close
FeaturedKomunitas

Pelindung HWC 2018 dari Negeri Berjarak 15.000 KM

jaka-wasit-hwc
Foto: Jaka ketika menjadi wasit di Homeless World Cup 2018 Mexico

Homeless World Cup (HWC): It’s more than a game! Tagline ajang sepak bola jalanan dunia ini terpampang megah di pusat Mexico City. Pembukaan dan penutupan HWC Mexico 2018 dikemas dengan meriah dari pawai budaya, musik, hingga akrobat pesawat. Semua peserta dari 47 negara ikut berpesta, bersenang-senang, dan bahagia. Sejauh mata memandang, setiap orang dari berbagai belahan dunia berinteraksi, berswafoto, berbagi cerita, dan bertukar cendera mata. Suasana itu disebabkan satu hal: sepak bola!

Sepak bola menjelma sebagai “agama” baru tanpa sekat. Di Brazil ada adagium “hanya ada dua hal, jatuh miskin atau bermain sepak bola”. Tidak heran jika tim Samba selalu menelurkan talenta pemain bola kelas dunia setiap generasinya.

Kolega saya, Rijky Kurniawan yang pernah berkunjung ke sana menceritakan, setiap gang, jalanan, dan lapangan semua dipenuhi orang yang bermain bola.

“Saat saya bermain bola dengan mereka, tidak sengaja bola keluar lapangan dan menghampiri tukang sampah yang sedang membawa karung. Seperti halnya film Shaolin Soccer, dia menjuggling bola seperti pemain profesional,” ujar Rijky.

Di mana ada kehidupan, di situ ada harapan. Sepak bola adalah harapan untuk perubahan di bidang ekonomi, budaya, kesehatan, dan pelbagai bidang lainnya. Kisah-kisah pesepak bola dunia membuktikannya.

Sebut saja Cristiano Ronaldo yang menaruh harapannya pada sepak bola karena kerap diejek teman-temannya sebagai “si miskin”. Bukti kerja kerasnya membuahkan hasil. Kini dia menjadi salah satu pesepak bola terbaik dunia.

Chris Smalling, bek tengah Manchester United, asalnya seorang pelayan restoran. Andrew Robertson bek kiri Liverpool sebelumnya adalah seorang kasir. Sebut juga, Carlos Bacca, Angel Di Maria, dan Diego Costa yang sebelumnya tumbuh besar di jalanan.

Baca juga:  Malik Sfeir, Muslim Arab Saudi yang Aktif Perjuangkan Pengobatan Ganja

Tidak ada satu pun pencapaian yang mudah. Semua dilakukan dengan pengorbanan dan tekad. Di Indonesia kesungguhan tekad akan perubahan yang lebih baik ada pada diri Jaka Arisandy.

Jaka adalah pemain Timnas Indonesia untuk HWC 2015 di Belanda. Kehidupan keluarganya kurang baik. Suasana rumah yang hangat akan cinta dan kasih sayang tidak dia dapati. Semasa bersekolah, kondisi ekonomi keluarganya memprihatinkan. Meski ayahnya bekerja,  tetapi penghasilannya tidak mencukupi karena harus membayar utang yang tak kunjung usai.

Untuk bertahan hidup, Jaka sekeluarga menumpang di rumah saudara. Untuk sekadar makan pun harus meminta. Jika dapat, tidak pernah satu keluarga utuh makan bersama. Biaya pendidikannya tak terbayar hingga harus terhenti. Lingkungan keras sempat membuatnya terbawa arus untuk mabuk-mabukan.

Ajakan seorang teman untuk bergabung di Dalem Kaum Rumah Cemara Futsal Division (DKRC Fusion) menjadi awal mula perubahan itu. Jaka memang hobi bermain bola, tetapi di DKRC Fusion pelajaran sepak bola tidak hanya mengoper, menggiring, dan memasukkan bola ke gawang.

DKRC Fusion mengajarkan apa arti menghormati, mendukung, dan menghargai siapa pun tanpa stigma dan diskriminasi. Suatu ketika Jaka pernah bertanya pada Bogiem, pelatih di DKRC Fusion, “Apakah saya harus menggunakan narkoba agar kedua orang tua saya bersatu dan memperhatikan?”

