close
56029-penyelundupan-satu-ton-sabu
51 karung sabu ditarik perahu karet ke pantai di Kawasan Anyer, Banten (Foto: Merdeka.com)

Tim gabungan Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya dan Polresta Depok menggagalkan penyelundupan satu ton sabu asal Tiongkok di pesisir Anyer, Banten. Seorang tersangka pelaku tewas ditembak, dua lainnya tertangkap, sementara seorang lagi berhasil kabur sebelum akhirnya tertangkap beberapa jam setelah penyergapan yang dilakukan dini hari Kamis minggu lalu (13/7). Keempat tersangka adalah warga negara Taiwan.

Operasi penggerebekan dilaksanakan atas dasar informasi dari kepolisian Taiwan bahwa akan ada pengiriman sabu dalam jumlah besar untuk diedarkan di Jakarta.

Selama dua bulan, tim gabungan mengintai para tersangka yang masuk ke Indonesia sebagai turis. Mereka berpura-pura mencari lokasi memancing. Salah satu tempat yang kemudian mereka pilih sebagai tempat ‘pendaratan’ adalah bekas bangunan hotel di tepi pantai. Mereka mengemas narkoba sebanyak itu ke dalam lima puluhan karung yang ditarik perahu karet.

Budi Waseso, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), mengakui kalau seharusnya sindikat ini sudah bisa dibekuk dua bulan lalu, namun mereka memiliki teknologi canggih untuk bisa mengelabui dan meloloskan diri dari petugas. Walaupun demikian, ia menyampaikan bahwa pengungkapan satu ton narkoba itu merupakan hadiah Hari-Anti Narkoba Internasional (HANI) 2017 yang diperingati 13 Juli kemarin di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.

Ditaksir, barang bukti sabu seberat itu bernilai satu setengah triliun rupiah. Havocscope.com, sebuah situs informasi pasar gelap global, mengemukakan, satu gram sabu di Indonesia berharga US$203.8. Harga tersebut tidak jauh berbeda dengan yang diungkap sebuah liputan Okezone News akhir Maret lalu, yaitu Rp2,5 juta untuk satu gram sabu di Jakarta. Di tingkat pemasok Malaysia, harganya Rp200 juta per kg, dan setibanya di Jakarta menjadi Rp2,5 miliar.

Dari laba sepuluh kali lipat lebih itu, sindikat ini bisa membayar aparat sebagai beking untuk mengamankan bisnisnya, membeli peralatan tercanggih, serta menguasai aparat penegak hukum dari tingkat pimpinan hingga petugas lapangan melalui suap. Karena itu, tidaklah mengherankan jika jajaran BNN kesulitan menangkap basah sindikat pemasok gelap narkoba yang jumlah konsumennya tidak pernah berkurang ini.

Sabu, Narkoba Terpopuler di Indonesia

Foto : Google Images

Kamus Besar Bahasa Indonesia menulis “sabu-sabu” untuk bentuk kristal metamfetamin walaupun kata ini juga berarti hidangan khas Jepang berupa irisan tipis daging yang dicelup ke air mendidih dalam panci di atas meja makan (shabu-shabu). Kini, media-media massa cukup menulis “sabu” untuk narkotik golongan satu dalam UU RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang memiliki rumus kimia C10H15N tersebut.

Metamfetamin disintetiskan dari efedrin pertama kali pada 1893 oleh ahli kimia Jepang, Nagai Nagayoshi. Efedrin merupakan zat aktif yang terkandung dalam tanaman Ephedra sinica yang telah digunakan dalam pengobatan tradisional Tionghoa sejak 2000 tahun lalu. Khasiat zat ini adalah untuk menurunkan berat badan, antiasma dan hidung tersumbat, mengusir kantuk dan lelah, juga pengobatan ADHD (attention deficit hyperactivity disorder) dan narkolepsi.

Baca juga:  Ganja, Dulu dan Nanti

26 tahun kemudian, metamfetamin hidroklorida, bentuk kristal metamfetamin atau sabu-sabu, disintetiskan oleh seorang farmakolog bernama Akira Ogata.

Di Jerman, konversi dari efedrin ke metamfetamin menghasilkan sebuah produk obat yang banyak dikonsumsi tentara NAZI pada Perang Dunia II. Lalu sepanjang 1940-1950-an, obat ini secara meluas dikonsumsi untuk meningkatkan produktivitas pekerja sektor industri Jepang yang porak poranda akibat perang.

Pada dekade selanjutnya, sebagai obat obesitas, metamfetamin banyak dikonsumsi warga Amerika Serikat (AS) untuk diet atau pelangsing di samping mendapatkan efek psikoaktif dan perangsangnya untuk rekreasi.

Pada 1971, amfetamin (C9H13N) dan metamfetamin (C10H15N) ditetapkan sebagai narkoba golongan dua yang hanya diperbolehkan untuk keperluan pengobatan dengan pengawasan yang sangat ketat melalui Konvensi PBB tentang Zat-zat Psikotropika. Indonesia meratifikasi konvensi tersebut pada 1996.

