close
istanbulscoreboard
Scoreboard dalam Fifteen Minutes that Shock the World

“Satu yang hilang dari generasi kami adalah sejarah remontada” – Xavi Hernandes

Remontada adalah kata dalam bahasa Spanyol yang bisa diartikan kemunculan kembali, pembalasan, atau membalikkan keadaan. Dunia sepak bola (terutama para suporter klub) tidak asing dengan istilah ini. Salah satu remontada terpopuler dalam satu dekade terakhir adalah saat Steven Gerard dkk. memenangkan Liverpool FC untuk kelima kalinya di Liga Champions 2005.

Final liga yang digelar di Istanbul, Turki tersebut mempertemukan Liverpool FC dari Inggris dengan AC Milan dari Italia. Di babak pertama, Milan unggul 3-0. Namun seusai turun minum, Liverpool dapat menyamakan kedudukan menjadi 3-3 dan dimenangkan mereka lewat adu penalti dengan skor 3-2.

Kedramatisan Liverpool FC membalikkan keadaan yang sudah terkesan tidak mungkin dimenangkannya, membuat pertandingan di Istanbul ini diabadikan dalam film Fifteen Minutes That Shook The World.

Mental, keyakinan, dan kerja keras menjadi salah satu remontada atas stereotip kekalahan baik dalam olahraga maupun kehidupan sosial. Pada 2011, saya mungkin menyebutnya sebagai awal mula momen remontada bagi Rumah Cemara.

Di tahun itu, Ginan Koesmayadi, salah satu pendiri Rumah Cemara, bernazar (janji pada diri sendiri) akan berjalan kaki dari Bandung ke Jakarta jika uang yang dibutuhkan untuk memberangkatkan Tim Nasional Sepak Bola Jalanan Indonesia ke Homeless World Cup (HWC) di Paris, Perancis terkumpul. Melalui berbagai cara pengumpulan dana, uang pun terkumpul. Timnas berangkat ke Perancis dan Ginan menepati nazarnya.

Buat banyak orang, mustahil orang dengan HIV-AIDS (ODHA) mewakili Indonesia untuk sebuah kejuaraan dunia sepak bola, apalagi sampai menjadi juara dan mengharumkan nama bangsa. Maklumlah, banyak yang menganggap ODHA sebagai orang yang kurus, lemah, penyakitan, pecandu narkoba, dan layak dikasihani jika tidak ingin menyebut layak dianggap sebagai sampah masyarakat.

Baca juga:  Perwujudan Alexandra Kollontai dalam Diri Eva Dewi

Namun berkat kegigihan, usaha, dan doa, Timnas HWC Indonesia yang diorganisir Rumah Cemara dapat berangkat ke Paris dan menduduki peringkat ke-6 di kejuaraan dunia itu.

Stigma yang kuat membuat masyarakat beranggapan bahwa pengidap HIV harus dijauhi dan sebisa mungkin tidak bersentuhan kulit. Hingga kini HIV-AIDS dikonotasikan sebagai penyakit kotor hasil perzinaan, hubungan sesama jenis, kecanduan narkoba, atau pelacuran.

Masyarakat bahkan rasanya enggan untuk mengetahui apakah penyakit itu, cara penularan, dan bagaimana mengurangi risiko terkena HIV-AIDS. Saya mengingat perkataan kolega saya, Patri Handoyo, saat hari pertama bekerja di Rumah Cemara. “Walaupun kamu bukan ODHA, masyarakat pasti masih ada yang menstigma semua yang kerja di sini, di Rumah Cemara, HIV positif,” ujarnya.

Pernyataan itu benar-benar saya alami. Teman-teman mahasiswa begitu mengetahui saya bekerja di Rumah Cemara banyak yang menganggap saya ODHA.

“Kerja di Rumah Cemara? Maneh (kamu) ODHA ?“

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana pedih dan sakit hatinya orang-orang yang mengidap HIV dengan caci maki, hinaan, dan termarginalkan. Untuk ukuran mahasiswa yang dianggap sebagai kaum terpelajar serta anak muda saja masih berpikir sempit, apalagi generasi tua dan elemen masyarakat lainnya.

