close
FeaturedKomunitas

Resmikan Minuman Beralkohol Lokal, Lawan Miras Oplosan!

mouse wine (1)
Ilustrasi: The Fix

Buat sebagian orang, nama “cap tikus” sudah tidak asing. Cap tikus adalah minuman khas Sulawesi Utara, khususnya Minahasa, hasil penyulingan air sadapan pohon aren (Arenga pinnata). Fermentasi air sadapan ini bernama “saguer” atau “tuak” di daerah lain. Kadar alkoholnya bisa mencapai 5 persen. Saguer inilah yang disuling menjadi cap tikus dengan kadar alkohol mencapai 40 persen atau lebih.

Sebelum nama cap tikus beken, minuman beralkohol jenis ini dikenal masyarakat Minahasa dan sekitarnya sebagai “sopi”. Nama ini juga dipakai di Nusa Tenggara Timur.

Senin lalu, 7 Januari 2019, Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan (Pemkab Minsel) meresmikan sebuah jenama atau merek produk minuman ini, yaitu Cap Tikus 1978. Kadar alkoholnya dipatok 45 persen dan dibanderol Rp80 ribu per botol 320 ml.

Konon, jenama ini digagas oleh Bupati Minsel, Christiany Eugenia Paruntu. Hak patennya pun didaftarkan atas nama Pemkab Minsel.

Tetty, begitu panggilan akrab sang bupati, ingin supaya minuman ini bisa bermanfaat bagi masyarakat khususnya kesejahteraan petani aren dan pengrajin cap tikus. “Supaya derajat cap tikus terangkat dan menjadi kebanggaan warga Sulawesi Utara,” ucapnya seperti dikutip sejumlah pemberitaan. Untuk itu, Tetty bersedia mengurus izin dan bekerja sama dengan produsen minuman beralkohol setempat.

Sebelum resmi diluncurkan Senin kemarin, Cap Tikus 1978 sebenarnya sudah bisa dibeli di Bandara Internasional Sam Ratulangi Manado. Tetty bangga kalau minuman ini bisa dipasarkan sampai ke luar negeri.

Saat ini, ada 10 perusahaan produsen minuman beralkohol yang terdaftar dan memiliki izin dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sulut. Untuk memproduksi Cap Tikus 1978, Pemkab Minsel menggandeng salah satu perusahaan yang sudah memiliki izin tersebut. Dengan adanya kerja sama itu, pabriknya dikembangkan di Minsel.

Baca juga:  I-Doser Bukan Narkoba

Yang perlu diingat, cap tikus dan minuman tradisional lainnya berbeda dari miras oplosan. Istilah “oplosan” marak digunakan saat minuman beralkohol resmi sulit didapat akibat penerapan berbagai aturan pemerintah. Cukai yang naik terus serta pembatasan tempat penjualan membuat konsumen mencampur atau mengoplos bahan berbahaya untuk mendapat efek psikoaktif yang kuat pada sebuah minuman. Banyak pula yang mengomersialkannya.

Miras oplosan adalah campuran bahan berbahaya, umumnya metanol (spiritus atau wood alcohol), untuk menghasilkan minuman berharga murah. Karena berbahan racun, minuman oplosan kerap berujung pada kebutaan dan kematian. Oplosan dibuat untuk menyiasati kebutuhan kalangan yang tidak mampu membeli minuman beralkohol bercukai yang di banyak daerah hanya dijual di restoran, bar, atau hotel berbintang.

Pemerintah mengutip cukai tinggi dan membatasi tempat penjualan supaya hanya dikonsumsi kalangan kaya. Tetapi yang terjadi adalah minuman murah diproduksi dan dikonsumsi kalangan tak mampu. Upaya menumpasnya tidak pula efektif, karena teknologi dan resep pembuatan minuman beralkohol dikuasai oleh banyak orang secara turun-temurun. Produksi minuman oplosan bahkan lebih banyak menangguk laba karena bahan baku yang sangat murah dan cara pembuatan yang lebih mudah.

