close
FeaturedKebijakan

Tumpang Tindih Layanan Kesehatan, Penegakan Hukum, dan Pengawasan Narkoba: Layakkah BNN Dipertahankan?

20221112_163415

Beberapa waktu lalu, saya beradu pendapat dengan seorang kolega saat mengulas benzo (alprazolam, clonazepam, dsb.) untuk pengobatan gangguan cemas. Ketika itu kami sedang “menginterogasi” seorang praktisi kesehatan jiwa yang bilang kalau pengidap kecemasan atau gangguan kejiwaan pada umumnya bisa mendatangi layanan kesehatan publik seperti puskesmas termasuk di antaranya klinik yang disediakan Badan Narkotika Nasional (BNN).

Mendengar BNN, kontan saya menanggapi, kalau lembaga itu punya kesan sebagai tempat yang menangani kecanduan dan penyalahgunaan narkoba. Alih-alih nyaman, orang yang butuh perawatan kesehatan jiwa akan lebih merasa terstigma alias dicap buruk dan justru menghindari untuk datang berobat ke sana.

Lalu kolega saya itu, sebutlah Mawar namanya, segera menyanggah kalau yang saya katakan itu adalah stigma terhadap BNN. Saya pun enggan berargumentasi lebih lanjut karena merasa tidak pada tempatnya.

Maka di sinilah saya curahkan argumen berupa opini soal badan negara yang dilahirkan dua puluh tiga tahun silam itu.

Kredibilitas

Tulisan ini bukan ditujukan untuk melanjutkan adu pendapat saya dengan Mawar, karena itu adalah perdebatan semantik alih-alih substantif. Waktu itu dia menegaskan kalau konotasi, diksi untuk merevisi “kesan” yang saya ucapkan sebelumnya, artinya sama dengan stigma.

Maaf ya, Mawar, konotasi itu netral sementara, stigma itu negatif.

Di situ, Mawar telah secara ugal-ugalan menyampaikan keterangannya. Apa yang dilakukan Mawar mungkin sama ugal-ugalannya dengan keterangan mengenai sejarah BNN di situs resmi mereka yang baru saja saya buka.

Di situs itu tertulis, “Berdasarkan kedua UU tersebut (tentang narkotika dan psikotropika 1997 – pen.), Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid [yang benar Abdurrahman – pen.]) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999.”

Bukan hanya typo untuk nama lengkap Gus Dur, lembaga ini juga menunjukkan kesembronoannya menyebut bahwa Presiden RI keempat itulah yang membentuk badan ini melalui keputusan tertulisnya. FYI, yang menandatangani keppres tentang Badan Koordinasi Narkotika Nasional (nama sebelum jadi BNN) adalah Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden RI ketiga pada 29 September 1999.

Sejauh keterbatasan ingatan saya, perilaku macam ini juga pernah ditunjukkan pimpinannya kala itu, Budi Waseso saat berkunjung ke Gayo Lues, NAD pada Februari 2018. Di kesempatan itu, Buwas, begitu ia karib disapa, menyampaikan kalau di Indonesia terdapat 6,4 juta konsumen (tentu saja ia memakai diksi “penyalah guna”) narkoba dan itupun hanya dari 17 provinsi.

Di mana letak ugal-ugalannya?

Dua bulan sebelumnya, komisaris jenderal polisi itu menandatangani laporan Survei Nasional Penyalahgunaan Narkoba di 34 Provinsi Tahun 2017. Laporan ini memperkirakan, 3,3 jutaan penduduk Indonesia usia 10-59 tahun mengonsumsi narkoba sepanjang 2017. Di laporan itu disebut pula perkiraan jumlah seluruh penduduk yang pakai narkoba pada 2014, yaitu antara 3,8-4,1 juta. Nilai tengahnya, 3,95 juta penduduk.

Saya pakai saja perkiraan jumlah yang lebih tinggi meski itu adalah estimasi tiga tahun sebelumnya, yakni 3,95 juta. Pertanyaannya, bagaimana Buwas bisa melonjakkan angka sampai 2,45 juta (6,40 dikurang 3,95 juta) konsumen narkoba dari data dalam laporan yang ditandatanganinya sendiri dua bulan sebelumnya saat bicara ke publik?

