close
WhatsApp Image 2022-07-20 at 4.06.05 AM

Tidak ada satupun ibu yang mau anaknya sakit, apalagi sampai berkepanjangan. Seorang ibu pasti akan mengusahakan pengobatan terbaik untuk kesembuhan anaknya. Meminjam kalimat Puthut EA, Kepala Suku Mojokdotco, orang tua pasti akan mencoba sekecil apapun peluang itu seperti kisah ibu-ibu yang memperjuangkan pengobatan ganja untuk anaknya yang sakit.

Kisah heroik para ibu tersebut terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Indonesia. Mereka berjuang mati-matian untuk memberikan pengobatan terbaik bagi anak-anak mereka. Anak-anak ini mengidap penyakit yang mengganggu tumbuh kembang mereka, yakni epilepsi, cerebral palsy, dan tumor.

Sayangnya, ibu-ibu yang mengupayakan pengobatan ganja di Indonesia menuai jalan panjang nan terjal, sampai sekarang masih digantung. Sedangkan ibu-ibu yang memperjuangkan pengobatan ganja untuk anaknya di Amerika sana menuai hasil sesuai yang diharapkan. Mulus. Seperti aspal jembatan Suramadu yang bikin pengendara enggan mengurangi kecepatan berkendara.

Keberuntungan ibu-ibu Amerika ini dikisahkan dalam film dokumenter buatan National Geographic. Film ini dengan baik menggambarkan manfaat ganja untuk penyakit anak dan keberhasilan perjuangan ibu-ibu menyembuhkan anaknya. Kasih ibu yang hangat sekaligus memberikan harapan bagi para penonton disuguhkan secara apik dalam episode Cannabis for Kids (2015), yang terdiri dari tiga bagian.

Film tersebut menampilkan tiga anak yang sangat istimewa yaitu Millie, Sophie, dan Lily. Orang tua mereka berusaha memberikan harapan hidup di tengah perjuangan antara hidup dan mati. Mereka menemukan titik terang saat nyaris putus asa dan menyerah pada takdir. Bagaikan keajaiban, mereka menemukan sebuah alternatif pengobatan untuk anak mereka di negara bagian Colorado, AS yakni ganja.

Millie mulai menampakkan kejang saat berusia empat bulanan. Ia bisa mengalami kejang hingga 700 kali dalam sehari. Dokter mendiagnosis kejang infantil dengan aritmia pinggul.

Baca juga:  Penuhi Hak Tersangka, Minimalkan Stigma Penggerebekan Komunitas Gay “Hot Space”

Orang tua Millie memberikan tiga pengobatan yang berbeda sekaligus diet ketogenik namun tidak memberi pengaruh. Dokter hanya memberikan satu persen harapan pada pertumbuhan Millie. Orang tuanya nyaris putus asa. Beruntungnya, mereka menemukan terapi ganja di Colorado.

Ayahnya memulai perawatan Millie dengan mengikuti panduan di sebuah situs web produsen ekstrak ganja di Colorado bernama Charlotte’s Web. Secara mengejutkan, Millie bisa terbangun dan melihat sekeliling setelah pemberian dosis pertama. Seketika, orang tuanya menangis.

Mereka pun melanjutkan terapi selama 90 hari dan mencatat penurunan kejang Millie secara drastis. Mereka bersyukur karena anaknya punya harapan hidup dan kualitas kehidupannya meningkat.

Kisah kedua menampilkan Sophie, putri Tracy dan Josh Ryan yang ketika berusia delapan bulan matanya mulai berkedut. Dokter menunjukkan adanya tumor di otak.

Mengingat usia Sophie yang masih sangat belia, satu-satunya pilihan adalah memulai kemoterapi. Dokter memberi tahu keluarga Ryan, bahwa pascakemoterapi tumornya mungkin hanya akan menyusut sedikit. Keluarga Ryan pun meyakini kalau kemoterapi tidak cukup untuk menyembuhkan Sophie.

Mereka mulai mencari alternatif pengobatan. Beberapa orang tua yang mereka temui beralih ke minyak cannabidiol (CBD) untuk mengobati anaknya yang menderita kanker dan epilepsi. Minyak itu legal di lebih dari selusin negara bagian AS, tetapi pasokannya terbatas. Meski demikian, standar dosisnya belum ditetapkan, efek penggunaan jangka panjangnya pun tidak jelas. Banyak dokter percaya bahwa diperlukan lebih banyak penelitian.

