, aktif bicara, gelisah, dan sering menggeretakkan gigi. Mereka juga tampak lebih percaya diri dan waspada. Efek yang umum secara fisik termasuk mulut kering, berkeringat, dan kurang nafsu makan serta tidur. Detak jantung juga makin cepat.

Konsumsi rutin atau kronis bisa mengarah ke perilaku kompulsif, kecemasan ekstrem, mudah marah, paranoia, bahkan halusinasi. Efek-efek ini biasanya lenyap saat kokaina tidak lagi berada dalam metabolisme tubuh. Dampak setelah konsumsi rutin dan terus-menerus termasuk kehilangan berat badan, depresi, dan kelelahan (Drug Policy Alliance, 2003).

Toleransi tubuh terhadap kokaina cepat terjadi pada orang-orang yang rutin mengonsumsinya. Artinya, kokaina yang mereka butuhkan semakin banyak supaya bisa merasakan khasiat yang sama seperti pada konsumsi awal. Ditambah fakta bahwa efeknya di tubuh hanya berlangsung singkat, kerap konsumsi kokaina dilakukan berulang-ulang demi mendapatkan khasiat seperti yang dirasakan saat awal konsumsinya.

Baca juga:  Kami Juga Manusia: Cerita Pengidap HIV yang Didiskriminasi

Strok, kejang-kejang, dan serangan jantung, walaupun jarang, pernah dilaporkan terjadi. Mereka dengan kondisi jantung tertentu adalah yang paling berisiko.

Konsumsi kokaina kronis dan berlebihan dapat mengakibatkan kehilangan berat badan, masalah seksual, gangguan berpikir, perubahan suasana hati ekstrem, paranoia, sikap permusuhan, dan psikosis. Banyak konsumen kokaina kronis mengalami penurunan kemampuan fisik yang membuat mereka rentan terhadap penyakit dan depresi.

Walaupun risiko kesehatan menghirup lebih sedikit daripada menyuntik kokaina, tapi jika terus-menerus dilakukan bisa saja merusak jaringan organ di hidung.

Selain berisiko terhadap kesehatan, konsumsi kokaina di Indonesia berisiko pemidanaan. Kokaina adalah narkotika golongan satu bukan tanaman. Kepemilikannya di bawah lima gram diancam hukuman penjara 4-12 tahun dan denda 800 juta hingga 8 miliar rupiah sesuai Pasal 112 UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Selain pengenaan hukum pidana, sejumlah mitos kerap diembuskan demi menyukseskan pelarangan konsumsi kokaina. Yang cukup terkenal adalah pernyataan, seseorang akan ketagihan atau kecanduan kokaina hanya dengan sekali konsumsi. Berbagai survei secara konsisten menunjukkan, tidak sampai satu dari empat orang yang pernah mencoba narkoba ini mengonsumsinya lebih dari sekali (Szalavitz, 1999).

Potensi ketagihan kokaina lebih rendah daripada alkohol. Bila potensi ketagihan alkohol nilainya enam, maka potensi ketagihan pada konsumsi kokaina nilainya tiga. Potensi memabukkan dan merugikan secara personal maupun sosial pada alkohol juga lebih tinggi, bernilai enam, dibandingkan dengan kokaina yang bernilai empat (Henningfield, 1994).

Sudah diuraikan, konsumsi kokaina berlebihan dan terus-menerus memiliki dampak merugikan bagi tubuh. Tapi kalau konsumennya ditangkap hanya karena membuat seorang perwira polisi harus berlama-lama mengantre toilet, maka bisa dibayangkan betapa penuh sesaknya penjara-penjara di negeri ini!

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.