Badan Narkotika Nasional (BNN) beberapa minggu lalu melemparkan wacana untuk melegalisasi ganja yang sempat dimuat di sejumlah media massa. Dalam keterangannya, dijabarkan bahwa yang akan dilegalkan adalah ganja jenis hemp alias rami yang memiliki zat psikoaktif – memengaruhi susunan syaraf pusat atau bikin mabuk lebih sedikit jika dibandingkan dengan ganja jenis lainnya.
Boleh dibilang, rami tidak memabukkan. Sebagai tanaman rumpun ganja yang menjadi bahan baku sejumlah serat untuk keperluan industri (kain, tambang, dll.), rami telah dikenal dan dibudidayakan sejak lama sebelum akhirnya dimasukkan ke dalam daftar tanaman terlarang di berbagai belahan dunia.
Legalisasi sebenarnya bisa saja menjadi cara mengatasi masalah-masalah narkoba yang hingga saat ini terus meningkat. Mulai dari penuhnya penjara, yang rata-rata adalah pelanggar kasus narkoba ilegal kambuhan, dan kebanyakan adalah konsumen, hingga semakin kompleksnya masalah sosial dan kesehatan mereka.
Data-data menunjukkan peningkatan kasus dari tahun ke tahun baik jumlah konsumen, jumlah kasus, serta jumlah terpidana kasus narkoba. Padahal upaya-upaya untuk memberantasnya juga terus ditingkatkan.
Revisi UU Narkotika dan peluncuran UU Psikotropika di akhir 90-an, pembentukan Badan Narkotika Nasional, pembentukan Kesatuan Narkoba di tiap kepolisian resor, dan badan-badan antinarkoba hingga tingkat kelurahan merupakan sejumlah upaya demi menanggulangi masalah narkoba di Indonesia dengan mengedepankan pemberantasan. Sebisa mungkin, jangan sampai ada narkoba ilegal yang beredar!
Inkonsistensi antara tindakan dan hasil merupakan bahan refleksi bagi kerja-kerja pemberantasan narkoba di manapun di seluruh dunia. Ditingkatkannya anggaran untuk pemberantasan diharapkan dapat menurunkan jumlah kasus maupun konsumsinya, namun hasilnya justru terjadi peningkatan baik jumlah maupun konsumen narkoba di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Perlu dicatat bahwa pelarangan sebuah narkoba membawa peredarannya ke pasar gelap di mana produsen, pengedar, dan konsumennya tidak diketahui, terdaftar, dan terawasi. Bukan hanya itu, komposisinya pun tidak dapat diawasi, sehingga banyak narkoba yang diproduksi dan diedarkan secara gelap kualitasnya sangat rendah.
Hal ini membuat seseorang harus mengonsumsinya berkali-kali untuk mendapatkan efek yang diharapkan. Kadang hal ini membuat kematian akibat keracunan bahan campuran (sering diduga overdosis padahal bukan). Dalam situasi ini, sebenarnya produsen dapat menghasilkan narkoba siap jual dengan ongkos produksi yang sangat murah, sedikit bahan baku dan banyak bahan campuran.
Belum lagi, produksi gelap ini tidak perlu membayar pajak dan tidak perlu mendaftarkan produknya untuk mendapat sertifikat dari Badan POM atau Depkes RI, misalnya.
Biaya produksi lainnya yang murah adalah sumber daya manusia (SDM). Produk ini tidak membutuhkan banyak SDM, kalaupun ada juga bebas pajak pendapatan, bebas asuransi kesehatan, tunjangan hari tua, dll. Dengan ongkos produksi yang sangat murah ini, para produsen pun dapat menentukan harga sendiri karena tidak ada standarnya.
Tak heran jika kemudian para produsen dapat membiayai tentara lengkap dengan senjata untuk mengamankan produksi, membayar suap oknum petugas dan pejabat-pejabat yang berwenang di kepolisian atau bea cukai misalnya, untuk mengamankan distribusi, mengongkosi agen-agen distribusi (kurir) sehingga jika misalnya 1 kg yang tertangkap, 20 kg lainnya bisa beredar.
Sebuah kebijakan pelarangan yang membawa sebuah komoditas ke pasar gelap mendatangkan keuntungan tak terbatas kepada para produsennya.
