Dalam program penanggulangan persoalan masyarakat untuk kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan, seperti anak berkebutuhan khusus (penyandang cacat), pendidikan inklusif, HIV-AIDS, anak jalanan, diabetes, pelestarian hutan, dll., selalu kita temukan sejumlah jargon dalam percakapan sehari-hari maupun dokumen yang beredar di kalangan para pegiatnya.
Saya mencontohkan, jargon confidential akrab di kalangan pegiat kesehatan yang berurusan dengan client atau pasien. Client (atau klien) juga salah satu jargon yang saya maksud. Singkatan ABK (anak berkebutuhan khusus) di kalangan pegiat pendidikan inklusif akan berbeda pengertiannya di kalangan pelaut yang akrab dengan singkatan dari Anak Buah Kapal itu.
Namun, stakeholders boleh jadi merupakan istilah lintas isu. Istilah ini akrab di telinga pegiat politik, pelestarian lingkungan, penanggulangan bencana, kesehatan, hak-hak anak, pengentasan kemiskinan, dst., termasuk di kalangan aktivis pemberdayaan nelayan.
Kamus Sederet.com menerjemahkan lema stakeholders sebagai, (1) pemilik kepentingan, pemilik saham, dan (2) pemangku. Lalu kamus Kamusbahasainggris.com yang menggunakan Google Translate menerjemahkan lema tersebut sebagai, pemangku kepentingan.
Ketiadaan padanan sebuah istilah kerap menimbulkan persoalan berkomunikasi bahkan dengan orang-orang yang ‘berpendidikan tinggi’. Pemangku kepentingan (stakeholders) masih dipahami sebagai pihak-pihak yang memiliki kekuasaan lebih. Meminjam istilah dari bidang kesehatan, dibandingkan dinas kesehatan, direktur rumah sakit, kepala puskesmas, hingga mantri, mungkin pasien tidak dianggap sebagai pemangku kepentingan karena tidak memiliki kuasa atas penyakit yang diidapnya.
Padahal jika menggunakan pemahaman dari kamus-kamus Inggris-Indonesia, pasien atau klien adalah pemangku kepentingan terbesar walaupun kekuasaan (lebih tepatnya pengetahuan) yang dimilikinya kalah besar ketimbang perawat, mantri, dokter, dukun, konselor, dan pemberi layanan lain kepadanya. Oleh karena itu, ada pepatah yang menyatakan “pembeli adalah raja”.
Ada juga istilah yang tidak memiiki padanan Bahasa Indonesia. Salah satunya adalah confidential. Kamus-kamus Inggris-Indonesia menerjemahkannya an sich sebagai, rahasia. Sementara, kamus Merriam-Webster mendefinisikan lema confidential sebagai (1) ditandai dengan keakraban atau kehendak untuk menyatakan rahasia <a confidential tone>; (2) pribadi, rahasia <confidential information>; (3) memberi tanggung jawab akan rahasia-rahasia <a confidential clerk>; (4) terdiri dari informasi yang bila dibuka secara tidak resmi bisa membahayakan kepentingan nasional – bandingkan dokumen bertuliskan “rahasia” dengan yang bertuliskan “dokumen negara sangat rahasia”.
Tapi intinya begini, jika kita membawa istilah “confidential” ke dalam diskusi di Indonesia, tidak peduli tingkat sosial-ekonomi dan pendidikannya, kita akan bertemu pada keyakinan yang ‘mengakar’ bahwa itu artinya adalah rahasia. Sebagaimana kita mengetengahkan istilah “stakeholders” yang akan dipahami sangat kuat sebagai pihak yang punya kekuasaan (pengetahuan, fasilitas, sumber daya) yang lebih. Padahal bukan.
Stakeholders adalah pemangku kepentingan. Jika dia seorang anak jalanan dan berkepentingan terhadap program pemberdayaan anak jalanan, maka dialah pemangku kepentingan utama dalam hal ini. Boleh jadi, dari segi fasilitas, pengetahuan, atau sumber daya, anak itu kalah dengan kepala dinas sosial di sebuah kota atau pekerja sosial berijazah D3. Tapi tanpa anak jalanan, tidak ada program pemberdayaan anak jalanan. Simple!
Pemangku kepentingan tidak hanya dua jenis, (1) orang-orang yang butuh namun tidak berkuasa (kekurangan informasi, fasilitas, apalagi sumber daya) sehingga lebih tepat disebut sebagai sasaran program dan (2) aparat atau pejabat di bidang penyelesaian persoalan yang dialami stakeholders pertama, entah mereka pasien TBC, penyandang disabilitas, nelayan miskin, waria, atau korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Mempertimbangkan ‘jarak sosial’ antara, misal ketua BPPKB P2TP2A (Badan Pembina Potensi Keluarga Besar Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) Kota Bandung dengan korban KDRT, yaitu seorang ibu dan anaknya yang berdomisili di Isola, Kecamatan Sukasari, misalnya, maka diperlukan adanya pemangku-pemangku kepentingan lain yang bisa menjembatani ‘jarak sosial’ antara stakeholders 1 dan 2 yang dipisahkan oleh, salah satunya, perasaan memiliki aib keluarga.