Ketidak-kredibelan BNN juga ditunjukkan saat gagal menyampaikan ke publik hasil kajian yang mereka klaim menunjukkan, bahwa ganja yang tumbuh di Indonesia berbeda dengan yang tumbuh di Eropa atau Amerika sehingga tidak bisa dijadikan bahan baku obat. Hal itu disampaikan untuk menolak deklasifikasi ganja menjadi zat yang berkhasiat medis dan tidak merugikan kesehatan pada Desember 2020 oleh PBB enam bulan sebelumnya.

Mereka pun mengeklaim, tanaman ganja yang tumbuh di Indonesia lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya seperti peningkatan angka orang sakit dan kematian akibat maraknya konsumsi ganja. Terus terang, saya malu dengan pendapat tak berdasar dari pejabat negara yang saya cintai ini. Soalnya di antero jagat, hingga sekarang belum pernah dilaporkan kematian akibat overdosis an sich ganja.

BNN pun saya anggap tidak kredibel kalau tidak ingin menyebutnya gagal dalam menjamin hak rehabilitasi medis dan sosial sebagai tujuan UU Narkotika. Pasalnya, setelah delapan tahun peluncuran proyek percontohan tim asesmen terpadu untuk implementasi Peraturan Pemerintah tentang Wajib Lapor Pecandu Narkotika, tim ini hanya melayani 1.575 (3,69 persen) dari 42.694 tersangka kasus narkoba untuk dirujuk ke program rehab pada 2019.

Tentu saja ada kasus-kasus lain yang menunjukkan kalau BNN tidak kredibel. Tapi dalam tulisan ini, saya batasi pada empat kasus itu saja.

Legitimasi Kelembagaan

Lantaran tidak memiliki personel dan anggarannya dialokasikan dari Mabes Polri, maka melalui keputusan presiden pada 2002, BKNN berubah nama menjadi BNN. Tapi anehnya meski kata “koordinasi” dihapus dari nama badan ini, tupoksinya masih mengoordinasi instansi-instansi pemerintah dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba.

Baca juga:  Cukup Menkes yang Legalkan Narkoba

Badan ini pun mendapat alokasi dana dari APBN, tidak lagi menumpang anggaran Polri, sejak 2003.

Dinilai tidak dapat bekerja optimal dan tidak akan mampu hadapi masalah narkoba yang terus meningkat nan serius kalau hanya mengoordinasi instansi pemerintah lainnya, maka diterbitkanlah Peraturan Presiden RI No. 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota yang masing-masing bertanggung jawab langsung kepada pimpinan di tiap jenjang administrasi pemerintahan.

Sebagai informasi, anggaran BNN dari pemerintah pusat setahun pascaterbitnya perpres tersebut menjadi sebesar 264 miliaran rupiah, naik dari 152 miliaran rupiah pada 2004.

Seolah tak bisa bekerja optimal bila hanya diakomodasi oleh keputusan ditambah peraturan presiden, lewat proses revisi UU RI No. 5 dan 22 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Narkotika, entah bagaimana badan ini terlegitimasi dalam UU hasil revisi tersebut. Tak tanggung-tanggung, ketentuan mengenai BNN tertuang dari Pasal 64 hingga 92 (total 28 pasal) UU Narkotika yang berlaku sejak 2009 itu.

Dari 28 pasal tadi, 22 di antaranya merupakan ketentuan soal kewenangan BNN dalam penegakan hukum pidana, mulai dari penyelidikan hingga pemusnahan barang bukti sitaan yang lazimnya hanya dapat dilakukan dalam kerangka pelaksanaan putusan pengadilan.

Kalau kewenangan pengadilan saja bisa dilabrak, apalagi ketentuan masa penangkapan yang bisa dilakukan anggota Polri yang sebatas 1 kali 24 jam menurut KUHAP. Saat dilakukan oleh penyidik BNN menurut UU Narkotika ini, batas masa penangkapannya menjadi 3 kali 24 jam dan dapat diperpanjang hingga 3 kali 24 jam lagi.