Bogiem menampik. Narkoba bukan solusi untuk memperbaiki hidup, ujarnya saat itu.

Baca juga:  Kepolisian "Jadikan" Tora Sudiro Brand Ambassador Dumolid

Pada ajang seleksi Timnas Indonesia untuk HWC 2015, Jaka terpilih sekaligus menjadi kapten. Kedua orang tuanya hampir tidak percaya. Ibunya menangis haru dan bangga akan perjuangan yang dilakukan anaknya.

Piala Amsterdam Cup 2015 menjadi bukti usaha Tim Indonesia. Semua bersorak dan bahagia bukan karena piala, tetapi kebanggaan akan adanya perubahan pada diri sendiri yang kemudian dibagikan kepada orang lain ternyata bisa dicapainya. Tidak hanya itu, setahun kemudian Jaka menjalani tes pelatihan wasit HWC. Ia lolos.

Jaka berhak menjadi pengadil lapangan di HWC Glasgow 2016 dan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya di Oslo, Norwegia 2017, dan yang terbaru di Mexico City 2018.

Ada yang membedakan sebagai wasit di Meksiko. Ia harus menempuh jarak sangat jauh dibanding perjalanan sebelumnya. Kurang lebih 15.000 km jarak yang harus ditempuh dari Bandung ke Mexico City. Ia seorang diri karena setiap tahun wasit harus datang duluan untuk persiapan adaptasi dan rapat wasit.

Dari pemain menjadi wasit memang terasa berbeda. Saat jadi pemain, protes kepada wasit kerap terlontar, sedangkan saat menjadi wasit, ia harus menerima setiap protes dan gunjingan saat pertandingan. Sejatinya wasit bukan hanya bertugas sebagai pengadil di lapangan hijau, tetapi juga melindungi setiap pemain.

Jika dalam sepak bola Indonesia suporter kerap mengolok dengan ucapan “wasit goblok!” dan para pemain tidak hormat pada wasit, dalam HWC terasa berbeda. Jaka tidak hanya menjadi pengadil lapangan, tetapi juga pelindung pemain. Setiap keputusannya dihormati walaupun ia mengakui, ujaran “fuck you referee!” masih terdengar.

Baca juga:  Agar Krisis Iklim Tidak Makin Parah dan Masa Depan Tidak Banjir Darah, Segera Deklarasikan Darurat Iklim!

Di HWC Mexico City 2018, untuk pertama kalinya Jaka ditunjuk sebagai wasit di laga final yang mempertemukan Meksiko melawan Chili. Bukan hanya laga prestisius, Jaka pun menjadi wasit termuda di ajang sepak bola jalanan internasional ini.

“Biasanya wasit untuk laga final minimal harus mengikuti 5 kali HWC, tetapi saya baru 3 kali sudah diberi kepercayaan seperti ini. Sempat gugup dan tidak percaya,” ucap pria kelahiran 25 tahun silam ini.

Pertandingan final menjadi momen paling bergengsi bagi setiap klub. Fans klub Jerman Schalke 04 bisa melupakan 93 tahun jatuh bangun klubnya sejak awal berdiri oleh pertandingan final Liga Champions 1997 yang mereka capai. Rakyat Portugal melupakan kekalahan timnya di final Piala Eropa 2004 sebagai tuan rumah saat kembali lolos tampil di final Piala Eropa 2016. Dan pendukung Persib melupakan kekecewaan setiap tahunnya sejak 1994 di final Liga Indonesia 2014.

Luapan kebahagiaan meledak dari semua suporter saat timnya menang di partai final. Memang bukan wasit seperti Jaka yang menang. Tetapi melindungi pemain dari cedera dan menjaga suasana pertandingan adalah tugasnya. Pertandingan final HWC 2018 dimenangkan Meksiko. Satu hal penting diingat, Jaka-lah pelindungi para pemain, yang menang maupun kalah di kejuaraan itu. Ya, dialah warga Indonesia yang menempuh perjalanan 15.000 km jauhnya untuk menjadi pelindung di ajang Piala Dunia Tunawisma 2018.

Rizky RDP

The author Rizky RDP

Sering menulis dengan tangan kiri, tim rusuh di Rumah Cemara, Tramp Backpacker, passion pada sepak bola dan sejarah. sering berkicau di @Rizky91__

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.