Saat dr. Li Wenliang memperingatkan koleganya, sesama dokter, untuk berhati-hati menangani pasien yang terkena virus korona, ia dituding membuat komentar palsu oleh pemerintah Tiongkok. Bahkan, polisi Wuhan memintanya berhenti menyebarkan desas-desus tentang penyakit itu pada akhir Desember lalu.
Ia, dr. Li Wenliang, dikenal sebagai orang yang pertama kali memberi peringatan dini tentang adanya virus korona jenis baru. Virus ini kemudian dinamakan severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Kini semua orang mengenal penyakitnya dengan nama corona virus disease disingkat covid. Karena ditemukan menyebar di akhir 2019, maka nama penyakitnya disebut “covid-19”. Saya dan juga Anda, sekarang makin akrab dengan nama virus dan penyakit ini.
Takdir berkata lain. Li Wenliang meninggal dunia 7 Februari lalu akibat infeksi virus yang membuatnya pernah ditekan pemerintah Tiongkok itu. Banyak kalangan mengingat jasanya karena telah memperingatkan sejak awal tentang kemunculan jenis virus baru yang belum dikenal itu.
Adakah dari kita yang yang tidak membahas wabah covid-19 hari ini? Penyebarannya yang luar biasa membuat organisasi kesehatan dunia (WHO) mengumumkannya sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Ya, covid-19 telah mewabah secara global, melampaui batas negara dan benua.
Saat tulisan ini dibuat (23 Maret), covid-19 telah menginfeksi 342.047 orang di dunia dengan kematian mencapai 14.753. Temuan kasus covid-19 di Indonesia juga terus bertambah setiap harinya. Setidaknya 579 orang dinyatakan positif terinfeksi dan telah merenggut 49 nyawa warga Indonesia.
Sekilas, angka kasus covid-19 di Indonesia tampaknya belum seberapa dibandingkan beberapa negara lain seperti di Eropa yang mencapai ribuan. Namun, jika kita ingat betapa peningkatan kasusnya begitu cepat, ada perasaan kuatir yang cukup beralasan.
Sejak diumumkan adanya dua kasus covid-19 pertama kali oleh Presiden Jokowi awal Maret lalu, lonjakan kasusnya luar biasa. Bahkan, melihat tingkat kematiannya yang hampir mencapai 8,5 persen, tentu membuat kita was-was. Indonesia menjadi negara dengan tingkat kematian tertinggi akibat covid-19 di ASEAN.
Wabah ini nyata. Pemerintah tidak lagi bisa menganggap enteng covid-19. Berbagai sumber daya dikerahkan. Mulai dari sekadar himbauan untuk menjaga kesehatan hingga menetapkan status tanggap darurat bencana nonalam. Penyemprotan disinfektan dilakukan di sejumlah ruang publik hingga pembelian besar-besaran obat yang diyakini bisa mengatasi covid-19.
Ketimbang memilih opsi lockdown seperti sejumlah negara, pemerintah kita mengambil kebijakan lain. Salah satu kampanye yang diserukan pemerintah adalah social distancing dengan sedapat mungkin menghindarkan diri dari kerumunan. Orang diharapkan tidak menghadiri kegiatan-kegiatan berkumpul yang berpotensi tertular atau menularkan virus covid-19. Menjaga jarak satu sama lain jika sedang bertemu dan menghindari kontak fisik sedapat mungkin.
Selama masa penerapan social distancing ini, working from home diterapkan sejumlah perkantoran. Pemerintah juga meminta agar siswa sekolah belajar di rumah masing-masing. Beribadah pun diminta dilakukan secara individual, tidak lagi dilakukan berjamaah.
Belakangan, sejumlah media memberitakan WHO telah mengubah social distancing menjadi physical distancing. Artinya, orang masih dapat berinteraksi sosial dengan orang lain tanpa bertemu tatap muka. Pertemuan virtual melalui internet misalnya, menjadi salah satu bentuk interaksi dalam physical distancing ini. Semua dilakukan untuk memutus rantai penyebaran virus yang kian membuat panik banyak orang.
Seberapa Peka Kita pada Ancaman Covid-19?
Karena satu pekerjaan, saya harus melakukan perjalanan secara maraton. Pada minggu kedua Maret, saya berada di Medan dan Deli Serdang (Sumatera Utara) dan minggu berikutnya berada di Jayapura (Papua) dan Sorong (Papua Barat). Terus terang, ini jadi perjalanan berat bagi saya di tengah situasi penuh kecemasan.
Bagaimana pun, ada empat bandara yang harus saya lalui. Ya, bandara adalah salah satu lokasi yang dinilai rawan penyebaran covid-19. Kecemasan serupa saya alami saat harus berurusan dengan transportasi umum selama melakukan perjalanan.
Seperti juga di tempat lain, di Medan dan Deli Serdang orang lalu-lalang mengenakan masker. Jika masker tidak dimiliki, sebagian menggunakan bandana, kain, atau apapun untuk menutup mulut dan hidungnya. Masker menjadi barang yang susah diperoleh.