Pasca pengesahan UU RI No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, pabrik atau laboratorium penghasil ekstasi dan sabu di seantero negeri terus diungkap. Tempatnya berkisar dari ruko, unit apartemen, kamar hotel, rumah di perkampungan padat, hingga sel penjara.

Berbeda dengan ‘narkoba tradisional’ seperti ganja atau heroin yang berasal dari tumbuhan, sabu sepenuhnya bisa dihasilkan secara sintetis menggunakan peralatan laboratorium yang dapat dikemas dan dipindah-pindah (portabel). Bahan-bahan bakunya pun bisa didapat dari bahan baku kosmetik, wewangian, obat flu dan batuk, hingga bahan bangunan seperti pelarut cat kayu (tiner atau toluene).

Boleh jadi, atas kemudahan pembuatannya inilah, sabu menjadi narkoba yang paling banyak dikonsumsi warga Indonesia setelah ganja. Pada 2011 saja, BNN memperkirakan terdapat 2,8 juta konsumen ganja dan 1,2 juta konsumen sabu di seantero Nusantara.

BNN juga memperkirakan, 219 ton sabu beredar di Indonesia pada 2014. Perhitungan rata-rata konsumsinya per orang per tahun sebanyak 385,1 gram. Dengan perhitungan itu, maka rata-rata seorang konsumen di Indonesia tiap tahun mengeluarkan uang Rp962 juta lebih untuk belanja sabu.

Bagi konsumennya, sabu tidak sama dengan narkoba klasik seperti putaw yang dianggap berbahaya serta adiktif (membuat ketagihan). Sabu dikonsumsi secara sosial untuk bersenang-senang, tidak seperti, misalnya lagi, putaw yang konsumsinya dilakukan sendirian untuk mengobati sakit akibat putus heroin (withdrawal syndrome/ sakaw). Cara konsumsinya pun tidak mengerikan seperti menggunakan suntikan dan menimbulkan perlukaan.

Itu sebabnya, sabu lebih bisa diterima secara sosial dan populer baik di kalangan tua maupun muda, di kota maupun di desa. Bahkan ketimbang ganja, ironisnya saat ini sabu lebih mudah diperoleh di daerah pedesaan Aceh. Sebagaimana kita ketahui, telah lama Aceh terkenal akan ladang-ladang ganjanya yang subur.

Baca juga:  Pelatihan Grassroots Football Rumah Cemara

Tom Blickman, peneliti Transnational Institute, sebuah lembaga kajian yang berbasis di Amsterdam, Belanda, pada 2011 menganalisis, popularitas sabu di wilayah Asia tidak bisa dipisahkan dari perubahan sosial ekonomi di wilayah ini di mana terjadi perpindahan dari pertanian pedesaan ke masyarakat perkotaan yang berbasis pasar dan industri.

Sebagai stimulan (obat perangsang), sabu memberikan energi bagi para pekerja untuk mampu mengerjakan tugas-tugasnya dengan waktu yang lebih panjang di tengah persaingan ekonomi dan iklim ketenagakerjaan yang buruk di kawasan itu.

Doping dan perangsang lebih cocok (fit better) dalam budaya global yang kompetitif dan serba industri sebagai dampak kemajuan ekonomi Asia Tenggara dan Timur (Jepang pada 1950-an, Korea Selatan dan Taiwan pada 1970-an, kemudian Thailand dan Tiongkok) serta perubahan pada etos dan irama kerja yang tinggi.

Dalam konteks Indonesia abad 21, sabu dan berbagai jenis stimulan menarik bagi apa yang disebut sebagai sebuah gaya hidup modern, secara rekreasional maupun doping untuk bekerja. Stimulan menjadi komoditas yang dilirik para pelaku bisnis karena kecocokannya dengan etos dan irama kerja yang tinggi. Saat ini, kita bisa menemukan bagaimana minuman-minuman penambah energi, termasuk kopi, menjadi industri dengan merek dagang yang sangat variatif.

Tidak hanya merek, namun juga kemasan, mulai dari kedai atau kafe hingga shacet yang instan dan mengandalkan bahan-bahan sintetis untuk memperpanjang masa layak konsumsi serta menekan biaya bahan baku.

Persaingan bisnis yang sangat liberal selalu menimbulkan korban di kalangan konsumennya, yaitu masyarakat. Namun pelarangan tidak serta merta menghilangkan permintaan akan komoditas-komoditas bisnis itu. Kebutuhan di masyarakat akan komoditas-komoditas tersebut telah tercipta. Kebijakan pelarangan justru membuat komoditas semacam ini secara ekonomi dikuasai sindikat kejahatan sejak dari proses produksi hingga konsumsinya melalui pasar gelap.

Stimulan sintetis yang dilarang seperti sabu atau amfetamin merupakan komoditas yang sesuai dalam (fit in) konteks sosial ekonomi berupa masyarakat kerja, sosial politik berupa kampanye antinarkoba, serta ekonomi politik berupa sindikat kapitalis Indonesia yang juga tak bisa dilepaskan dari konteks yang sama secara global.

