close
1524320003_dff08f6d8b4a6264dbb1fb571e58dbc7040f0bda
Anggota kepolisan memeriksa ruang bawah tanah di rumah produksi minuman keras (miras) oplosan di Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Kamis (19/4). Antara Foto / Raisan Al Farisi

Setelah diburu selama sepekan akhirnya bos miras oplosan Cicalengka, Kabupaten Bandung, berhasil ditangkap.

Oleh Huyogo SimbolonBonardo Maulana Wahono

Dimuat di Beritagar.id – Minggu, 22 April 2018

 

Rumah dua lantai di Jalan Raya Garut-Bandung itu terbilang mewah bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan di sekitarnya.

Atapnya menanggung panel surya untuk fasilitas pemanas air. Di bagian lain atap yang sama, menumpang antena parabola. Sebuah taman mini berhiaskan sangkar burung dan rupa-rupa tanaman melengkapi halaman belakang rumah. Pula dua kolam renang.

Beberapa titik eksterior griya di Kampung Bojongasih, Desa Cicalengka Wetan, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung itu menampakkan cat yang masih cukup mengkilat.

“Di rumah ini, yang punya tinggal sama keluarganya. Kalau sore biasanya ada mobil kol bak keluar masuk rumah,” ujar Rian (28), warga setempat, pada Rabu (18/4/2018) saat berkomentar mengenai rumah yang dibangun setahun lalu tersebut.

Pria yang sehari-hari bekerja di bengkel motor itu menduga mobil dimaksud digunakan untuk membawa minuman keras (miras) oplosan ke beberapa agen penjual. Kata Rian, sang pemilik rumah–kolektor beberapa mobil luks–punya sejumlah warung untuk memasarkan produk haram itu.

Salah satu warung berlabel “L Pudan”, dan berjarak sekitar 500 meter dari rumah yang sedang dibicarakan. Lokasi itu sudah disegel Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

Khalayak luas menyorot rumah tersebut setelah kepolisian menyerbunya pada Rabu (11/4/2018). Bangunan itu dicurigai sebagai ‘pabrik’ miras oplosan berjenis ginseng. Pada awal April, ginseng ditengarai mengandung bahan berbahaya. Puluhan penenggaknya tewas di beberapa daerah di Jawa Barat.

Sang pemilik rumah, berinisial HM, sudah berstatus tersangka. Polisi juga menahan JS, yang berperan menjual miras di “L Pudan”.

Dalam penggeledahan, para penegak hukum menemukan bungker. Letaknya tersembunyi di bawah gazebo, dekat kolam renang. Untuk mengakses bungker tersebut, gazebo dimaksud harus digeser ke arah kolam.

“Setiap orang datang ke rumah pasti tidak sadar di bawah gazebo ada bungker,” kata Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat, Inspektur Jenderal Agung Budi Maryoto, Kamis (12/4/2018).

Agung menjelaskan, bungker itu memiliki panjang 18 meter, lebar 4 meter dan tinggi 3,2 meter. Ia terdiri atas dua bagian. Satu ruangan dikhususkan untuk meracik miras, dan bagian lain berfungsi untuk menyimpan bahan baku serta produk akhir.

“Dalam bungker itu terdapat pula exhaust fan yang digunakan pelaku untuk membuang uap alkohol. Sekilas tampak cerobong asap biasa. Padahal exhaust fan itu untuk menghindari pelaku dari uap alkohol yang berbahaya,” kata Agung.

Saat memeriksa rumah HM, penyidik dari Kepolisian Resor Bandung dan Direktorat Narkoba Polda Jawa Barat menemukan miras oplosan siap edar sebanyak 242 dus. Total isi dus, 5.376 botol kemasan berkapasitas 600 mililiter.

Selain itu, ditemukan pula bahan dasar air mineral sebanyak 115 dus, pewarna makanan 39 dus, alkohol dalam 23 jeriken berukuran 25 liter, serta minuman energi serbuk sebanyak 66 dus.

“Harga per dusnya dijual Rp270.000 dengan biaya produksi per dus hanya sekitar Rp40.000,” ujar Agung seraya mengatakan bahwa produksi harian miras oplosan mencapai 10 dus atau 240 botol. Jika dikalkulasi, laba bersih per hari dapat menyentuh Rp2,3 juta.

