Media & Data RC (16/6) – Pemerintah dan DPR RI harus memiliki kedaulatan penuh dalam menyusun revisi Undang-Undang Narkotika. Penyusunan revisi Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang sudah masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini jangan sampai didikte oleh berbagai kebijakan global.
Direktur Eksekutif Yayasan Sativa Nusantara, Inang Winarso mengatakan, Indonesia sudah berpengalaman melahirkan UU tentang narkotika yang didikte oleh kebijakan global yaitu konvensi PBB. “Seluruh UU itu tidak mampu menyelesaikan persoalan narkotika di Indonesia. Landasan filosofis, ideologis, dan sosiologisnya jelas berbeda. Padahal aturan menyusun UU harus berpijak pada ketiga landasan itu,” ujarnya usai menjadi pembicara dalam diskusi “Menyusun UU Narkotika yang Berdaulat” di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta, Rabu (16/6).
Menurut Inang, pelaksanaan berbagai aturan terkait narkotika di Indonesia, mulai dari UU RI No. 9 Tahun 1976, UU RI No. 5 Tahun 1997, UU RI No. 22 Tahun 1997, dan UU RI No. 35 Tahun 2009, dikendalikan oleh tiga konvensi PBB yang dipaksakan di Indonesia, yaitu Konvensi PBB tahun 1961, 1971, dan 1988. Inang mencontohkan, pelarangan ganja di Indonesia jelas merupakan manifestasi dikte dari Konvensi PBB tentang Narkotika tahun 1961.
“Ganja selama ratusan tahun itu sudah digunakan pada sejumlah masyarakat di Indonesia. Dia bermanfaat untuk menghalau hama, penyedap masakan, atau dijadikan obat berupa minyak oles. Tapi tiba-tiba oleh konvensi PBB tahun 1961, itu dilarang. Padahal kita tidak memiliki alasan untuk menjelaskan kenapa itu dilarang,” tandasnya.
Seperti diketahui, dari sejarahnya, sejak pemerintahan Orde Baru, Indonesia sudah tiga kali mengganti dan mengubah hukum nasional mengenai narkotika. Yang pertama, mencabut hukum kolonial Verdoovende Middelen Ordonnantie (Stbl. 1927 No. 278 Jo. No. 536) dan menetapkan UU RI No. 9 Tahun 1976 setelah mengesahkan Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika 1961. Pemidanaan dimulai. Ancaman penjara hingga hukuman mati diberlakukan bagi pelanggar UU Narkotika.
Kedua, setelah pengesahan Konvensi PBB tentang Psikotropika 1971 dan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988, Indonesia memberlakukan UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan mengesahkan perubahan UU Narkotika menjadi UU RI No. 22 Tahun 1997. Perubahan dilakukan untuk menyelaraskan dimensi kejahatan internasional dalam Konvensi PBB Melawan Perdagangan Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988.
Ketiga, menggabungkan UU Psikotropika ke dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Selain penggabungan itu, perubahan UU Narkotika dilakukan untuk mengakomodasi kelembagaan Badan Narkotika Nasional (BNN), sebuah “lembaga negara yang kompeten” dalam pemberantasan kejahatan narkotika sesuai ketentuan Konvensi PBB 1988. Pemberatan hukuman juga dilakukan dalam UU yang mengalami perubahan tersebut.
Perubahan-perubahan tersebut tak bisa dilepaskan dari kendali PBB yang mendesakkan Konvensi 1961, 1971, dan 1988 untuk diadopsi negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia. Penghukuman dan larangan menjadi semangat UU Narkotika yang didiktekan agar selaras dengan konvensi-konvensi tersebut.
Diskusi ini digelar oleh kelompok Diskusi Indonesia Cerdas NAPZA (dICerNA) di mana Rumah Cemara tergabung di dalamnya. Acara ini juga menghadirkan pembicara lain yaitu Rofi Uddarojat, peneliti dari Centre for Indonesian Policy Studies (CIPS) dan Patri Handoyo dari dICerNA.
Sejumlah persoalan dalam isu narkotika di Indonesia juga menjadi pembahasan, di antaranya mengenai anggaran pemerintah yang mubazir, praktik penyuapan aparat, ketidakefektivan hukuman mati dalam menimbulkan efek jera, membeludaknya penghuni penjara, serta meningkatnya jumlah konsumen dan peredaran narkotika di Indonesia.