Di sisi lain, konsumen harus membayar mahal narkoba yang dikonsumsinya dengan alasan maraknya pemberantasan sehingga barang menjadi langka. Namun demikian, narkoba ilegal tetap saja ada di jalanan. Karena tidak ada izin dan ketentuan resmi untuk mengedarkannya, narkoba ilegal beredar di mana-mana dan dapat diakses oleh siapa saja, termasuk anak-anak.
Mudahnya akses ini, ditambah tidak adanya persyaratan resmi untuk menjadi konsumen, membuat siapa saja yang penasaran dapat mencoba. Dan ketika seseorang pada konsumsi pertama menyukai rasanya, mereka akan membelinya lagi suatu waktu. Di beberapa kasus ada juga yang menjadi ketergantungan dan harus mengonsumsi secara rutin.
Konsumsi rutin membutuhkan biaya yang rutin pula. Tak jarang, karena sangat membutuhkan, para konsumen terpaksa harus melakukan tindakan kriminal untuk mendapatkan uang membeli narkoba. Belum lagi aparat yang mendapatkan kepemilikan narkoba ilegal pasti mengakibatkan hukuman penjara. Laporan BNN 2002-2006 menyatakan bahwa dari seluruh kasus narkoba, sekitar 73 persennya adalah pengguna (konsumen), pengedar 25 persen, dan produsen 2 persen.
Dengan kebijakan pelarangan narkoba, negara harus mengeluarkan biaya yang besar dan terus meningkat untuk pemberantasan termasuk petugas-petugas di perbatasan, intelijen, unit razia yang turun ke jalan; dan mengurus narapidana termasuk pangan dan kesehatannya, belum lagi jika terus terjadi penangkapan, berarti penjara-penjara baru harus dibangun dan disediakan petugasnya.
Sementara di dalam penjara, narkoba tetap beredar. Terakhir bahkan terdapat produksi narkoba di sebuah lapas di Jawa Timur. Namun dari upaya-upaya tersebut, keuntungan yang besar tetap terus terjadi dan negara tidak mendapatkan pemasukan sepeser pun dari keuntungan tersebut. Bahkan masyarakat menjadi tidak terlindung dari beredarnya zat-zat psikoaktif di pasar gelap ini.
Legalisasi yang diwacanakan memang perlu direncanakan dengan matang sehingga tidak terjadi seperti halnya rokok dengan tempat penjualan di mana saja, adanya promosi, dan harga ditentukan produsen. Yang perlu ditekankan adalah, regulasi di mana produsennya jelas terdaftar dengan komposisi bahan baku standar yang dapat diawasi, harga ditentukan oleh negara dan tidak ada promosi, tempat konsumsinya ditentukan dan harus tersedia di tiap wilayah untuk menghindari penjualan gelap karena jarak, konsumennya terdaftar dan memenuhi kriteria yang ditetapkan.
Dengan diregulasinya narkoba, termasuk ganja, tidak terdapat motif mengeruk laba karena harga ditetapkan atau disubsidi oleh negara, tidak beredar secara gelap dengan harga tinggi karena tersedia di tiap wilayah dengan harga terjangkau, jika perlu gratis. Informasi tentang batas aman konsumsinya dapat didiskusikan secara terbuka kepada konsumen dan keluarganya karena tidak tabu lagi untuk dibicarakan. Seluruh konsumen terdaftar dan dapat memeriksakan keadaan fisiologisnya terkait dengan konsumsi narkobanya.
Masyarakat tidak perlu lagi terlibat dalam peredaran gelap narkoba atas keuntungan yang menggiurkan. Tidak ada lagi orang yang mati akibat keracunan bahan campurannya, harus dipenjara karena kepemilikan dan konsumsi narkoba ilegal hingga mengalami kondisi-kondisi negatif yang ada di dalamnya.
Konsumsi narkoba tidak lagi berada di jalanan melainkan dengan setting medis sehingga peralatan konsumsinya steril. Untuk konsumsi dengan setting rekreasional, para penyajinya dapat dilatih untuk dapat memberikan informasi konsumsi aman dan ketrampilan memberikan pertolongan darurat jika dibutuhkan.
Regulasi narkoba pada akhirnya akan membawa pada konsekuensi sosial dan kesehatan yang terendah jika dibandingkan dengan pelarangan total ataupun legalisasi dengan promosi (liberalisasi).