Baca juga:  Farmakologi 101 Zat Memabukkan Populer

Berdasar penyelidikan, ujar Agung, JS dan HM mengedarkan miras oplosan hingga ke Cicalengka dan Kota Bandung.

Kejadian Luar Biasa

Kasus miras oplosan itu bikin tujuh orang masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Empat otak berperan sebagai peracik: SS (suami HM), A, W, dan Roy. Sementara A, U, dan SN berlaku sebagai agen minuman. Namun, pada Rabu (18/4/2018) polisi akhirnya berhasil membekuk SS.

Polisi menjerat tersangka dengan Pasal 204 KUH Pidana tentang jual-beli barang yang membahayakan nyawa atau kesehatan orang. “Ancaman hukumannya 15 tahun penjara dan akan dikenakan pasal berlapis karena sudah mencelakai banyak orang,” kata Agung.

Merujuk data terbaru, jumlah korban tewas akibat miras oplosan di Jawa Barat hingga kini mencapai 61 orang. Terbanyak ada di Kabupaten Bandung, yakni 44 orang. Sementara, korban meninggal di Kota Bandung sebanyak tujuh orang, Kabupaten Cianjur dua orang, Kabupaten Ciamis satu orang, dan Sukabumi tujuh orang.

“Korbannya ini kan kebanyakan menengah ke bawah, biasanya tiap minggu mengkonsumsi miras oplosan ini. Nah minggu terakhir ini tidak tahu masalah ramuan atau bagaimana tapi kita tetap lakukan penyelidikan,” jelasnya.

Pemerintah Kabupaten Bandung pun menetapkan kasus miras oplosan ini sebagai kejadian luar biasa (KLB) situasional. Status berlaku hingga semua korban dirawat sembuh dan kejadian serupa tak lagi terjadi.

Di lain pihak, Humas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cicalengka melansir bahwa hingga Kamis (12/4), korban meninggal mencapai 34 orang. Mereka diduga mengonsumsi miras mengandung metanol, senyawa kimia yang biasa dipakai sebagai bahan baku spiritus.

Padahal, mulanya korban cuma delapan. Kesemuanya terdiagnosis keracunan alkohol. Mereka lalu dibawa ke RSUD Cicalengka pada Jumat (6/4/2018) malam. Satu di antaranya perempuan berusia 28. Tiga orang meninggal setelah dirawat. Sedangkan, dua lainnya dirujuk ke rumah sakit lain.

Selang dua hari, korban meninggal akibat miras oplosan bertambah menjadi 14 orang.

Direktur Utama RSUD Cicalengka, Yani Sumpena, mengatakan, pasien mengeluh muntah-muntah dan sesak di dada. “Dari tanggal 6 sampai tanggal 9 April 2018 hingga pukul 12.00 WIB, sudah 45 kunjungan pasien dengan keluhan yang sama,” ujarnya Senin (9/4/2018).

Meski demikian, Cicalengka bukan kali ini saja menyaksikan kasus serupa. Kepala Bidang Kemedikan RSUD Cicalengka, Hestining Rahayu, mengatakan peristiwa semacam itu pernah terekam pada 2015.

“Hari raya Lebaran, saat malam takbiran. Sebanyak 12 pasien masuk RSUD, enam meninggal dunia,” kata Hestining, Senin (9/4/2018).

Kisah si Selamat

Para penenggak yang selamat tak serta merta pulih. Andri Rizal (28), misalnya. Ketika ditemui pada Selasa (10/4/2018) siang, wajahnya masih tampak pucat. Tapi, dia masih bisa berjalan sendiri keluar dari RSUD Cicalengka, walau pelan-pelan.

Di tangan kiri Andri menancap jarum infus. Dia menyimpan botol berisi cairan penting yang mengalir lewat jarum itu di dalam jaketnya.

Andri lalu mengarah ke lapak baso tahu. Setelah memesan dan duduk di muka lapak dagangan, dia mengisahkan pengalaman minum miras pada Sabtu (7/4/2018) malam.

