close
eva-dewi-rumah-cemara-boxing
Ilustrasi: Rumah Cemara Boxing Camp

Some third person decides your fate: this is the whole essence of bureaucracy” – Alexandra Kollontai dalam La Oposición Obrera (1976)

Alexandra  Kollontai lahir di St. Petersburg, Rusia pada 1872. Wanita cantik yang lahir dengan nama Alexandra Mikhailovna Domontovich ini menikah di usia 19 tahun. Ibunda Alexandra keberatan putrinya menikah dengan Vladimir Ludvigovich, seorang pemuda miskin. Tetapi Alexandra membelanya. Ia akan bekerja sebagai guru untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangganya.

“Kamu, bekerja? Kamu, yang bahkan tidak bisa membereskan tempat tidur dan tidak bisa menjahit! Kamu, yang keluar rumah seperti seorang putri dan tidak pernah membantu membersihkan rumah! Kamu, sama seperti ayahmu yang ketiduran dengan meninggalkan buku di setiap kursi dan meja di rumah!” ejek Ibu Alexandra.

Alexandra bergabung dengan kelompok perempuan sosialis dalam mendukung pemogokan buruh tekstil St. Petersburg pada 1896. Vladimir berusaha mencegahnya tetapi dia bersikukuh akan upayanya membebaskan kelas pekerja, berjuang untuk hak-hak wanita dan orang-orang Rusia. Dengan berat hati dia menceraikan suaminya itu pada tahun yang sama dan sekolah ekonomi di Zurich, Switzerland pada 1898.

Pasca revolusi Bolshevik, karir politik Alexandra dimulai. Pada Oktober 1917, dia ditunjuk menjadi people’s commissar (pejabat setingkat menteri) untuk urusan sosial. Dia merupakan perempuan yang paling menjanjikan di pemerintahan Soviet dan terkenal karena mendirikan Zhenotdel atau “Departemen Perempuan” pada 1919. Organisasi ini bekerja untuk memperbaiki kondisi kehidupan perempuan di Uni Soviet.

Perempuan lebih sering mengungkapkan perasaan, tak terkecuali di medsos. Ungkapan-ungkapan baper seperti patah hati yang sangat melukai jiwa, diselingkuhi membuat putus asa, dan sejenisnya kerap menjadi status medsos seorang perempuan. Ad Vingerhoets, seorang psikolog Belanda, menyatakan perempuan menangis 30-64 kali dalam setahun. Laki-laki jauh lebih sedikit, hanya 6-17 kali. Ad melakukan survei mengenai hal ini terhadap lebih dari 5.000 orang dewasa di belasan negara. Itulah kenapa perempuan lebih ekspresif ketimbang laki-laki.

Baca juga:  Peringatan Hari Anti-Narkoba 2021: PBB Hapus Stigmatisasi Ganja, Indonesia Lanjut Perangi Narkoba (2)

Eva Dewi, mengalami permasalahan yang lebih pelik ketimbang urusan cinta dan perasaan yang dibagikan lewat medsos. Saat berusia 17 tahun, kemandirian membuatnya selalu menghargai apa arti berusaha. Hal ini pula yang ditanamkan sejak dini pada anak-anaknya. “Jika kamu lembek di dalam rumah, maka dunia akan semakin keras! Begitu pula sebaliknya,” tukas perempuan lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung ini.

Setelah Eva mengetahui dirinya mengidap HIV, suaminya tidak mengakui status pernikahannya. Keluarganya malu dan kecewa. Saudara dan temannya menjauhi. Stigma menjadi momok bagi orang yang mengetahui dirinya mengidap HIV, atau dikenal dengan sebutan ODHA (orang dengan HIV-AIDS).

Pengalaman yang menurut Eva paling kelam adalah saat melahirkan anak ketiga. Tidak ada seorangpun menemaninya. Bahkan selama lima hari di rumah sakit, tidak ada orang yang menjenguknya. “Jika tidak melihat anak-anak, mungkin saya sudah bunuh diri saat itu. Toh tidak ada yang peduli, bahkan keluarga sekalipun,” tukas ibu yang hobi berolahraga ini.