Jumlah ketentuan, termasuk kewenangan BNN dalam hal pemidanaan yang berlebihan di UU Narkotika saat ini sebenarnya mengingkari tujuan merevisi UU sebelumnya. Latar belakang pertama yang melandasi revisi tersebut adalah meluasnya penyebaran HIV-AIDS. Karenanya saat Rapat Badan Musyawarah ke-1 pada 2005, Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan diserahkan tugas membentuk Panitia Khusus RUU Narkotika.

Keberatan yang sama dalam Menggugat Perang terhadap Narkoba (2018) saya ulangi, “Bukankah revisi sebuah UU dilakukan lantaran adanya dampak negatif, dalam hal ini meluasnya penularan HIV, dalam pelaksanaannya? Kalau tahu hasilnya akan seperti ini, sejak awal saja Sidang Umum MPR memandatkan kepada Presiden bersama DPR RI untuk memperberat sanksi serta melegitimasi BNN dalam UU Narkotika, bukan merevisinya.”

Peran yang Diada-Ada

Saya akan mengulas hal ini melalui perbandingan dengan lembaga bentukan negara lainnya bernama Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat nasional yang dibubarkan pada 2017. Mungkin perbandingannya tidak sepadan alias apple to apple, tapi izinkan saya menguraikannya.

Sama seperti BNN, KPA juga awalnya dibentuk melalui sebuah keputusan presiden pada 1994. Bila pimpinan BNN dijabat oleh Kapolri, maka ketua KPA dijabat oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI. Keduanya dipimpin oleh seorang pejabat secara ex-officio.

Di fase ini, keanggotaan KPA lebih prestisius, yakni sembilan menteri. Wakil ketuanya pun terdiri dari empat menteri untuk empat bidang. Sementara anggota BKNN ialah pejabat di tujuh belas instansi pemerintahan baik departemen (nama yang digunakan sebelum kementerian) maupun kantor menteri negara ditambah Polri, Kejaksaan Agung, dan Bank Indonesia.

Meski di pasal mengenai kegiatan KPA tidak menyebut “koordinasi”, tapi dari jabatan ketuanya yang seorang menteri koordinator sebenarnya sudah menegaskan tupoksi komisi ini. Kalau BKNN, dari namanya saja kan sudah mengeksplisitkan tugasnya.

Beranjak ke fase berikutnya. Dua belas tahun pascapembentukannya, Presiden RI menerbitkan peraturan tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Kenaikan “kasta” akomodasi kelembagaan melalui kebijakan presiden juga terjadi pada BNN setelah lima tahun namanya diubah dari BKNN sebagaimana saya ulas di subjudul sebelumnya.

Berbeda dengan BNN, sampai dibubarkan pada 2017, KPA tidak pernah terlegitimasi dalam UU manapun. Menurut saya pembubaran KPA sudah tepat, dan akan tepat pula bila diaplikasikan untuk BNN. Begini pasalnya,

Penularan HIV, virus penyebab AIDS, merupakan persoalan kesehatan. Di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini, rakyat sudah memberi mandat kepada presiden untuk mengurus persoalan kesehatan. Sejak republik ini didirikan, lembaga di bawah presiden untuk urusan ini sudah ada, namanya Departemen (atau sekarang Kementerian) Kesehatan RI.

Kalau mau efektif, upaya-upaya pencegahan, pengobatan, pendidikan, hingga kebijakan penanggulangan HIV-AIDS diserahkan saja ke kementerian ini alih-alih membentuk lembaga baru yang berarti beban baru bagi negara. Kekhilafan pemerintah membentuk KPA mungkin menjadi pelajaran berarti buat keadaan-keadaan lain yang dianggap darurat tapi lembaga negara yang mengurus sektornya sudah eksis dengan infrastruktur yang tersebar.

Sebagai ilustrasi, saat membentuk KPA, negara ini sudah punya fasilitas kesehatan publik bernama puskesmas yang tersebar hingga ke tingkat desa. Di keppres pembentukannya, komisi ini dibentuk dalam rangka pencegahan dan penanggulangan AIDS. Sebagai tambahan, pembentukan komisi ini juga untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya AIDS dengan kegiatan meliputi pencegahan, penyuluhan, pelayanan, pemantauan, dan pengendalian AIDS.