Baca juga:  Mabuk saat Lebaran

“Waktu itu beres kerja proyek (bangunan) sama tiga teman. Saya, Deden, Aldi dan Ajay. Kita beli ginseng dan tuak,” ucap Andri.

Mereka memesan dua botol ginseng dan sebotol tuak di sebuah warung di Jalan Bypass. Warga Kampung Panenjoan, Desa Tenjolaya, itu mengaku mengonsumsi ginseng dan oplosannya sekitar pukul 18.00 tidak jauh dari rumah.

“Sudah biasa dari dulu juga gitu. Kalau dicampur jadi lebih slow. Kalau hanya ginsengnya saja terlalu keras (kadar alkoholnya),” katanya sembari mengaku sudah tiga tahun belakangan minum miras jenis ginseng.

Untuk mendapatkan dua jenis minuman itu, Andri dan kawan-kawan cukup mengeluarkan Rp40 ribu. Pasalnya, harga sebotol ginseng Rp15 ribu, dan seliter tuak Rp10 ribu. Padahal, sebelumnya ginseng dihargai Rp20 ribu.

Anehnya, minuman itu terasa berbeda dari yang biasa dia beli. “Kecium bau obat. Biasanya kalau minum langsung enak. Ini mah malah lemes dan pusing,” ujarnya. Lantas, mereka pun tak berniat menambah.

Sehari kemudian, Andri mendengar kabar tiga rekannya menjalani perawatan di RSUD Cicalengka. Andri pun kemudian merasa tak enak badan. Mual, pusing, dan muntah menyerangnya.

“Memang kerasa efeknya bukan saat minum tapi setelah besoknya,” ujar Andri. “Karena dengar ada pengobatan ini saya datang ke rumah sakit, malam jam 9.”

Semua rekan minumnya pada malam celaka itu selamat. ” Niatnya beli (miras) buat ngangetin. Tapi setelah tahu gini saya juga kapok,” katanya.

Nasib buntung menghinggapi tujuh rekan Andri lainnya yang mereguk ginseng sejenis. Maut menyambangi mereka secepat miras oplosan itu ditandaskan.

“Kalau yang meninggal, saya tahunya itu belinya dalam jumlah banyak dan tidak dicampur tuak. Tuak itu ibarat peredamnya. Kalau minum ginsengnya saja cepet naik (mabuk). Mungkin juga dioplos dengan zat lain,” ujarnya.

Pengakuan lain diberikan Sandi Yana (33). Dia paman salah satu korban penenggak ginseng yang juga dirawat di RSUD Cicalengka.

Sandi bilang keponakannya–seorang warga Kampung Cipeutat, Desa Tenjolaya, Kecamatan Cicalengka–mesti opname usai minum-minum bersama dua temannya. Menurutnya, teman minum keponakannya meninggal. “Kejadiannya malam minggu kemarin dia minum-minum sama teman-temannya,” ujar Sandi, Senin (9/4/2018).

Di sela-sela cerita, Sandi pun mengaku pernah menenggak ginseng lima tahun lalu. “Harganya cuma Rp15 ribu,” katanya sambil menambahkan bahwa julukan ginseng lahir karena aromanya mirip koliseng.

“Pertama kali minum rasanya panas, suka bikin haus. Tapi kalau yang sekarang beda, bukan ginseng lagi,” ujarnya.

Iwan dan Supriono adalah korban lain ginseng yang dirawat di RSUD Cicalengka. Keduanya mengeluh sakit sejak Minggu malam (8/4/2018). “Mereka minumnya bertiga. Supriono kemarin malam masuknya. Iwan tadi pagi,” kata kerabat Iwan dan Supriono, Gian Lesmana (36), Senin (9/4/2018).

Supriono merupakan rekan Gian dalam band Serdadu Bambu. Kelompok musik itu biasa manggung di kawasan Cicalengka.

“Saya dapat kabarnya dari anak-anak band. Enggak tiap hari ketemu,” kata Gian.

Menurut Gian, miras oplosan tak hanya makan korban hari-hari ini saja. “Banyak, dari dulu sudah banyak korban. Sudah lama penjualnya berjualan tapi tiap ada razia muncul lagi,” ujarnya.