Berbeda dengan oplosan, minuman tradisional seperti sopi atau arak merupakan hasil fermentasi dan/ atau penyulingan produk pertanian. Zat psikoaktifnya etanol yang juga dikenal sebagai drinking alcohol. Sayangnya, produksi minuman tradisional masih banyak yang tidak berizin. Tidak ada pengawasan Badan POM atas bahan baku dan kandungannya. Dikemas ala kadarnya, biasanya dengan botol bekas. Ini mirip dengan minuman oplosan.

Baca juga:  Malik Sfeir, Muslim Arab Saudi yang Aktif Perjuangkan Pengobatan Ganja

Kelak, banyak yang menyangka minuman tradisional yang mengandung etanol sama dengan minuman oplosan yang mengandung metanol.

Karena minum oplosan banyak yang berujung pada kematian, minuman tradisional pun dianggap beracun. Pemberantasan minuman-minuman tak berizin ini semakin keras. Diterapkan tanpa memandang perbedaan kedua jenis minuman itu.

Pemberantasan minuman beralkohol lokal/ tradisional sudah berlangsung sejak zaman penjajahan. Pada 1918, Belanda membentuk Komisi Pemberantasan Alkohol di Nusantara. Sasarannya hanyalah minuman lokal yang populer di kalangan pribumi. Secara tidak resmi, minuman-minuman ini ditumpas karena dianggap sebagai pesaing minuman impor dan arak yang tata niaganya dikuasai pengusaha Belanda.

Bupati Tetty menyadari potensi wilayahnya. Di Minahasa, ribuan warga mengandalkan aren dan produksi cap tikus sebagai penghasilan utama. Tapi karena ada aturan soal distribusinya, minuman ini hanya bisa dijual petani ke pabrik, tidak boleh langsung ke masyarakat. Untuk menjamin keamanan masyarakat, produk konsumsi tubuh memang harus terdaftar sehingga jelas pertanggungjawabannya.

Tempat Peluncuran Cap Tikus 1978 (Foto: Indra Harsaputra)

Selama ini, cap tikus banyak yang dijual petani di warung dan toko atau diselundupkan ke luar wilayah karena produk yang dihasilkan tidak mampu diserap pabrik. Pemkab Minsel melihat potensi bisnis yang bisa sekaligus menerapkan aturan mengenai minuman beralkohol demi perlindungan konsumen.

Potensi ini sebenarnya juga dimiliki wilayah-wilayah yang memiliki minuman khas beralkohol. Sebutlah brem di Bali. Sepengetahuan saya, minuman ini telah lama dijadikan oleh-oleh sebagaimana Cap Tikus 1978 yang baru saja diluncurkan. Anyaman bambu melengkapi kemasan brem yang dijual di toko oleh-oleh Bali untuk menarik perhatian turis.

Baca juga:  Ditawari Ganja di Lisboa

Kalau saja para politisi di Indonesia tidak menjadikan pelarangan minuman beralkohol sebagai alat mendulang popularitas, bukan saja keamanan konsumsi minuman beralkohol masyarakat, tapi juga kesejahteraan para pengrajin minuman-minuman khas ini terjamin.

Memfasilitasi industri minuman beralkohol tradisional lebih bermanfaat ketimbang melarangnya. Konsumsi juga perlu dilindungi dengan penetapan cukai yang pantas bagi seluruh kalangan walaupun aturan soal tempat penjualan dan usia konsumen tetap harus diterapkan. Sehingga, minuman oplosan tidak lagi mendapat tempat di kalangan konsumen hanya karena harganya lebih terjangkau daripada minuman beralkohol resmi.

Kebijakan minuman beralkohol seperti zaman penjajahan sudah seharusnya ditinggalkan. Pelarangan dan pengenaan cukai tinggi yang menggunakan dalih agama disadari atau tidak, hanya melindungi importir dan pabrik minuman beralkohol bermodal besar. Dampak buruknya adalah tergusurnya industri minuman tradisional dan suburnya peredaran minuman beralkohol ilegal serta oplosan.

Fenomena miras oplosan telah mengajarkan kita bahwa kematian akibat keracunan spiritus justru banyak terjadi di tempat-tempat yang memberlakukan peraturan daerah tentang pelarangan, pengawasan, dan pengendalian minuman beralkohol. Maka, demi melawan peredaran dan konsumsi miras oplosan, langkah yang diambil Pemkab Minsel patut diacungi jempol.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.