Peringatan Hari Kekalahan “Perang Melawan Narkoba” Internasional

Atas pengungkapan upaya penyelundupan satu ton sabu Kamis minggu lalu, Budi Waseso menyatakan hal tersebut sebagai hadiah HANI yang diperingati tiap 26 Juni.

Presiden Jokowi saat memberikan keterangan pers penolakan grasi 64 terpidana mati kasus narkoba (Foto: Aktualita.co)

Pada peringatan tahun lalu, dengan nada keras, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan jajarannya agar tidak pandang bulu terhadap pengedar narkoba. Bahkan dalam pidatonya, ia menginstruksikan jajaran Polri untuk menembak para pengedar tersebut apabila UU membolehkan.

Saat upacara peringatan HANI 2016 itu, Pemerintahan Jokowi telah mengeksekusi mati 14 terpidana pengedar narkoba. Eksekusi tersebut merupakan tindak lanjut dari penolakan grasi 64 terpidana mati kasus narkoba yang diajukan dua bulan setelah dirinya dilantik sebagai Presiden RI. Salah satu alasan penolakan grasi tersebut adalah supaya eksekusi hukuman mati menjadi shock therapy bagi para bandar, pengedar, maupun pengguna narkoba di Indonesia.

Baca juga:  Keluar di 'Luar' tetap Bisa Tularkan HIV

Alih-alih membuat takut lalu mengalihkan investasinya ke bisnis yang lebih ‘halal’, eksekusi mati belasan pengedar narkoba yang dibagi menjadi tiga gelombang sejak 2015 lalu tidak sedikitpun menyurutkan niat para pelaku. Mereka tetap mengeruk keuntungan bisnis narkoba di Indonesia yang bisa mencapai lebih dari 1.000%.

Di tiap peringatan HANI, Presiden selalu menyemangati jajarannya untuk memenangkan “perang melawan narkoba”. Untuk itu, komitmen beserta anggaran pemberantasan narkoba selalu ditingkatkan. Tak ketinggalan, ungkapan bernada represif yang mencerminkan kegarangan pemerintah terhadap gembong-gembong narkoba diucapkan secara gamblang.

Kemudian, pada peringatan HANI tahun berikutnya, apa yang diungkapkan pada peringatan tahun sebelumnya kembali dikemukakan. Negara masih harus melakukan tindakan-tindakan represif supaya bisa menang dalam “perang melawan narkoba”.

Jadi setiap tahun, Pemerintah RI harus selalu mengeksekusi mati terpidana pengedar narkoba. Tiap tahun  pula, tepatnya tiap 26 Juni, pemerintah kembali menegaskan semangat pemberantasan narkoba, mempertebal komitmen “perang terhadap narkoba”, bahkan dengan ungkapan sadis seperti, “Tembak para pengedar (apabila UU memperbolehkan)!”

Nampaknya usaha-usaha tersebut tidak digubris oleh pelaku bisnis yang potensi labanya mencapai sepuluh kali lipat lebih tersebut. Walaupun Kepala BNN menyatakannya sebagai hadiah di peringatan HANI, namun pengungkapan satu ton sabu di hari peringatan tersebut membuktikan bahwa pemerintah terus mengalami kekalahan dalam “perang melawan narkoba”. Anggaplah satu ton berhasil diungkap, namun berapa banyak yang berhasil lolos?

Pengakuan Budi Waseso bahwa sindikat narkoba memiliki teknologi yang lebih canggih sehingga kerap berhasil mengelabui dan meloloskan diri dari aparat, memperkuat bukti kekalahan tersebut. Konyolnya lagi, kekalahan “perang melawan narkoba” tiap tahun diperingati dengan meyakini bahwa dengan menambah sumber daya, anggaran, serta memperberat hukuman, perang ini akan dapat dimenangkan.

Albert Einstein pernah mengatakan, “Ketidakwarasan adalah melakukan hal yang sama dengan mengharapkan hasil yang berbeda.”

Kiranya, meyakini bahwa “perang melawan narkoba” akan dimenangkan adalah apa yang dimaksud Einstein tadi. Karena faktanya, sejak 1971, perang tersebut belum pernah bisa dimenangkan walaupun tiap 26 Juni pemerintah selalu berikrar untuk memenangkannya. Malahan, karena diperangi, narkoba justru dikuasai sindikat kejahatan dan berada di kerangka ekonomi pasar gelap.

Jadi, supaya bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk kesejahteraan dan perlindungan masyarakat, tindakan yang perlu dilakukan (dan menurut saya waras) adalah menghentikan “perang terhadap narkoba”, menyudahi pelarangannya, dan mendorong pemerintah untuk mengambil alih aspek ekonomi komoditas itu dari tangan sindikat kejahatan serta mengeluarkannya dari kerangka ekonomi pasar gelap untuk sepenuhnya dikendalikan negara.

Tags : BNNbudi wasesoeksekusi hukuman matigembong narkobahukuman matikasus narkobanarkobapenyelundupanperang melawan narkobasabusabu-sabuwar on drugs
Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.