Informasi mengenai PrEP (pre-exposure prophylaxis atau obat pencegahan sebelum pajanan) sebenarnya sudah saya dengar sejak beberapa tahun lalu dari seorang kolega. Saya tertarik dengan berbagai manfaat yang bisa didapat dari PrEP. Saat itu saya mulai mencari tahu mengenai PrEP, dan beruntung mendapat kesempatan mengikuti acara 1st Symposium on Pre-Exposure Prophylaxis, 21-22 Juni 2019 di Jakarta.
Dalam simposium yang diselenggarakan UNAIDS Indonesia itu, saya mendapat pelajaran dari berbagai diskusi menarik terkait kemajuan PrEP dan kemungkinannya untuk diimplementasikan di Indonesia.
PrEP merupakan salah satu cara melindungi diri dari penularan HIV dengan mengonsumsi tablet setiap hari. Namun PrEP tidak dapat mencegah kita dari infeksi lain selama kita melakukan hubungan seks berisiko, sehingga penggunaan kondom sebagai pelindung masih sangat penting.
Tablet yang terkadung dalam obat pencegahan ini sebenarnya adalah antiretroviral (ARV) untuk pasien HIV supaya virusnya tidak berkembang biak. Kandungan ARV yang digunakan untuk PrEP lazimnya tenofovir dan emtricitabine. Saat HIV masuk ke tubuh, virus ini ‘membutuhkan enzim’ untuk hidup dan berkembang biak dengan cara membelah diri. Kedua zat yang disatukan dalam sebuah tablet ini bekerja menghambat produksi enzim sehingga virus HIV tidak bisa membelah diri.
PrEP dianjurkan bagi mereka yang berisiko tinggi terinfeksi HIV. Pasangan serodiscordant (pasangan yang salah satunya mengidap HIV), orang dengan banyak pasangan seks, orang yang aktif melakukan hubungan seks dengan pemakaian kondom tidak teratur adalah kelompok yang berisiko tertular HIV.
Sebelum mendapatkan PrEP, seseorang harus mengikuti konseling, tes HIV, tes IMS, dan tes hepatitis. Jika memenuhi syarat, dia dapat memulai PrEP. Tes HIV yang diikuti sebelum pemberian PrEP, diulang setelah satu bulan. Selanjutnya, pada bulan ketiga dan seterusnya dilakukan pertiga bulan. Karena PrEP ini dapat memengaruhi fungsi ginjal, maka perlu dilakukan tes fungsi ginjal pada bulan pertama, bulan keenam, bulan kedua belas, dan selanjutnya dapat diulang setiap dua belas bulan. Konseling pun harus dilakukan secara berkala.
Yang harus kita ketahui adalah PrEP bukanlah pengobatan HIV. PrEP dapat dihentikan kapan saja. Penilaian dilakukan setiap tiga bulan. Jika risiko penularan HIV turun, maka PrEP dapat dihentikan. Namun obat yang dikonsumsi melalui PrEP akan bekerja sangat baik jika diminum rutin setiap hari pada waktu yang sama. Jika tidak teratur, perlindungan dari HIV bisa jadi tidak seperti yang diharapkan.
Untuk laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) harus mengonsumsi PrEP selama tujuh hari, sedangkan untuk perempuan perlu mengkonsumsi selama dua puluh hari sebelum melakukan hubungan seks agar dapat terlindungi. Panduan lengkap mengenai PrEP akan diterbitkan oleh WHO pada Juli 2019.
Berbagai riset menyatakan efektivitas PrEP terbukti baik pada LSL. Negara seperti Thailand dan Fillipina sudah mengimplementasikan PrEP pada kelompok LSL dan transgender. Kedua negara itu telah menyediakan layanan khusus untuk kedua kelompok itu. Di kedua negara tersebut, layanan kesehatan dan konseling juga telah berkomitmen memberikan standar layanan kesehatan yang tinggi, terjangkau dan dapat diakses oleh komunitas.