Baca juga:  Menuju Jalan Panjang Pelegalan Mariyuana di Indonesia

Dalam dokumen-dokumen pemerintah, tupoksi puskesmas sebenarnya jauh lebih sigap dan komprehensif untuk menghadapi HIV-AIDS sebagai masalah kesehatan masyarakat ketimbang pembentukan sebuah komisi untuk peran yang sama.

Saya ambil contoh untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap penularan HIV. Peraturan Menteri Kesehatan RI tentang puskesmas mencantumkan kewenangan puskesmas menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah kesehatan (termasuk penularan HIV) pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang bekerja sama dengan pimpinan wilayah dan sektor terkait lain.

Dalam hal pencegahan, penyuluhan, pelayanan, pemantauan, dan pengendalian AIDS, mandat puskesmas tegas ditujukan untuk melakukan semua yang tertulis dalam keppres pembentukan KPA itu.

Jadi modal kelembagaan dan sosial upaya penanggulangan HIV-AIDS yang dicananangkan PBB sebagai pertimbangan pembentukan KPA, sebenarnya sudah dimiliki negara ini bahkan sejak di tempat-tempat kesehatan publik tingkat desa di bawah komando Kementerian Kesehatan RI. Adanya komisi khusus yang sama-sama mengurus kesehatan malah melemahkan sistem kesehatan masyarakat nasional yang sudah eksis.

Lalu bagaimana dengan BNN? Apakah kondisinya sama dengan KPA sesuai dengan yang saya uraikan?

Menurut saya, eksistensi kelembagaan BNN ini lebih problematik ketimbang KPA yang sudah dibubarkan melalui Peraturan Presiden RI No. 124 Tahun 2016.

Sebagaimana telah saya nyatakan, entah bagaimana badan ini bisa terlegitimasi dalam UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Padahal, UU Narkotika yang berlaku sejak Indonesia merdeka memandatkan kewenangan untuk urusan narkotika ini kepada Menteri Kesehatan mulai dari perencanaan kebutuhan tahunan narkotika dalam negeri, produksi, penentuan narkotika mana yang bisa dimanfaatkan untuk pengobatan dan iptek, impor dan ekspor, peredaran/ distribusi dan penyerahan, sampai label dan publikasi.

Fungsi pengawasan atas berbagai kewenangan Menkes untuk urusan-urusan narkotika tadi diserahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI sebagaimana rumusan UU.

Bagaimana dengan pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam UU? Kewenangan pendindakannya diemban oleh siapa? Jawabannya tergantung dari jenis pelanggarannya. Misalnya, sebuah pedagang besar farmasi yang telah diberi izin oleh Menkes untuk mengimpor narkotika melanggar ketentuan batas, maka tindakan diberikan oleh Menkes dengan mencabut izinnya.

Atau misalnya lagi, dalam pemanfaatan narkotika untuk kesehatan, ternyata kandungannya melebihi standar yang ditetapkan atau diedarkan di luar ketentuan. Maka Badan POM RI bisa menindak produsen dan distributor dengan sanksi adminstratif bahkan pidana. Nah kalau untuk urusan pidana, tentu sistem hukum pidana (polisi, jaksa, pengadilan, hingga penjara) yang turun tangan.

Tumpang Tindih Peran

Pada dasarnya, UU narkotika bertujuan menjamin ketersediaannya untuk pelayanan kesehatan dan/ atau pengembangan iptek. Atas tujuan itulah, maka dari UU 1976 sampai 2009 kewenangan pengelolaannya diserahkan kepada Menteri Kesehatan dan Badan POM RI untuk pengawasannya, bahkan untuk narkotika golongan satu yang dikategorikan hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan sains lantaran berpotensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Menurut Pasal 41 UU 2009, narkotika golongan satu hanya dapat disalurkan oleh pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan iptek. Di pasal berikutnya disebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyalurannya diatur dengan Peraturan Menteri.

