close
Covid-19 (6)
Ilustrasi: EPM Magazine

Sejak 2003, dua belas jenis vaksin palsu telah terdistribusi dan digunakan sejumlah rumah sakit di berbagai wilayah Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri 23 Juni lalu di Mabes Polri, Jakarta.

Pengungkapan kasus tersebut tentu menjadi ‘tamparan’ keras bagi sistem kesehatan nasional. Bagaimana tidak, pada 1956, Indonesia telah dinyatakan bebas penyakit cacar oleh WHO. Penyakit lain yang bisa dicegah melalui imunisasi (vaksinasi) adalah polio, dan Indonesia menerima sertifikat bebas penyakit tersebut dari WHO pada 2014.

Pekan Imunisasi Nasional (PIN) adalah program Kementerian Kesehatan RI yang terutama untuk mewujudkan “Indonesia Bebas Polio” dan telah diselenggarakan sejak 1995. Promosi PIN dilakukan melalui seluruh kanal media termasuk pengeras-pengeras suara masjid.

Saat ini, imunisasi bagi balita telah menjadi kesadaran diri setiap orang tua di Indonesia. Secara berkala, orang tua mendatangi tempat-tempat layanan kesehatan untuk mengimunisasi balitanya. Dari yang wajib seperti BCG, Hepatitis B, Polio, DTP, dan Campak, sampai untuk Tifoid dan Influenza.

Celakanya, kedua belas vaksin yang dipalsukan sejak 2003 tersebut, beberapa di antaranya untuk imunisasi wajib termasuk untuk mencegah polio. Para pelaku mengaku, bahan baku utama produk-produk yang mereka jual itu adalah cairan infus dan antitetanus. Jelas, kedua cairan tersebut tidak memiliki khasiat imunisasi campak atau polio, misalnya. Lantas, masihkah Sertifikat Indonesia Bebas Polio berlaku?

Sudah barang tentu, terdapat keuntungan besar dari pemalsuan tersebut. Rasa kemanusiaan para pelaku tunduk oleh kebiadabannya, demi uang. Bisnis mereka pun berjalan selama tiga belas tahun. Dan saya yakin, jika tidak ketahuan, mereka pasti terus melakukannya.

Pernyataan PLT Kepala BPOM menanggapi terungkapnya kasus ini menimbulkan keheranan saya. Menurutnya, maraknya penjualan vaksin palsu dikarenakan tingginya permintaan vaksin murah dari masyarakat. Permintaan tersebut, berasal dari luar pemerintah yang kebanyakan sudah memakai sembilan vaksin gratis.

Baca juga:  Revisi UU Narkotika Harus Sikat Aparat Korup

Jika sudah terdapat vaksin gratis, mengapa permintaan vaksin murah dari masyarakat masih tinggi? Apakah vaksin merupakan komoditas pasar bebas sehingga terjadi persaingan harga antarprodusen? Apa peran negara dalam urusan ini?

BPOM sendiri telah menemukan adanya vaksin yang tidak sesuai persyaratan sejak 2008. Modus ketika itu umumnya penjualan vaksin yang melewati masa kedaluwarsa. Pada 2013, GlaxoSmithKline (GSK), perusahaan obat asal Inggris yang juga memproduksi vaksin di Indonesia, melaporkan adanya pemalsuan produk buatannya. Lalu, yang diungkap Juni ini adalah berdasarkan laporan dari PT Sanofi-Aventis, produsen obat asal Perancis.

Produk-produk vaksin yang dipalsukan adalah buatan perusahaan-perusahaan farmasi yang tidak masuk skema pelaksanaan imunisasi dasar gratis kepada masyarakat. Skema ini, sebagaimana dimaksud PLT Kepala BPOM, melibatkan PT Biofarma, BUMN pembuat vaksin selaku produsen, BPOM selaku pengawas produk, dan didistribusikan secara reguler ke dinas kesehatan untuk kemudian disalurkan ke puskesmas maupun rumah sakit.

Memang, Pemerintah RI telah menggratiskan imunisasi wajib melalui skema di atas. Namun tidak seperti PIN, program ini tidak dipromosikan secara meluas. Banyak yang tidak mengetahuinya. Padahal, UU Kesehatan mewajibkan pemerintah memberikan imunisasi lengkap kepada setiap bayi dan anak.

Harus diakui bahwa pemalsuan-pemalsuan vaksin muncul seiring dengan komersialisasinya. Selain Biofarma, terdapat tiga perusahaan swasta produsen vaksin di Indonesia. Jika produk-produk Biofarma disalurkan melalui skema program imunisasi wajib pemerintah yang gratis, maka produk-produk serupa (vaksin wajib) buatan perusahaan swasta disalurkan melalui pasar. Di pasar, baik pasokan, permintaan, maupun harga bisa saling memengaruhi.

Ilmu ekonomi paling dasar mendefinisikan pasar sebagai tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi barang atau jasa.