Di Thailand layanan PrEP dapat diakses di Tangerine Clinic, Thai Red Cross AIDS Research Center, sedangkan di Flillipina layanan PrEP ada di LoveYourself Inc. Keduanya merupakan layanan yang ramah pada transgender dan LSL. Mereka juga memiliki staf yang semuanya sudah mendapat pelatihan kepekaan terhadap gender. Layanan di sana dibagi menjadi 3 komponen, yaitu hormone services, sexual health services dan well-being services. Pelayanan dan perawatan dilakukan pada hari yang sama (test-positive-treatment), sehingga mudah dan nyaman bagi LSL dan transgender.
Menurut Krittima Samitpol dari Tangerine Clinic, tantangan dalam pelaksanaan PrEP adalah tidak adanya layanan pendidikan tentang PrEP, media kampanye yang tidak peka pada LSL dan transgender, stigma dan diskriminasi di layanan kesehatan, serta layanan yang tidak peka terhadap kondisi gender. Dengan adanya Tangerine Clinic, diharapkan kelompok transgender bisa dengan nyaman memenuhi kebutuhan kesehatannya, terutama untuk PrEP.
Sementara itu di Fillipina, pemerintah belum menyediakan layanan PrEP dan hanya ada di LoveYourself Inc. Meski demikian, menurut Danvic Rosadino, manajer LoveYourself Inc., kemitraan pemerintah dan swasta sangat diperlukan agar program dapat berjalan baik. LoveYourself Inc. awalnya melakukan konsultasi dengan komunitas, kemudian mencari data dan melakukan penelitan tentang PrEP dan hasilnya dipresentasikan pada pihak-pihak yang bisa membantu, termasuk pemerintah.
Selanjutnya, pemerintah memberikan bantuan teknis agar dapat terhubung dengan badan PBB, World Health Organzation (WHO) dan Global Fund, sehingga akhirnya LoveYourself Inc. dapat menyediakan layanan PrEP. Praktik ini mungkin dapat diadaptasi dan jadikan contoh agar PrEP dapat dilakukan di Indonesia.
Indonesia pun sebenarnya sudah cukup banyak melakukan penelitian untuk membuktikan penggunaan PrEP sebagai salah satu cara melindungi diri dari risiko penularan HIV dan untuk menurunkan angka infeksi HIV baru. Beberapa di antaranya dilakukan oleh Universitas Udayana, Univeritas Atma Jaya, dan Linkages. Hasilnya menunjukkan penggunaan PrEP berhasil menurunkan angka infeksi baru pada komunitas LSL pada kurun waktu penelitian tersebut dilakukan.
Kita tinggal menunggu kebijakan pemerintah untuk dapat mengimplementasikan PrEP di Indonesia. Memang bukan hal mudah untuk meyakinkan pemerintah mengenai efektivitas PrEP ini. Mari kita berikan waktu pada pemerintah untuk berpikir, but we (community) have to lead. Bagaimanapun, komunitas pegiat HIV terbukti memegang peranan penting dalam keberhasilan program HIV.
Saya berharap PrEP dapat segera diimplementasikan di Indonesia seperti di beberapa negara lain yang telah menjadikan PrEP sebagai program nasional dan terbukti berhasil menurunkan angka penularan HIV-AIDS. Saya juga berharap akan banyak layanan kesehatan yang ramah komunitas seperti di Thailand dan Fillipina, sehingga komunitas bisa nyaman mengakses layanan kesehatan tanpa khawatir adanya stigma dan diskriminasi.
Harapan ini bukan hanya untuk layanan PrEP, tapi juga untuk layanan HIV lainnya termasuk perawatan, dukungan, dan pengobatan, sehingga kepatuhan minum obat ARV dapat dipertahankan dan angka tidak tertindaklanjuti alias pengobatannya tidak berlanjut, dapat kita turunkan. *******
Penulis: Innu Kania Pahlesa – Tim HIV-AIDS RSUD Syamsudin, Sukabumi, Jawa Barat
Editor: Tri Irwanda