Pertanyaannya, kenapa selama ini narkotika golongan satu macam ganja, sabu, ekstasi tidak pernah ada yang mengelolanya dengan mekanisme yang telah diatur UU? Ini lantaran “perang terhadap narkoba” yang digelorakan sejak 1971 lengkap dengan berbagai propagandanya sukses menjadikan narkotika golongan ini sebagai komoditas bisnis dengan cuan hingga belasan ribu persen.

Kalau mengikuti ketentuan UU, konsumennya adalah peserta penelitian atau relawan uji coba klinis pengobatan yang jumlahnya mungkin tidak seberapa dibanding bila komoditas ini diserahkan kepada sindikat kejahatan dan diedarkan di jalanan alih-alih lembaga sains. Maka yang kemudian terjadi, penanganan sebutlah ganja sejak 1970-an kebanyakan dilakukan oleh polisi untuk “memerangi” produksi-distribusi-konsumsi ilegalnya.

Atas maraknya psikotropika yang diedarkan di jalanan Indonesia sejak akhir 1980-an tanpa bisa dijerat hukum, maka tujuan UU pun ditambah pada 1997, yakni untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dan memberantas peredaran gelapnya. Ini dilakukan segera setelah Indonesia meratifikasi Konvensi PBB tentang Zat-Zat Psikotropika 1971 dan Konvensi PBB tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988.

Jadi kalau pelanggaran di luar mekanisme UU Narkotika yang berada di bawah kewenangan menteri seperti penyelundupan atau peredaran narkoba jalanan, maka ini adalah urusan kepolisian. Inipun berlaku untuk komoditas lain seperti pangan, pertanian, barang elektronik, bahan bakar, dll. Penyelundupan, produksi, dan ditribusi gelap urusannya pidana.

Sama halnya dengan pembentukan KPA pada 1994, izinkan saya menggunakan frasa bahwa pemerintah gagap merespons persoalan AIDS dan narkoba saat itu. Maka untuk mengefektifkan penanggulangan masalah-masalah ini, presiden membentuk lembaga baru macam KPA dan BKNN yang tugasnya mengoordinasi kementerian atau lembaga negara yang sebenarnya sudah puluhan tahun mengurus persoalan kesehatan untuk penularan HIV dan pengelolaan pengobatan serta penyelundupan komoditas dalam urusan narkotika.

Baca juga:  Deteksi Kanker: Kenapa Risi Periksa Payudara Sendiri?

Sebenarnya kalau mau dianalisis lebih mendalam lagi, ada juga sih peran lembaga internasional dan negara adidaya dengan gelontoran dananya dalam pembentukan keduanya. Tapi itu saya ulas lain kali saja. Sekarang, saya akan membedahnya dari tumpang tindih peran lembaga-lembaga negara ini.

Pada UU 2009, di mana BNN terlegitimasi di dalamnya, tujuannya bertambah satu lagi, yakni menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi mereka yang ketagihan konsumsi narkoba.

Di dalam struktur organisasi BNN yang sekarang ini, setidaknya terdapat dua satuan kerja yang tugasnya tumpang tindih dengan lembaga negara yang sudah eksis sejak republik ini merdeka, yakni bidang pemberantasan dan rehabilitasi. Pemberantasan itu tugasnya sistem hukum pidana dari kepolisian sampai pengadilan, lalu rehabilitasi ketagihan narkoba merupakan tugas Kementerian Kesehatan dan Sosial RI.

Di awal saya sudah beberkan, dalam UU 2009 terdapat 28 pasal tentang BNN di mana 22 di antaranya soal kewenangan dalam penegakan hukum pidana sejak dari penyelidikan, yang sudah jadi tupoksinya polisi, hingga pemusnahan barang bukti yang merupakan kewenangan pengadilan.

Sejak lahir 23 tahun silam lewat keputusan presiden, badan ini selalu dipimpin oleh polisi meski waktu itu masih secara ex-officio. Lalu walaupun di UU tidak terdapat ketentuan kalau badan ini fardu dipimpin polisi, tapi kenyataannya sudah lima jenderal polisi yang jadi pimpinan badan ini selama tiga belas tahun berlakunya UU tersebut.