Suasana hotel tempat saya menginap di Medan terasa biasa saja. Sejumlah tamu terlihat keluar masuk kamar. Lengkap dengan koper dan barang bawaan lainnya. Menurut beberapa petugas hotel, tingkat hunian atau okupansi di hotel itu telah menurun drastis hingga sekitar 50 persen semenjak merebaknya covid-19.
Informasi semacam itu tidak membuat saya kaget. Turunnya okupansi hotel di berbagai kota di Indonesia memang telah banyak diberitakan media. Ini serupa dengan turunnya jumlah penumpang pesawat semenjak merebaknya covid-19 di Indonesia. Ini terasa juga di Kuala Namu, Deli Serdang. Bandara besar yang biasanya penuh dan sibuk dengan para penumpang itu, terasa lebih sepi.
Ada hal yang membuat saya bingung. Hand sanitizer tidak saya temukan di bandara sepenting itu. Padahal, saat itu sudah belasan hari semenjak kasus pertama covid-19 diumumkan di Indonesia. Terlebih, sudah berhari-hari sebelumnya pemerintah mengumumkan pentingnya mencuci tangan sebagai upaya mencegah penularan covid-19.
Bagaimana dengan di hotel? Serupa. Saya tidak menemukan hand sanitizer yang bisa digunakan tamu. Padahal saya menginap di hotel sekelas bintang tiga ke atas, baik di Medan maupun di Deli Serdang. Lebih membuat heran lagi, tamu maupun petugas hotel terlihat biasa saja. Seakan hand sanitizer bukan hal penting meski kecemasan terasa di mana-mana.
Beruntunglah saya sewaktu tiba di ujung timur Indonesia, Jayapura, Papua, selang dua hari kemudian. Saya melihat hand sanitizer dalam botol cukup besar ditaruh di beberapa sudut hotel, di antaranya di meja resepsionis dan pintu masuk restoran. Beberapa tamu pun tidak sungkan terlihat menggunakannya. Isinya tinggal setengah.
Situasi melegakan juga terjadi di hotel tempat saya menginap di Sorong, Papua Barat. Hand sanitizer ditempatkan di beberapa sudut ruangan. Poster tentang cara mencegah infeksi covid-19 juga terpasang jelas. Di dalam kamar, saya menemukan lembaran informasi tentang virus yang membuat dunia dilanda panik ini. Lembaran itu berisi informasi yang mudah dipahami oleh tamu untuk mencegah dirinya dari penularan covid-19.
“Bapak, silakan pakai. Kalau sudah mau habis, segera akan kami isi lagi,” ujar seorang pegawai hotel tempat saya menginap di Sorong. Ucapan itu membuat saya senang. Bahkan, mereka mengingatkan para tamu agar mau menggunakannya. Bagi saya, ini sangat penting. Mengingatkan orang lain agar bisa mencegah infeksi virus dengan cara sederhana. Tidak tertular dan tidak menularkan pada yang lain. Ya, memutus mata rantai penularannya dari diri sendiri.
Kepekaan semua orang akan ancaman pandemi atau wabah ini perlu terus dibangun. Kepekaan tentu saja berbeda dari sikap “parno” alias paranoid. Kepekaan akan membuat kita mawas diri dan ini bisa dilakukan dengan cara-cara sederhana seperti social distancing ataupun physical distancing seperti yang disarankan. Demikian juga dengan pola hidup sehat, di antaranya dengan rajin mencuci tangan.
Sayangnya, tidak semua orang peka akan situasi yang sedang berlangsung. Mari kita lihat di sekitar kita. Masih mudah kita temukan orang berkumpul, nongkrong dan terlihat santai dengan jarak yang rapat. Sebagian dari kita menganggap virus ini jauh dan tidak mungkin menulari kita.
Pada beberapa ruang publik, seperti bandara, saya melihat pemandangan yang bikin miris. Social distancing bagi sebagian orang adalah angin lalu. Pada sejumlah sudut ruang tunggu terlihat calon penumpang duduk rapat, berkelompok karena memang saling mengenal. Terihat akrab. Sebagian di antaranya asik bersenda gurau menunggu naik pesawat. Sejumlah tanda silang di kursi yang sejatinya menjadi pemisah antara satu orang dengan lainnya tidak dihiraukan.
Bagi mereka, bisa jadi, virus corona tidak boleh membuat keakraban terganggu. Apalagi jika harus membuat jarak secara fisik menjadi jauh.
Ya, orang seperti saya mungkin terbilang “parno”. Terlebih saat saya harus kecewa mendapati beberapa botol hand sanitizer di bandara Sentani yang sudah kosong. Tidak ada tanda-tanda petugas yang sigap memeriksa dan mengisi ulang botol-botol itu. Seberapa pekakah mereka akan kebutuhan orang seperti saya, yang cemas akan situasi sekarang?
Saya kembali teringat kisah dr. Li Wenliang. Saat ia memperingatkan orang lain tentang munculnya virus ini, apakah orang lain saat itu memiliki kepekaan yang memadai untuk menganggapnya serius? Alih-alih malah menudingnya membuat komentar palsu, seperti yang dilakukan pemerintah Tiongkok waktu itu. *******