Awal tahun ini, pemerintah mengirim rancangan UU Narkotika terbaru ke parlemen untuk segera disahkan. UU tersebut sejak 2016 selalu terdaftar di Program Legislasi Nasional DPR RI untuk direvisi.
Setelah menerima rancangan terakhir, Komisi III DPR RI beberapa kali mengundang sejumlah kelompok masyarakat untuk rapat dengar pendapat. Komisi ini berkepentingan dalam proses revisi tersebut karena salah satu mitra kerja mereka adalah Badan Narkotika Nasional yang sejak 2009 eksistensinya terlegitimasi dalam UU Narkotika.
Tentu terdapat berbagai catatan sebagai hasil rapat dengar pendapat itu. Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika, salah satu kelompok yang pernah diundang juga telah memberikan catatan atas rancangan UU yang proses revisinya masih berlangsung hingga kini. Meski demikian, pemerintah dan parlemen memiliki keterbatasan dalam meminta masukan dari masyarakat melalui undangan rapat. Tapi hal itu harusnya tidak menjadi alasan untuk tidak menghasilkan sebuah produk UU yang bermutu, berkeadilan, serta bermanfaat bagi rakyat Indonesia.
Untuk itu, Kanal Indonesia tanpa Stigma, Aliansi Jurnalis Independen Bandung, dan Asosiasi Antropologi Indonesia menghadirkan dua pakar yang telah lama menggeluti persoalan narkoba beserta kebijakannya untuk menyampaikan kritik sekaligus gagasan mereka akan substansi UU Narkotika. Diharapkan, acara ini mampu memformulasikan sebuah bahan pertimbangan bagi pemerintah dan parlemen, sehingga hasil revisi UU menjadi solusi bukan bagian dari persoalan bagi bangsa dan negara ini.
Kedua perspektif ini diulas bersama dr. Benny Ardjil, SpKJ, mantan Kepala Pusat Terapi dan Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional beserta Inang Winarso, Koordinator Wilayah Jawa-Bali Asosiasi Antropologi Indonesia. Kritik dan gagasan keduanya terhadap UU Narkotika selama ini sampai perlu direvisi dipandu oleh Tri Irwanda, seorang praktisi komunikasi multitalenta.