Kepemimpinan seorang jenderal polisi ini mempertegas tumpang tindih peran BNN dengan Polri yang juga memiliki Direktorat Tindak Pidana Narkoba yang dipimpin jenderal bintang satu. Hal ini dalam pandangan saya hanya menghamburkan uang rakyat dalam pemberantasan peredaran gelap narkoba. Negara membiayai dua lembaga, Polri juga BNN untuk urusan ini. Apa namanya kalau bukan pemborosan?

Buat urusan rehabilitasi bahkan lebih semrawut lagi. Apa urusannya polisi yang tugasnya menegakkan hukum pidana sebagai pucuk pimpinan BNN dengan kesehatan dan/ atau sosial dalam merehabilitasi orang-orang yang ketagihan narkoba?

Masuk ke persoalan anggaran. Misalnya saat rapat dengan Komisi III DPR RI pada pertengahan tahun lalu, BNN mengajukan tambahan anggaran 68,8 miliar rupiah yang akan digunakan untuk operasionalisasi serta sarana dan prasarana layanan rehabilitasi, peningkatan kapasitas SDM, dan penyediaan peralatan medis.

Canggihnya lagi, beberapa anggota komisi itu menilai usulan penambahan anggaran yang diajukan terlalu sedikit jika dibandingkan dengan ruang lingkup serta tupoksi BNN sebagai leading sector penanganan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia.

Sebagai tambahan informasi, pagu indikatif anggaran 2022 yang diterima BNN lebih dari 1,6 triliun rupiah. Di rapat itu, mereka mengajukan tambahan anggaran 1,2 triliunan rupiah lagi sehingga total anggaran BNN pada 2022 menjadi 2,83 triliun rupiah.

Lalu apa gunanya fasilitas-fasilitas rehabilitasi ketagihan narkoba yang selama ini dimiliki Kementerian Kesehatan dan Sosial RI beserta metodologi dan SDM-nya jika BNN mengoperasikan fasilitas dan meningkatkan kapasitas SDM-nya sendiri untuk merehabilitasi orang-orang yang ketagihan narkoba?

Meningingat anggarannya yang terus meningkat selama dua dekade terakhir, dari 152 miliar rupiah pada 2004 sampai 2,83 triliun rupiah pada 2022, dengan kredibilitas yang buruk dan justru melemahkan peran lembaga-lembaga negara yang sudah mapan seperti Kementerian Kesehatan, Badan POM, dan Polri, maka pemerintah dan parlemen yang tugasnya mengawal efisiensi anggaran sudah saatnya bertafakur atas keberadaan BNN.

Pembubaran KPA melalui sebuah peraturan presiden yang diterbitkan pada 2016 menjadi pelajaran berharga untuk menata kembali dan memperkuat institusi-institusi yang sudah mapan dan sesuai dengan tugas pokok, fungsi, serta kewenangannya dalam mengurus persoalan narkotika di negeri ini alih-alih membesarkan BNN.

Lembaga yang relatif baru ini selain menghamburkan uang rakyat dengan hasil yang kontraproduktif, ditunjukkan dengan statistik konsumsi narkoba yang tidak berubah sejak 2003 tapi anggarannya sudah naik lebih dari 18 kali lipat, pola kerja dan kepemimpinannya pun sama dengan lembaga penegak hukum yang sudah lebih mapan, yakni Polri. 

Maka revisi UU Narkotika yang sedang berproses saat ini bisa dijadikan momentum untuk mempertimbangkan ulang keberadaan BNN yang tugasnya sebenarnya sudah lebih dari cukup dikerjakan oleh Kementerian Kesehatan, Badan POM, dan Polri. Dari ketidakefektivannya selama ini, alih-alih menjadi solusi, BNN merupakan bagian dari persoalan narkoba di Indonesia selama dua dekade terakhir ini.

Patri Handoyo

The author Patri Handoyo

Pencinta makhluk hidup. Berkesenian selama hayat masih dikandung badan. Peneliti partikelir dan pelaku pendidikan alternatif.

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.