close
WhatsApp Image 2021-12-12 at 23.30.46
Gambar Ilustrasi: @abulatbunga

Rencana pengesahan RUU KUHP yang kini masih dalam tahap finalisasi oleh Pemerintah dan DPR RI dikhawatirkan makin memperburuk sektor pariwisata yang sudah lesu akibat wabah korona. Sejumlah pasal dinilai berpotensi menyasar ruang privasi warga termasuk wisatawan. Ujungnya bisa berupa “pasal karet” yang penegakannya tidak ajek alias negotiable.

Demikian terungkap dalam diskusi publik bertajuk “Overkriminalisasi di RKUHP dan Potensi Dampaknya pada Pariwisata” yang digelar secara Yayasan Kasih Pelangi Dewata dan Rumah Cemara secara virtual, Kamis (9/12).

Narasumber diskusi adalah Ni Kadek Vany Primaliraning – Direktur LBH Bali, I Gede Ricky Sukarta – Ketua Bali Villa Association, I Made Adi Mantara – Direktur Yayasan Kesehatan Bali, dan Ida Bagus Surya Dharma Jaya – pengajar di FH Universitas Udayana. Acara ini dipandu oleh Luh De Suriyani – BaleBengong.

Diskusi diawali pembahasan mengenai perlindungan privasi sebagai aspek penting dalam sektor pariwisata. Sebagai nilai, privasi sangatlah diperhatikan misalnya dalam industri perhotelan.

Bali sebagai provinsi yang sangat mengandalkan sektor pariwisata tentu menjunjung tinggi nilai itu, yang perlindungannya diterapkan ke semua wisatawan di Bali dan Indonesia secara umum.

Yang mengancam privasi dalam RKUHP adalah, Pasal 417 yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda kategori II”.

Baca juga:  Berantas Kratom Ribet, Perbaiki Saja Tata Niaganya!

Lalu Ayat 1 Pasal 419, “Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.

Pasal ini memidanakan tiap bentuk sanggama dan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan atau kohabitasi. Dalam rumusannya disebutkan, yang berhak mengadukan tindakan tadi adalah orang tua, anak, dan pasangan. Tapi untuk kriminalisasi kohabitasi alias kumpul kebo, aduan juga bisa dilakukan oleh kepala desa dan pejabat setingkatnya.

RUU ini membagi denda menjadi delapan kategori, yaitu: Kategori I Rp1 juta; II Rp10 juta; III Rp50 juta; IV Rp200 juta; V Rp500 juta; VI Rp2 miliar; VII Rp5 miliar; dan VIII Rp 50 miliar.

Ide pemindanaan ini menyasar ruang privat. Pasal ini akan berdampak pada sektor pariwisata terutama sektor perhotelan karena pertama, memengaruhi citra Indonesia. Adanya pemidanaan di ranah privat, Indonesia dianggap negara konservatif yang akan menciutkan niat wisatawan untuk berlibur.

Kedua. Penegakan pasal itu akan melegitimasi lalu menyemarakkan penggerebekan penginapan-penginapan baik oleh aparat maupun masyarakat. Keadaan itu tentu berdampak pada reputasi penginapan dan industri pariwisata.

Ketiga. Atas usulannya di RKUHP, pemidanaan di ranah privat sudah berdampak. Pada September 2019, Australia menerbitkan travel advice bagi warganya yang berwisata ke Indonesia. Sebagai respons, Bali Tourism Board menyatakan kekhawatirannya, yakni turis asing akan lebih memilih negara seperti Thailand yang melindungi privasi wisatawan.

Baca juga:  Hukum Adat dalam RKUHP

Keempat. Syarat menginap jadi lebih berbelit karena hotel akan berusaha mencegah terjadinya tindak pidana. Sebagai contoh, saat ini “hotel-hotel syariat” yang menawarkan wisata halal menerapkan serangkaian persyaratan menginap, yaitu menunjukkan buku nikah sampai foto bersama keluarga.

Meski persyaratannya diperketat, tidak ada penginapan yang bisa memastikan ada atau tidaknya perbuatan zina tamu-tamunya.

Pasal 420 adalah salah satu ketentuan di RUU ini yang mengintrusi atau menerobos ruang privat untuk mengkriminalisasi perbuatan cabul yang memasukkan unsur “sama jenis kelaminnya”.

Rumusannya menyasar kelompok homoseksual. Ada tiga kategori perbuatan dalam pasal tersebut. Pertama, setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya di depan umum dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.

Kedua, bila perbuatan itu dilakukan secara paksa, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Terakhir, kalau perbuatan itu dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.

Adanya frasa “sama jenis kelaminnya” amat potensial mengkriminalkan kelompok homoseksual, termasuk wisatawan dengan orientasi seks demikian.

Ranah kehidupan pribadi menjadi objek pemidanaan yang berlebihan dalam RUU ini.

Salah satu pasal menyatakan, aturan, norma, atau kaidah yang hidup dalam masyarakat dan menentukan tindakan seseorang patut dihukum, meski tidak diatur UU yang diusulkan ini, pun diberlakukan.   

Baca juga:  Deteksi Kanker: Kenapa Risi Periksa Payudara Sendiri?

Jadi, seseorang dapat dihukum atas dasar “hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dalam penjelasan RKUHP tersebut, hukum yang hidup di masyarakat akan didasarkan pada peraturan daerah yang akan dikompilasikan. Sementara, sebagaian aturan di masyarakat dan peraturan daerah mendiskriminasi kelompok tertentu, misalnya perempuan atau waria.

Pada 2018, Komnas Perempuan mencatat ada 421 peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan seperti, melarang perempuan keluar pada malam hari atau mengatur cara berpakaian perempuan. Di tahun yang sama, Arus Pelangi melaporkan enam kebijakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas seksual seperti waria.

Perdebatan dan ketidakpastian serta pemidanaan dalam RKUHP yang berlebihan bakal menambah derita sektor pariwisata setelah dihantam wabah korona dua tahun terakhir.

Tags : kriminalisasioverkriminalisasipariwisatapasal karetRKUHPruang privat
Redaksi

The author Redaksi

Tim pengelola media dan data Rumah Cemara

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.