Bagian ketiga mengisahkan Lily, pengidap epilepsi sejak usia enam bulan. Frekuensi kejangnya bisa mencapai 300 kali dalam sehari meskipun telah menggunakan obat-obatan yang keras.

Baca juga:  Jangan Ada Lagi Stigma Anak Nakal ke Remaja yang Merokok

Ketika orang tua Lily disarankan untuk melakukan operasi otak sebagai satu-satunya jalan untuk menghentikan kejang, mereka mulai mencari pengobatan alternatif. Di Colorado, mereka menemukan pengobatan ganja.

Lily diberikan terapi menggunakan minyak CBD yang mengandung THC amat rendah bahkan tidak ada sama sekali. THC adalah zat memabukkan alias psikoaktif ganja. Perlahan, kemajuan mulai tampak. Lily tumbuh dan beraktifitas secara “normal”.

Dikutip dari film dokumenter tersebut, “Sekarang kami sedang menyelidiki tanaman ini dan apa yang bisa dilakukannya. Jadi kita harus berhenti berprasangka dan saya pikir kita hanya perlu mengatakan, ‘Oke, masih banyak yang belum kita ketahui’ sehingga kita perlu menelitinya. Jadi mari kita berhenti melestarikan propaganda yang disampaikan ketika kita masih kecil dan mari kita pahami ilmunya dan biarkan orang yang sakit menggunakannya.”

Studi menunjukkan bahwa CBD memberikan efek antikejang. Jika yang digunakan hanya CBD-nya, telah banyak dukungan dari kajian ilmiah dan mungkin dapat digunakan. Hal itu disampaikan Prof. Zullies, Guru Besar Farmasi UGM. Akan tetapi ia perlu meluruskan, bahwa cannabis-based medicine adalah obat yang berasal dari ganja, bukan tanaman ganja utuh karena senyawa-senyawanya masih bercampur.

Senyawa yang terkandung dalam tanaman ganja ada yang bersifat psikoaktif, aktif, dan inaktif. Zat memabukkan atau psikoaktifnya antara lain THC dan cannabinol, sedangkan zat aktif tapi tidak memabukkan, bernama cannabidiol (CBD). Ada pula zat inaktif yang terdiri lebih dari 60 senyawa.

Baca juga:  Penanggulangan HIV-AIDS di Masa Pandemi Covid-19

Riset tentang senyawa ganja ini sangat cepat, setidaknya simposium internasionalnya sudah diadakan 32 kali.

Ganja medis sudah digunakan untuk epilepsi yang kebal obat seperti sindrom Dravet dan Lennox Gastaut, tapi tidak di Indonesia. Di sini, peraturan hukum untuk ganja sangat ketat lantaran ketakutan akan penyalahgunaannya dan alasan-alasan politis lainnya yang dikaitkan dengan konsumsi rekreasional ganja.

Sementara, cerebral palsy adalah penyakit yang menyebabkan menurunnya fungsi otak sehingga dibutuhkan intervensi yang segera. Jika makin lama dibiarkan maka fungsi otak semakin menurun. Pengobatan konvensional hanya mampu untuk mereduksi intensitas kejang, tapi tidak mengatasi kejang.

“Obat modern apapun yang aku kasihkan ke Musa nggak ada yang sebagus ganja,” jelas Bude Dwi saat diwawancara Puthut EA di kanal YouTube Mojokdotco.

Bude Dwi bersama dua ibu lain menggugat UU Narkotika di Mahkamah Konstitusi pada 2020. Meskipun persidangan telah usai, namun belum juga ada putusan dari Mahkamah Konstitusi. Ketiga ibu itu digantung dengan ketidakpastian. Sampai sekarang mereka tidak memiliki akses ke pengobatan ganja padahal anak-anak mereka tidak bisa menunggu lama lagi.

Anak dengan cerebral palsy memerlukan penanganan dan pengobatan yang cepat dan tepat. Jika dibiarkan terlalu lama akan memicu penurunan fungsi otak. Pengobatan konvensional mampu mereduksi intensitas kejang, namun tidak menghentikan total. Sedangkan pengalaman Bude Dwi saat memberikan ganja medis untuk anaknya memberikan hasil yang baik.

Sayangnya, nasib ibu-ibu ini tidak seberuntung ibu-ibu di AS. Mereka harus menunggu entah sampai kapan. Atau mungkin, mereka harus terpaksa membenturkan dirinya dengan hukum? Jangan sampai kasus Fidelis terulang lagi.

Melankolia

The author Melankolia

Pemuda yang mencoba menghadirkan revolusi dari tempat tidur.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.