Baca juga:  Nasib Ibu-Ibu Penggugat UU Narkotika

Kebijakan Minuman Beralkohol

Dalam hemat Patri Handoyo, seorang pendiri Rumah Cemara–komunitas rehabilitasi pengguna narkoba di Bandung–terdapat kaitan antara pelarangan minuman beralkohol dengan kasus keracunan minuman oplosan.

“Kaitan tersebut didasarkan atas kematian-kematian akibat minuman oplosan 10 tahun terakhir justru terjadi di wilayah yang menerapkan peraturan daerah minuman beralkohol,” kata Patri dalam keterangan tertulis, Minggu (15/4/2018).

Hal lain, dia bilang, berkenaan dengan perubahan cukai. Pada 2010, pemerintah menaikkan cukai minuman dengan kadar alkohol di atas 20 persen (golongan C) hingga nyaris tiga kali lipat dari Rp26 ribu per liter menjadi Rp75 ribu per liter.

Pada 2014, tarif cukai minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA) secara moderat naik Rp2.000-Rp9.000 per liter, dengan rata-rata kenaikan sekitar 11,66 persen.

“Di banyak daerah di Indonesia, selain aksesnya yang sangat terbatas, hanya dijual di tempat-tempat berkesan mewah, minuman beralkohol yang terjamin mutunya berharga mahal,” tuturnya.

Patri mengatakan pemerintah seharusnya dapat mengubah kebijakan agar minuman beralkohol yang mutunya terjamin bisa diperoleh warga dengan harga terjangkau. Lokasi penjualannya pun tidak hanya di tempat mewah. Di samping itu, pemerintah seharusnya menerapkan izin ketat bagi toko-toko yang menjual minuman beralkohol, seperti pembatasan usia dan verifikasi terhadap usia konsumen, alih-alih melarang.

Dalam catatan Patri, korban tewas akibat miras oplosan di Jawa Barat pada 2017-2018 mencapai 55. Bahkan, Jawa Barat dilaporkan sebagai provinsi dengan kematian akibat minuman oplosan tertinggi sepanjang periode terpacak. Provinsi berikutnya adalah Jawa Tengah (22) dan DKI Jakarta (13).

Kajian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) di enam kota pada 2016 menunjukkan bahwa pelarangan minuman beralkohol melenyapkan akses terhadap alkohol legal. Kondisi demikian memicu maraknya pasar gelap dan peningkatan tajam korban miras oplosan.

Menurut peneliti CIPS, Sugianto Tandra, pemberantasan miras oplosan sudah mendesak. Namun, upaya pemberantasan bakal berjalan lambat karena terbentur keberadaan pasar gelap: jenis pasar yang sulit dikontrol pemerintah.

“Hasil survei CIPS menunjukkan sebanyak 58.7 persen konsumen menyatakan alasan utama mereka mengonsumsi minuman beralkohol oplosan karena harganya murah dan sangat mudah didapat. Yang harus diberantas adalah minuman beralkohol oplosan dan bukan minuman beralkohol yang resmi. Memberantas minuman beralkohol resmi sama saja memaksa konsumen memilih oplosan yang berbahaya,” ujar Sugianto, Senin (9/4).

Ada tiga kebijakan yang mengatur konsumsi minuman beralkohol di Indonesia. Pertama, menaikkan bea impor minuman beralkohol golongan B dan C menjadi 150% dari nilai barang yang diimpor.

Kebijakan selanjutnya, pembaruan daftar bidang usaha yang tertutup terhadap penanaman modal asing atau terbuka dengan persyaratan tertentu (Daftar Negatif Investasi/DNI). Kebijakan terakhir adalah adanya pelarangan penjualan minuman beralkohol di minimarket. Sejumlah pemerintah daerah juga memberlakukan larangan untuk minuman beralkohol di wilayah yurisdiksinya.

“Pemberlakuan kebijakan seperti ini justru membuat masyarakat beralih ke black market yang mendistribusikan minuman beralkohol oplosan dan ilegal. Selain mengandung zat-zat mematikan, minuman beralkohol oplosan juga dikonsumsi lima kali lebih banyak karena harganya yang murah,” ujarnya.

Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.