Konsumsi narkoba tanpa aturan memang merusak, namun masyarakat pun harus mengetahui bagaimana barang yang telah puluhan tahun dicap buruk itu dapat masuk ke dalam negeri. Pasar gelap dan bandar narkoba tidak pernah menurun peredarannya. Bahkan semakin meluas. Namun, penyediaan kondom dan alat suntik untuk mencegah dan mengurangi jumlah penularan HIV di masyarakat kerap diartikan mendukung ‘seks bebas’ dan konsumsi narkoba tanpa aturan.

Baca juga:  Rancangan KUHP Ancam Pelayanan KB dan Informasi HIV-AIDS

Pengetahuan dasar tentang apa itu HIV-AIDS dan bagaimana penularannya dapat dipelajari dengan mudah. Sepak bola dapat dijadikan sarana untuk mendiskusikan isu-isu sosial. Seperti kita ketahui, sepak bola merupakan alat universal yang semua orang bisa memainkannya. Selain itu, sepak bola bisa menjadi alat pemersatu.

Kita selalu lupa. Seolah-olah menjadi juara, prestasi, kebanggaan, dan sorotan media massa adalah alasan mengapa olahraga antarkesebelasan ini diciptakan.

Presiden pertama FIFA, Jules Rimet, yang memelopori Piala Dunia pada 1930 memutuskan mengadakan Piala Dunia agar tidak ada lagi perang antarnegara dan banyak nyawa yang hilang. Perang bukan hanya meluluhlantakkan suatu negara tetapi juga berimbas pada perekonomian, krisis sosial, dan kemiskinan masyarakat secara global.

Saat pertama digelar, Piala Dunia tidak sesukses sekarang sebagai ajang paling bergengsi. Piala Dunia pertama diselenggarakan di Uruguay pada 1930, diperebutkan sebagai final turnamen yang hanya terdiri dari 13 tim yang diundang oleh organisasi. Saat itu ada beberapa negara yang menolak mengikutinya karena alasan tempat yang berada di Amerika Latin dan perang dunia masih terasa.

Namun kini, Piala Dunia menjadi ajang paling bergengsi di dunia olahraga. Bahkan setiap pemain bola selalu bermimpi memenangkan piala tersebut dan mempersembahkannya untuk negaranya. Tak terkecuali Lionel Messi yang hingga kini masih saja gagal mencapainya.

HWC menjadi ajang pembuktian bahwa ODHA, gelandangan, anak jalanan, pengamen, korban trafficking, atau pecandu dapat menunjukkan bahwa mereka pun tetap sama, dan haknya tidak berkurang sebagai manusia sebagaimana semestinya – termasuk hak untuk bersepak bola.

Baca juga:  Kegiatan Komunitas Gay di Tengah Wabah Korona

HIV tidak membunuh manusia, stigmalah yang membunuhnya. Remontada terhadap stigma memang menjadi hal yang sulit tetapi bukan berarti tidak mungkin. Seperti halnya sepak bola, setiap pemain, manajer, dan suporter tidak dilihat dari ras, suku, agama, dan latar belakangnya. Semua elemen itu butuh bekerja sama untuk mencapai kemenangan.

Ini sama halnya dengan memperkenalkan HIV-AIDS. Individu, masyarakat, dan pemerintah harus bersinergi untuk tujuan pengurangan dampak buruk konsumsi narkoba, mencegah penularan penyakit ini dari hubungan kelamin, dan tidak mendiskriminasi ODHA.

Tidak ada yang sia-sia dalam berusaha. Mental remontada untuk menghilangkan stigma terhadap ODHA atau konsumen narkoba perlu dipahami, bukan dihindari. Dukungan bukan hanya bersifat mengajak, tetapi tentang perjuangan dan pertarungan.

Kalimat legendaris Manajer Liverpool, Bill Shankly, bahwa sepak bola lebih penting dari sekadar urusan hidup dan mati seharusnya juga menjadi kredo yang membakar semangat para relawan, aktivis, dan pekerja Rumah Cemara untuk mempertaruhkan segala sesuatu demi menghapus stigma terhadap ODHA, konsumen narkoba, dan kelompok termarginalkan lainnya di Indonesia.

Tags : AIDSHIVHIV-AIDS
Rizky RDP

The author Rizky RDP

Sering menulis dengan tangan kiri, tim rusuh di Rumah Cemara, Tramp Backpacker, passion pada sepak bola dan sejarah. sering berkicau di @Rizky91__

Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.