Selain produsen swasta (penjual) dan masyarakat yang tidak mengetahui program imunisasi pemerintah (pembeli), rumah sakit dan klinik adalah penopang pasar vaksin wajib di Indonesia. Produsen, yang merupakan pabrik obat, tidak dapat menyerahkan produk-produknya sebagai layanan imunisasi kepada masyarakat. Penjual dan pembeli ini bertemu di tempat layanan kesehatan (klinik dan rumah sakit). Hubungan ketiganya dilandaskan motif mencari laba.

Baca juga:  Cerita di Balik Senyum

Motif mencari laba inilah yang kerap mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan. Jangankan pelaku pemalsuan, banyak produsen obat resmi yang menghalalkan berbagai cara agar perusahaannya menghasilkan laba maksimal. Francis Weyzig (2004) mencontohkan, para dokter diberikan hadiah-hadiah yang sangat menggiurkan ketika banyak meresepkan produk dari perusahaan tertentu atau pejabat kesehatan setempatnya disuap.  

Pemalsuan produk perusahaan multinasional erat kaitannya dengan konsep globalisasi. Produk-produk ternama perusahaan ini dipasarkan di negara-negara berkembang yang kemudian banyak diidamkan, menjadi produk bergengsi di masyarakatnya. Indonesia merupakan pasar potensial karena jumlah penduduk dengan tingkat perekonomian yang sedang berkembang.

Harga produk turut memperhitungkan hak cipta, pendaftaran merk dagang ke organisasi perdagangan internasional, dan pajak. Karenanya relatif tinggi bagi penduduk negara berkembang. Maka, cara mudah sejumlah produsen untuk mendulang laba dari potensi pasar ini adalah memalsukan produk-produk bermerk terkenal.

GSK, MSD, dan Sanofi-Aventis memang dirugikan kala produk-produknya dipalsukan, namun yang paling dirugikan sesungguhnya adalah masyarakat dengan atau tanpa adanya pemalsuan. Imunisasi adalah hak setiap anak Indonesia dan pemerintah wajib memberikannya. Hal ini adalah amanat UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Ketentuan UU tersebut secara hukum mengikat pemerintah untuk menguasai produk-produk yang diperlukan dalam imunisasi. Pengusasaan vaksin ditujukan untuk memastikan setiap anak Indonesia mendapatkannya. Karena dikuasai pemerintah dan diberikan secara gratis ke masyarakat, maka adanya praktik jual beli vaksin wajib tidak dapat dibenarkan.

Faktanya, pemerintah mengeluarkan izin kepada sejumlah perusahaan swasta untuk memasarkan vaksin wajib ke masyarakat. Masyarakat pun dibiarkan tidak mengetahui haknya beserta kewajiban pemerintah dalam urusan imunisasi ini, sehingga menjadi pasar potensial komersialisasi vaksin wajib.   

Baca juga:  Lagi Happening: Laporan Kekerasan Seksual Daring

Di titik tertentu, terdapat persaingan antarprodusen dalam memasarkan vaksin wajib karena terdapat lebih dari satu produsen yang diizinkan beroperasi di Indonesia. Selain mutu, persaingan harga juga terjadi di pasar vaksin wajib ini. Dalam persaingan harga, produk-produk palsu menjadi pemenangnya. Perkara inilah yang membuat vaksin palsu mendapat pasar selama ini, rumah sakit dan klinik yang juga memiliki motif mencari laba.

Dalam kasus pemalsuan vaksin yang diungkap belakangan ini, saya menganggap, pemerintahlah yang bersalah. Saya harus menggunakan kata “bersalah” karena ini menyangkut urusan nyawa manusia, bayi dan anak-anak. Kata “bersalah” juga saya gunakan karena saat ini pemerintah sangat bisa melakukan perbaikan (menebus kesahalan) melalui hal-hal berikut:

Pertama, mempromosikan adanya vaksin-vaksin yang bisa diperoleh masyarakat secara gratis melalui program imunisasi pemerintah. Promosi juga meliputi hak imunisasi bayi dan anak sesuai amanat UU Kesehatan sebagaimana yang dilakukan untuk PIN. Promosi ini untuk menghapuskan permintaan vaksin wajib dari masyarakat di pasar komersial.

Kedua, menguasai seluruh vaksin wajib sehingga tidak ada lagi yang diperjualbelikan di layanan-layanan kesehatan. Pemerintah RI harus membela kesehatan warganya di hadapan sidang WTO yang mungkin akan terjadi kala perusahaan-perusahaan swasta tidak bisa lagi memasarkan produknya di Indonesia. Hal ini juga merupakan amanat konstitusi, bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Penguasaan ini harus dilakukan karena terbukti bahwa pasar komersial vaksin dan persaingan di dalamnya telah memunculkan produk-produk palsu. Pemalsuan tidak hanya merugikan produsen namun terlebih masyarakat Indonesia. Dan, jika pasar dan bisnis vaksin ini tidak diambil alih negara untuk memastikan seluruh warganya memperoleh imunisasi, niscaya kasus-kasus pemalsuan seperti yang diungkap Polri baru-baru ini akan terus terjadi.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.