Menjadi orang tua tunggal bagi tiga orang anak berusia masing-masing 4, 5, dan 9 tahun merupakan tantangan berat. Tidak terkecuali buat Eva. Sarjana Pemerintahan Sipil ini pernah bekerja serabutan dengan penghasilan Rp25 ribu per hari. Uang sebesar itu biasanya dibelanjakan untuk bahan kebutuhan dua hari, yaitu 3 butir telur, 2 bungkus mi instan, dan 4 lembar popok anak ketiganya yang saat itu masih berusia 8 bulan.

Baca juga:  Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN)

Rumah Cemara menyelenggarakan seleksi tim nasional perempuan untuk gelaran Homeless World Cup (HWC) 2013. Eva mengikuti tahapan seleksi tersebut tanpa berharap lebih untuk lolos. Saat itu dia berpikir hanya ingin menyalurkan hobinya, berolahraga.

Walaupun ketika itu Timnas HWC Perempuan Indonesia gagal berangkat, Eva tetap menekuni olahraga. Program-program olahraga Rumah Cemara membuatnya memiliki harapan baru.

Eva pun akhirnya bergabung di Rumah Cemara sebagai staf Sport for Development, sebuah program pemberdayaan kaum marginal melalui olahraga. Ia menyeleksi pemain yang akan bergabung di timnas HWC setiap tahun. Kegigihannya untuk berubah dan menghapus stigma berbuah manis. Ia mendapat lisensi dari KNVB (Koninklijke Nederlandse Voetbalbond) Belanda untuk menjadi pelatih wanita dan menjadi manajer perempuan pertama untuk kelompok belia (youth) di kelab sepak bola Rumah Cemara, DKRC (Dalem Kaum Rumah Cemara).

Visi “Indonesia tanpa Stigma” ditekankan Rumah Cemara di program pelatihan Sport for Development-nya, bahwa dalam sepak bola tidak ada batasan dan membeda-bedakan latar belakang dan gender.

Ciroyom on the Rooftop menjadi tempat seleksi dan pendidikan Sport for Development Rumah Cemara pada 2015. Metro TV meliput dan menayangkannya sebagai acara inspiratif untuk menghapus stigma kepada orang-orang yang termarginalkan. Eva, sebagai salah satu pelatih, menolak tampil di layar kaca dan jika pun tersorot kamera, ia minta wajahnya tidak tampil di TV.

Baca juga:  Atas Nama Daun: Nasib Murung Interaksi Ganja dan Manusia di Indonesia

Namun saat acara ditayangkan, sekilas sorotan kamera pada Eva terlihat di TV. Setelah acara usai, keluarga dan sanak saudara tak henti-hentinya meneleponnya, meminta kejelasan. “Buat apa sih masuk TV? Untuk membuat malu keluarga dan saudara dengan status HIV Eva?!” keluh saudara-saudaranya.

Eva pun mengklarifikasi tuduhan-tuduhan itu. “Saya tidak pernah meminta untuk disorot kamera. Kenapa kalian yang harus malu? Ini cara saya beraktualisasi diri, bermanfaat untuk orang lain,” balasnya.

Bersama DKRC belia, Eva terpilih mewakili Indonesia untuk mengikuti festival sepak bola di Lyon Perancis pada 2016. Ini adalah salah satu acara pembukaan Piala Eropa (UEFA European Championship). Dengan pembuktian prestasinya di mancanegara, sedikit demi sedikit keluarga Eva mulai tergugah. Dukungan keluarga adalah hal utama yang dibutuhkan, bukan penghakiman.

HIV-AIDS tidak membunuh, stigmalah yang membunuh. Semangat Alexandra Kollontai yang berjuang untuk emansipasi, hak bersuara, dan pembuktian bahwa perempuan pun bisa lebih kuat seolah terwujud pada diri Eva. Dia membuktikan bahwa perbedaan gender tidak membuatnya lemah.

Eva selalu berpesan agar di zaman di mana permasalahan hati dibesar-besarkan dan dilihat publik melalui medsos, wanita tidak seharusnya lemah.

“Derita kalian mungkin tidak ada apa-apanya dibandingkan saya, tetap struggle apa pun yang terjadi dan yakin bahwa wanita pun bisa. Ingatlah setiap usaha akan menghasilkan hal yang setimpal,” pungkasnya.

Kamu terdengar seperti kamerad Kollontai, Eva!

Tags : AIDSHIVHIV-AIDS
Rizky RDP

The author Rizky RDP

Sering menulis dengan tangan kiri, tim rusuh di Rumah Cemara, Tramp Backpacker, passion pada sepak bola dan sejarah. sering berkicau di @Rizky91__

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.