Bila peserta diskusi pengurangan KDRT di sebuah kota masih berprinsip teguh bahwa stakeholders hanyalah pihak-pihak yang memiliki kekuasaan lebih seperti kepala kelurahan, camat, ketua PKK kota itu yang berarti istri walikotanya, maka logika penyelesaian persoalannya adalah para korban harus dipertemukan dengan pemilik kekuasaan yang dikategorikan sebagai stakeholders tadi untuk dapat bersama-sama menjerat pelaku.
Padahal, pelaku dapat dipidana karena pelanggaran UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Persoalannya, yang bisa mengungkap pelanggaran UU ini adalah laporan dari korban yang berdaya, orang lain, keluarga besar, tetangga-tetangganya yang mungkin enggan mencampuri urusan rumah tangga orang, atau dari penyelidikan polisi.
Untuk mempertemukan korban KDRT dengan lurah saja misalnya, tidaklah mudah, karena adanya ‘jarak sosial’ tadi. Terlebih dengan istri walikota. Dibutuhkan pemangku-pemangku kepentingan lain yang bisa menjembatani ‘jarak sosial’ antara stakeholders 1 dan 2, yaitu pihak yang mungkin kesehariannya tidak berkecimpung dalam isu KDRT, seperti jurnalis, akademisi, guru pengajian, atau organisasi bantuan hukum.
Di Rumah Cemara, stakeholders utama adalah kelompok konsumen narkoba yang membutuhkan dukungan agar tidak tertular penyakit virus darah, mampu keluar dari ketergantungan konsumsi narkoba yang sudah disadari ‘membelenggu’ hidupnya, serta jika terjerat hukum pidana bisa mendapat alternatif bantuan hukum.
Selain itu, stakeholders utama Rumah Cemara adalah mereka yang mengidap HIV atau sering disebut sebagai ODHA, singkatan dari orang dengan HIV-AIDS. ODHA membutuhkan dukungan Rumah Cemara sebagai organisasi komunitas yang mengedepankan pendekatan sebaya, yaitu orang-orang yang juga memiliki persoalan serupa baik dalam hal narkoba maupun HIV dan bisa tetap produktif bahkan berprestasi.
Selain konsumen narkoba dan ODHA, stakeholders Rumah Cemara yang dikategorikan sebagai penerima manfaat adalah kelompok-kelompok yang dimarginalkan di masyarakat seperti anak-anak jalanan, mereka yang mengalami ketidakadilan gender, mengalami diskriminasi dalam pekerjaan, dalam memperoleh layanan kesehatan, pendidikan, serta bertempat tinggal tidak layak.
Tentu saja, Rumah Cemara tidak dapat sendirian dalam memperbaiki keadaan tak memuaskan yang dialami para penerima manfaat ini. Untuk itu, selain penerima manfaat, Rumah Cemara juga menetapkan jaringan kerja bagi mereka sebagai salah satu sasaran kerjanya.
Jaringan kerja adalah entitas yang bekerja untuk dan bersama para penerima manfaat. Entitas ini bisa berupa organisasi nonpemerintah, jajaran pemerintah dan fasilitas pelayanannya, institusi-institusi pendidikan, penelitan, atau peningkatan kapasitas komunitas, serta kelompok-kelompok relawan yang ada tergantung bidang yang diminati, misalnya olahraga, spiritualitas, kesehatan, atau ekonomi.
Bersama jaringan-jaringan kerja seperti ini, perwujudan visi Rumah Cemara, yaitu Indonesia tanpa stigma dan diskriminasi di mana semua memiliki kesempatan yang sama untuk maju, memperoleh layanan persoalan narkoba dan HIV-AIDS yang bermutu, serta dilindungi sesuai konstitusi, menjadi lebih realistis.
Tanpa stakeholders berupa jaringan-jaringan yang bekerja untuk dan bersama penerima manfaat sebagai stakeholders utama, Rumah Cemara tidak akan mampu turut serta dalam upaya perubahan yang dibutuhkan agar layanan terhadap kelompok marginal lebih ramah, bermutu, dan bisa diperoleh menggunakan sistem yang berlaku secara nasional (dalam hal kesehatan, sistem yang dimaksud adalah Jaminan Kesehatan Nasional [JKN]).
Perubahan yang dibutuhkan seperti digambarkan paragraf di atas tidak hanya perubahan pada sikap aparat dari yang cemberut, sebagai contoh, menjadi tersenyum saat memberi layanan. Perubahan yang dimaksud setidaknya terjadi pada tiga aras yaitu naskah kebijakan publik atau hukum, pelayanan aparat berdasarkan hukum, dan budaya hukum yang juga dilakukan oleh para penerima manfaat dan masyarakat umum. Ketiga hal ini lazim dikenal sebagai perubahan kebijakan atau advokasi.
Dalam dokumen resminya, Rumah Cemara menetapkan sasaran kerja ketiga setelah penerima manfaat dan jaringan kerja, yaitu jaringan advokasi. Jaringan ini terdiri dari kelompok penerima manfaat yang memperjuangkan hak-haknya sebagai warga negara, akademisi, media massa, seniman, tokoh-tokoh dan kelompok masyarakat serta stakeholders dan mitra kerja lainnya yang sevisi.